Di sisi lain, Aska masih duduk di atas motor. Pria itu berdiam di sana sambil main game di ponsel. Segera ia memasukkan ponsel ke tas saat melihat Beby berjalan terburu-buru meninggalkan gedung sekolah.
Aska menyalakan mesin motor dan menghampiri Beby. Badan motornya yang mendadak ngerem di depan Beby membuat gadis itu spontan berhenti. Kaget.
“Hahaaaa…” Aska tergelak melihat ekspresi Beby yang manyun akibat terkejut.
Beby melayangkan tinju ke bahu Aska kuat-kuat dan berhasil membuat gelak tawa Aska terhenti. Jantungnya sudah hampir copot akibat menahan kaget malah diketawain.
“Sakit tauk.” Aska menyentuh bahunya dan mengelus pelan. Kemudian keningnya mengernyit heran menatap penampilan Beby. “Lo kenapa? Keseruduk banteng?” tatapan Aska menjelajahi sekujur tubuh gadis itu. Dari ujung rok sampai ke ujung rambut. Beby terlihat kacau. Bahkan ujung kemeja yang biasanya selalu masuk ke dalam rok, kini sebagian keluar. Rambut gadis itu juga semerawutan.
“Bisa nggak sih lo nggak ngegangguin gue?” Beby melotot. Memasang ekspresi tergalak.
“Widiiihhh… judes amat.” Aska mengejek. Tak sedikitpun merasa takut dengan tatapan mata Beby yang mengandung ancaman. “Pulang bareng, yok.” Aska mengayunkan sebelah alis.
“Nggak bosen ngajakin gue pulang bareng?” Beby melihat gelagat buruk dalam diri Aska. Sepertinya cowok itu ingin memberi perhitungan padanya setelah kejadian waktu itu. Beby tidak boleh lengah dan tetap waspada pada Aska. Entah itu hanya pemikirannya yang terlalu sensitif, atau memang benar firasatnya yang bicara.
“Sebelum lo mau, mana mungkin gue bosen.”
Beby berputar menghindari motor Aska dan berjalan dengan langkah cepat meninggalkan cowok itu. Pikirannya sudah keruh karena pertemuannya dengan Pak David. Tak mau bertambah keruh oleh tingkah laku Aska. Kepalanya celingak-celinguk mencari, batang hidung ketiga temannya tak terlihat. Beby meraih ponsel di tas dan mendapati pesan WA dari Arsy.
Oke, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Riana sendirian. Tekadnya sudah bulat. Harus bertemu Riana untuk memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja. Ia tidak ingin menjadi manusia berhati batu setelah meninggalkan Riana terkapar.
“Belom pulang juga?”
Telinga Beby bergerak-gerak mendengar suara di samping. Aska sudah ada di sisinya. Dahi Beby mengernyit melihat tatapan dingin cowok itu.
Aneh, ngajakin pulang cewek tapi tanpa ekspresi. Biasanya cowok akan menunjukkan senyum lebar, pandangan teduh, dan ekspresi manis ketika ngerayuin cewek untuk diboncengin. Tapi Aska tidak melakukan seperti lelaki lain. Ekspresinya tanpa rayuan. Sebenarnya apa yang diinginkan Aska? Ah, Beby tak perduli. Ia kembali melangkah hendak meninggalkan Aska.
Aska memegang erat pergelangan tangan Beby sebelum gadis itu menghindarinya.
“Lepasin, Aska! Sakit.”
“Nah, lo udah tau siapa Aska, bukan?” Aska menatap tajam ke mata biru Beby. “Gue ini keliatan berandalan dari luar, dan memang aslinya berandalan. Gue nggak akan ngelepasin lo sebelum gue dapetin apa yang gue mau.”
“Lo pikir gue apaan? Jangan Cuma gara-gara masalah sepele kemarin, lantas lo dendam sama gue. Nggak cowok banget tauk! Cuma pecundang yang beraninya sama cewek.”
“Siapa bilang?”
“Gue barusan.”
“Buktinya gue berani sama semua jenis kelamin. Kalau ada yang berani macem-macem sama gue, jangan harap gue berhenti bertindak, nggak perduli cowok atau pun cewek. Gue ini Aska Emanuel.”
“Nggak perlu diucapin, gue udah tau.”
“Lo cantik kalo lagi panik.”
Beby berusaha mengubah ekspresinya supaya tidak ketahuan kalau dia memang panik. “Lepasin, Aska!” Beby menggerak-gerakkan tanggannya.
Genggaman Aska semakin kuat.
“Naik ke motor gue!” titah Aska dengan nada geram.
“Emangnya lo mau bawa gue kemana?”
“Nganterin lo pulang.”
Beby semakin frustasi melihat tingkah konyol cowok di hadapannya itu. Mau berapa kali ia mengatakan pada Aska bahwa jarak rumah kos yang ditempatinya hanya beberapa meter saja dari sekolah, tak perlu ia naik motor hanya untuk menempuh jarak sedekat itu. Aska pasti memiliki niat lain, mungkin cowok itu akan membawa Beby ke tempat yang Beby tidak tahu.
“Gue teriak, nih,” ancam Beby semakin panik.
“Teriaklah!”
“Aska, lepasin!”
“Nggak akan gue lepasin sebelum lo naik ke motor gue.”
“Maksa banget, sih?”
“Inilah Aska Emanuel.”
Beby balas menatap sorot tajam mata Aska. Kemudian ia berkata, “Oke, gue naik.”
Beby terpaksa membonceng, satu tangannya masih dalam genggaman tangan Aska.
Starter mulai berbunyi dan Aska memainkan gigi motornya, kemudian menarik gas. Cowok itu melepaskan tangan Beby saat motor sudah melaju dengan kecepatan kencang. Tubuh Beby terhuyung maju ketika Aska ngerem mendadak. Berikutnya motor kembali melaju kencang.
Beby merutuk dalam hati. Aska memang gila. Pikirnya.
Seumur hidup, baru kali ini jantung Beby terasa ketar-ketir. Nyawanya bagaikan terbang bersama motor yang juga seperti terbang, meliuk ke kanan kiri melintasi kendaraan lain. Mungkin beberapa orang pengendara lain mengumpat saat motor Aska melintas di sisi mereka.
Aska benar-benar telah mempermainkan jantung Beby. Degupannya sangat kuat. Tak lama motor berpapasan dengan sebuah mobil di tikungan dan dalam jarak beberapa meter dalam kecepatan yang sama-sama tinggi, benturan tentu tidak dapat dielakkan. Beby berteriak histeris. Sedikit lagi motor hampir bersenggolan namun Aska begitu gesit membelokkan motornya hingga bayangan buruk di kepala Beby tidak terjadi.
Edan! Pikir Beby geram.
Terpaksa Beby memegang erat pinggang Aska sambil terus menggerutu dalam hati. Sungguh, berurusan dengan Aska memang bisa membuat orang mati berdiri.
Beby ingin berteriak meminta diturunkan, namun ia tidak mau terlihat penakut di mata Aska. Lebih baik ia diam dan berpura-pura baik-baik saja, meski sesungguhnya ketakutannya sduah mencapai ubun-ubun. Entah kemana Aska akan membawanya. Benar dugaannya, Aska tidak membawanya pulang.
Hampir satu jam berputar-putar tak tentu arah, Aska akhirnya menghentikan motornya di depan kos-an Beby. Rambut Beby sudah berantakan seperti terkena badai. Segera Beby turun dan berdiri di hadapan Aska. Sebisa mungkin ia memperlihatkan ekspresi tenang agar Aska tidak menganggapnya lemah meski setelah apa yang Aska lakukan padanya.
“Kalau tadi gue mati, minimal gue nggak mati sendirian,” celetuk Beby dengan muka memerah.
“Gue nggak sebego itu. Mana mungkin gue mau mati cepet. Hidup itu nikmat, percuma disia-siain. Jadi, gimana? Sensasi apa yang lo rasain jalan-jalan bareng Aska Emanuel? Rasa mau mati atau enjoy?”
“Enjoy,” jawab Beby dengan gigi menggemeletuk kemudian memalingkan wajah. Tangannya melambai menghentikan taksi. Lalu masuk ke dalam taksi yang menghampiri.