"Dah lu ah! Malah nyumpahin gue yang gak baik-baik sama gue!"
"Gue gak nyumpahin, Kal. Tapi hukum tabur tuai itu masih berlaku! Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan-jangan nanti berbalik sama lu sendiri, kalau gak sekarang berarti saat tua nanti, anak-anak lu pelit sama lu, gak mau ngurusin lu sebagai bapaknya!"
"Jangan nyumpahin yang enggak-enggak deh, Han! Makin pusing gue dengernya! Dah lah mikir pekerjaan, di rumah juga Mila gak mau ngurusin uang lagi, ditambah ceramah lu, bikin kepala gue nyut-nyutan. Lu tau gak, kemarin gue disuruh belanja sembako. Ckck bener-bener deh istri gue gak ngehargai banget, laki-laki disuruh belanja kebutuhan pokok."
"Gue gak nyumpahin kok, sekarang aja lu sepertinya gak peduli sama anak lu sendiri. Terus gimana pengalaman lu belanja? Habis berapa duit?"
"Tekor gue, Han! Sekali belanja kemarin habis 800 ribu, itu baru separuh katanya. Belum belanja sayur dan yang lain. Kemarin uang kebersihan, air, listrik 700 ribu. Jadi uang pegangan gue berkurang nih! Gue gak bisa foya-foya dan mampir nge-gym lagi! Hadeeeh!"
"Hahahaha ..."
"Kok malah ketawa sih! Gue lagi kesusahan tau!"
"Nah itu tahu sendiri, susahnya kayak apa kan belanja? Bro, sekarang itu apa-apa serba mahal. Kok bisa-bisanya ngasih sejuta harus cukup sebulan. Otak lu ditaruh dimana? Parah parah dasar sarap lu!"
Hening, aku masih berpikir. Mencerna perkataan Farhan, terutama yang bagian Mila dapat uang dari mana. Lagi-lagi aku menggeleng. Aku yakin, Mila wanita baik-baik. Dia gak mungkin berpaling dariku. Dia kan cinta mati sama aku.
"Kal, jadi selama ini lu senang-senang sendirian? Sedangkan istri lu kesusahan di rumah?"
"Maksud lu?"
"Lu kan sering nge-gym sama traktir kita-kita nih!"
"Iya, itu kan jatah uang gue sendiri. Bebas lah mau diapain juga."
"Iya gue bilang, lu beneran laki-laki stress! Lu seneng-seneng sendiri tapi istri lu menderita. Hadeeeh ada ya laki-laki macam lu, perhitungan sama istri. Beneran deh Kal, kalau gue yang jadi istri lu, gue pasti dah ngibarin bendera putih. Menyerah gue. Bisa saja suatu saat Mila melakukan hal yang sama. Menyerah sama lu!"
"Kenapa sih lu ngomong gak enak terus dari tadi."
"Ya iya lah, Kal! Siapa yang tahan tiap hari hidup dalam penderitaan. Lu bilang sekarang istri lu mulai protes kan? Siap-siap aja buat ditinggal, Kal!"
"Ngaco lu, Han. Mila gak mungkin pergi. Kan sudah gue bilang, dia itu cinta mati sama gue."
"Ckck! Masih belum sadar juga lu! Parah banget, hati lu tertutup batu ya?! Lu jadi suami jangan egois gitu lah! Pikirin istri di rumah, sudah sibuk ngurus anak, ngurus kerjaan rumah, ditambah harus mutar uang biar cukup. Dia pasti pusing banget tuh. Lu aja yang baru sekali disuruh belanja dah ngomel-ngomel gak jelas kayak gini. Bilang tekor lah. Apalagi dia, Kal? Sampai bertahun-tahun lamanya, ckckck gila kamu!"
Aku baru sadar setelah mendengar ucapan Farhan. Ucapannya ada benarnya juga. Apa selama ini aku sudah keterlaluan dengannya?
"Gak lama lagi pasti Mila minta pisah dari lu. Itu kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Makanya sebelum itu terjadi lu harus baik-baik sama Mila. Penuhi kebutuhannya dan anak-anak. Jangan tutup mata. Kasihan mereka, Kal. Apalagi anak-anak lu masih kecil-kecil."
"Dah lah Han, cukup. Makin pusing gue dengernya."
"Ya sudah, kalau gitu. Ada temen lagi nasehatin kagak mau. Lain kali jangan curhat lagi sama gue. Dasar pelit lu! Makan aja sendiri duit lu, biar nanti Mila dan anak-anaknya gue yang jamin!"
Farhan bangkit berdiri, dia kok kayak sengaja banget bikin hati gue panas.
"Ngomong apa lu barusan?"
"Haha, bercanda, Kal. Baru ngomong kayak gitu aja marah. Istri itu dirawat, dijaga, dilindungi, dibahagiain, dibaik-baikin, jangan dicuekin kek gitu. Nanti giliran ada laki-laki yang merhatiin istri lu, hati lu panas kayak kebakaran jenggot. Hadeeeh!"
"Ck!"
"Jangan egois jadi laki. Sekali-kali pikirin hati istri lu. Jangan sakiti terus. Kasihan kan. Jangan sampai istri lu memendam luka yang terlalu dalam dan akhirnya memilih pergi. Menyesal lu nanti."
Setelah mengatakan hal itu, dia pergi begitu saja. Membuat pikiranku berkelana macam-macam. Aku menyesal? Masa sih?
Tapi setelah dipikir-pikir, memang aku keterlaluan sama Mila. Dari mana ya dia mendapatkan uang tambahannya? Masa sih yang dikatakan Farhan benar? Gak, gak mungkin kan?
Kupandangi layar ponselku. Tanpa sengaja melihat story wa Karmila yang tengah berjualan. Keningku berkerut. Jualan apa sih dia? Kulihat aneka macam kreasinya, ada yang berbentuk bunga maupun rumah-rumahan dan bentuk yang lain. Kayak kurang kerjaan aja bikin kreasi begituan. Gak mutu banget sih dia jualan. Malu-maluin aku. Gara-gara story' wa nya, kerabatku banyak yang kirim chat memujinya, bahwa kreasinya sangat cantik, Mila kreatif dan yang lain-lain. Tapi ada juga yang kirim pesan men
[Istri kamu jualan apa, Kal? Kok jualannya barang murahan, gak berkelas banget! Padahal istri manager. Bilangin tuh sama istri kamu, jangan malu-maluin suami]
Pesan yang dikirimkan oleh Mbak Indah, kakakku sendiri. Gara-gara pesan itu, aku jadi marah-marah sama Mila lagi. Padahal mungkin itu cara dia menambah uang penghasilan.
***
Entah sejak kapan aku tak pernah lagi melihat senyuman Karmila. Tiap aku pulang ke rumah dia selalu murung dan cemberut. Wajahnya terlihat begitu muram. Tak ada kebahagiaan secuil pun terpancar dari wajahnya. Apa iya selama hidup denganku disini dia sudah menderita?
Apalagi sejak kami berdebat tempo hari, dia marah besar gara-gara barang sampah itu akan kubakar. Dia jadi mendiamkanku. Tak mau tidur di kamar kami lagi, justru tidur bersama anak-anak dan menguncinya dari dalam.
Kuhela nafas dalam-dalam sembari menatap makanan yang terhidang di depan mataku. Menu yang tiap hari selalu istimewa. Rendang daging, sayur sop iga, sate kambing, ayam geprek, ikan bakar, bakso ataupun soto. Menu-menu yang tiap hari kupesan secara bergantian untuk makan siang.
Glek, sedangkan membayangkan di rumah istri dan anak-anakku makan dengan sayur bening, itupun karena metik sendiri sayuran yang Mila tanam di halaman belakang rumah. Tapi aku selalu marah-marah bila pulang kalau cuma ada nasi saja yang terhidang.
Ponselku berdering. Kutatap handphone androidku, panggilan dari ibu yang tertera dilayar. Kuhela nafas panjang, ibu pasti menanyakan jatahnya.
[Ya bu, ada apa?] --jawabku dengan malas.
[Kok pake nanya ada apa, Kal? Bulan ini kamu kan belum ngasih jatah uang ke ibu! Ibu mau beli barang nih]
[Barang apa sih, Bu?]
[Gelang lah, ibu mau ganti model baru. Ini ibu habis dibeliin tas branded dari mbakmu. Oh iya, Nessa juga belum bayar kuliah]
[Gak bisa Bu, bulan ini aku banyak kebutuhan]
[Jangan pelit sama ibu yang melahirkanmu, Kal! Gajimu kan gede]
Aaarggghh! Pusing aku dibuatnya. Satu masalah belum kelar, kini ibu menambah lagi beban pikiranku.