Bab 17

1297 Words
Geya menatap Diah tak kalah ketakutan. “Gimana bisa kita bantu?" bibir Geya bergetar hebat. Geya menggengam erat tangan Diah, mereka saling berpegang untuk bisa menahan getar di sekujur tubuhnya. Diah langsung menelaah ruangan, sampai akhirnya Diah menemukan sesuatu yang bisa menyelamatkan Ben dan Aarav yang tengah diambang kematian. Diah menunjuk benda dipojokkan kanan pada Geya, Geya mengikuti arahan Diah. “Lo ambil kursi itu, gue kursi ini kita pukul punggung mereka." ujar Diah dengan tegas, Geya pun membalas ucapan Diah dengan anggukan mengerti. Geya dan Diah berlari mengambil benda itu, tepat di dekat perkelahian itu, Geya dan Diah berjalan pelan menuju mereka dengan lewat samping dinding mencari aman lalu langsung memukul ke punggung Bapak tua dan perempuan itu dengan tenaga yang cukup keras dan hebat, dan benar saja usaha Geya dan Diah tak sia-sia, perempuan tua dan Bapak tua itu jatuh pingsan. "Ayo." Geya menarik tangan Ben, sedangkan Diah menarik tangan Aarav, membantu mereka bangun dari lantai. Dan juga memapah mereka yang sedikit tak berdaya. Sekuat tenaga, mereka kompak berlari keluar dari kamar itu tanpa menoleh sedikitpun, tepat di gundukan tangga mereka memelankan langkah, hanya sedikit agar tak terluka saat menuruni tiap tangga yang bermodelan duri tajam ini. Tepat dibawah, Aarav, Ben, Geya dan Diah menambah kecepatan lari mereka hingga mereka masuk kedalam kamar kembali. Langsung saja, Diah mengunci pintu itu rapat-rapat. Sedangkan Geya berlari mengambil sebuah lembari using berukuran sedikit besar dan mendekatkan ke pintu sebagai pertahanan agar pintu lebih kuat tertutup. Geya dan Diah masih berusaha mengatur napas mereka yang masih tersengal-sengal. Ben memegang perutnya dan perpotongan lehernya yang masih sakit dan nyeri, berbeda dengan Aarav yang tampak biasa saja padahal Aarav lebih besar mendapatkan pukulan daripada Ben. Ben tak berkomentar apapun apa yang sedang dilakukan oleh Diah dan Geya. Aarav menatap heran kearah para cewek. “Ngapain pakai gituan?" Merasa sudah sedikit tenang, Geya langsung membalas ucapan Aarav. "Mereka pasti punya kunci cadangan jadi jaga-jaga." jelas Geya, seraya memegangi dadanya yang sedikit sesak. “Orang tua begitu sangat mudah buat di kalahkan." Padahal tadi Aarav ingin membalas dendam atas pukulan Bapak tua itu pada tubuhnya. Aarav hendak memberikan pukulan mematikan untuk Bapak tua itu namun ketika Aarav ingin berdiri menerjang, dia sudah ditarik duluan oleh Diah. Aarav memang dari kecil sudah diajarkan bela diri, jadi cukup pro Aarav untuk melawan orang. Ben menunjukkan gunting yang tadi dia gunakan sebagai s*****a di depan sahabatnya, guting itu terdapat bercak darah yang tertinggal. "Tapi gue gores nih gunting ke tangan tu cowok, tapi dia nggak terkejut atau meringis sedikit pun." ujar Ben berkata dengan bingung. Aarav menghela napas berat seraya berkata, "Palingan dia nahan sakit." balas Aarav. Disisi lain. Perempuan tua dan Bapak tua itu bangkit dengan mudah, berdiri seperti kilat. Nyatanya keduanya hanya pura-pura pingsan, hentaman benda itu yang mengenai punggung Bapak tua dan Perempuan tua itu tak berarti apa-apa di tubuh mereka, tak membuat mereka sakit. Sengaja mereka melakukan itu semua, tentu karena Bapak tua dan perempuan tua hanya berniat untuk bermain-main saja. Keduanya tertawa keras, sinis menggelegar memutuskan keheningan kamar yang penuh dengan mayat itu. "Sungguh anak muda yang malang." Perempuan tua itu terkekeh sinis. "Mereka tidak akan bisa keluar dengan mudah, bahkan bisa saja mati tanpa ada yang selamat." sarkas Bapak tua itu dengan tak kalah sinis. Kemudian mereka tertawa dengan suara mengerikan kembali. Perempuan tua itu menatap Bapak tua itu, menarik sudut bibirnya keatas. "Benar, akhirnya kita punya tumbal selanjutnya.” *** Ben dengan pasrah dan lemah terduduk di kasur, dia meraup wajahnya dengan kasar. "Sekarang gue udah nyerah, mau mati yaudah mati." ujar Ben putus asa. Ben meremes kuat akar rambutnya, dia frustasi dengan keadaan seakan tak ada harapan untuk keluar bahkan untuk selamat sekalipun. Geya menatap Ben tak suka, ucapan Ben membuat Geya tak abis pikir. "Dosa lu banyak tau, emang nggak masalah di siksa?" tanya Geya sinis. Ben memutar bola matanya malas, "Jangan sok tau lu." sentak Ben tak terima. Ben langsung merebahkan tubuhnya ke kasur, dia memejamkan matanya erat-erat, lelah.  Ben menarik napas panjang. "Rasa penasaran gue udah terpenuhi, ternyata biang keroknya itu manusia,” tukas Ben. Ben membuka kelopak matanya, memilih menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang kosong. Diah berjalan mendekati tubuh Ben, Diah duduk di pinggir kasur. Diah menepuk bahu Ben, berusaha menyemangati Ben agar tidak menyerah begitu saja. "Belum tentu kali Ben." Ujar Diah tenang. Ben menatap Diah hanya sekilas, Ben menarik napas berat untuk kesekian kalinya. "Belum tentu gimana? Nggak liat tadi di atas ada yang mencoba membunuh kita?" Ben berkata ketus. "Jadi yang selama ini jatuh barang itu apa?" Diah bertanya pelan. Ben bangkit dari baringnya, menatap Diah seraya menjawab, "Ya bisa jadi kan itu strategi si tua itu." Jelas Ben. Diah terdiam bingung juga ingin memberi tanggapan apa. Diah saja masih bingung, sulit sekali memecahkan hal mistis dalam rumah ‘angker’ ini. Diah menghembuskan napas panjang. "Yaudah terserah deh." ujar Diah akhirnya. Diah menatap Geya dan Aarav yang berdiri bingung menatap mereka, Diah mengendikkan bahunya. Sulit dimengerti. Ben menguap lebar, dia sangat mengantuk. "Gue mau tidur." Rasanya Ben ingin mengistirahatkan tubuhnya yang cukup lelah sekali hari ini. Pokoknya Ben ingin segera tidur tak ingin menunggu omongan kosong yang mereka alami beberapa hari ini. Diah melotot kearah Ben, dia langsung menghentakkan tubuh Ben yang sudah kembali berbaring di atas kasur dengan mata yang sudah terpejam erat. "Jangan, lo liat masih jam sepuluh malam." Diah menjerit kecil pada Ben, seraya menunjuk jam dinding di depan mereka. Namun Ben tak peduli, hanya mendengus malas dengan mata yang tetap terpejam erat.  Ben menghela napas jengkel, “Semua yang dibilang buku itu bohong, jelas jelas yang bakalan bunuh kita itu ya manusia, bukan setan." Ben berkata seraya membalikkan tubuh, membelakangi Diah. Ben memeluk bantal guling, tak memperdulikan Diah lagi. Yang terpenting saat ini Ben ingin tidur dan tak ingin diganggu oleh siapapun. Geya mendekat kearah Ben dengan raut marah sekaligus menampol keras paha Ben tanpa kasian, membuat sang empu meringis tertahan. "Lo kenapa sih keras kepala banget?" Geya berujar sarkas tak bersahabat. Ben mengusap pahanya yang nyeri, Ben mendesis kecil dengan mata masih terpejam. “"Lo ngantuk kan Ge, udah tidur aja sana." suruh Ben pada Geya. Geya bimbang seketika, sebenarnya apa yang dikatakan oleh Ben memang benar kini dirasakan oleh Geya, Geya sama mengantuknya seperti Ben. Rasanya ingin tidur namun Geya masih ragu. Detik yang sama, Diah langsung menggeleng keras kearah Geya, Diah memberikan tatapan penuh peringatan. "Jangan." Diah berkata tegas tak terbantahkan. Ben yang masih mendengar itu, tanpa melihat Ben mendengus malas. Selalu saja seperti itu, peringatan ancaman semuanya terus saja seperti itu, padahal menurut Ben itu tidak benar, itu hanyalah kekonyolan tak bermutu. "Gini mikir aja, dia itu cuman nakut-nakutin aja, lihat pintu aja terkunci mana bisa manusia tembus kalau setan baru bisa tembus." Jelas Ben yang sudah sangat kesal, dan muak dengan pembicaraan ini. Aaarv yang sejak tadi hanya menyaksikan perseteruan mereka akhirnya menimpali. "Udah biarin aja, dia mau mati." Aarav berkata ketus, malas. Sama muaknya dengan Ben, Aarav juga ingin topik pembahasan ini segera berakhir. Aarav lebih baik mengeluarkan ponsel dan headset, menghubungkan headset itu pada ponsel dan Aarav mendengar music kesukaannya. Tak lagi memperdulikan mereka, Aarav sedikit menjauh dan memilih duduk di atas sofa samping TV. Ben menggeleng lirih, mata masih setia terpejam, rasanya kelopak mata Ben semakin berat saja, memaksanya untuk segera tidur. "Bukan gitu." sanggah Ben tak terima. Enak saja dibilang ‘mau mati’ sejatinya Ben tidak ingin mati, dia masih ingin hidup. Aarav memutar bola mata malas. “Tadi lo bilang nggak masalah kalau mati." tukas Aarav dengan santai. Untuk kesekian kalinya, Ben menghela napas panjang. Capek juga dengan pembahasan ini yang seperti tak ada ujung penyelesaiannya. Karena hal itu, Ben semakin mengatuk, berkali-kali Ben menguap dengan lebar, Ben menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan. "Dah lah, gue mau tidur." ujar Ben akhirnya, lebih memilih mengalah saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD