Aarav, Diah dan Geya hanya memperhatikan Ben dalam diam. Mereka tidak bisa berbuat apapun, hanya bisa membiarkan Ben seperti ini, ditambah lagi Ben yang tampak tenggelam dalam mimpinya. Ben memang terlihat sangat lelah, sangat nyenyak tertidur.
Diah tak tidur karena memang masih was-was, begitu pun dengan Aarav sedangkan Geya dia hanya mengikuti semua apa yang dilakukan oleh Diah. Karena Geya tahu bahwa langkah yang dilakukan oleh Diah lebih menyakinkan. Diah masih duduk dipinggir kasur, samping Ben. Geya di karpet depan TV dan Aarav tengah mendengar music di atas sofa. Waktu terus berlalu, selama dua jam itu mereka habiskan dengan melamun, TV pun tidak sanggup mereka tonton. Sekarang Diah rasa mereka bukan hanya melawan setan tapi juga manusia, rasanya manusia yang lebih mengerikan.
Dua manusia tadi, memang tampak sudah tua, tapi Diah melihat sendiri bahwa mereka tidak gampang dikalahkan saat berlawanan dengan orang yang lebih muda dari mereka. Nyatanya Ben dan Aarav lebih banyak mendapat pukulan maut dan hampir lengah.
Geya menatap Diah usai dia menatap Ben yang tengah membalikkan tubuh menjadi miring, mencari posisi yang nyaman. Geya memandangi Aarav juga. “Ben udah tidur dari dua jam yang lalu dan sekarang dia baik baik aja,” ujar Geya.
Diah dan Aarav juga memikirkan hal sama seperti Geya. Mereka mengira bahwa Ben akan mati tapi ternyata tidak, membuat mereka jadi bingung. Apakah benar yang dikatakan Ben tadi bahwa semua hal mistis itu tidak benar?
Diah menarik napas pendek. "Kita tunggu satu jam lagi." tukas Diah akhirnya.
Aarav melihat jam dinding, sudah sangat larut. “Apain tunggu udah sekarang tidur." putus Aarav tak setuju dengan ucapan Diah. Aarav mematikan music diponselnya, kemudian memasukkan ponsel itu kedalam saku lalu Aarav berdiri.
Sejenak Aarav memperhatikan sekitar. Berhubung Ben tidur diatas kasur tempat awal Diah dan Geya tertidur, Aarav pun berinisiatif membuat tempat yang nyaman buat Geya dan Diah. Aarav membuat tempat itu berjauhan dengan tempat tidurnya agar aman.
“Makasih, Rav.” Diah berkata dengan senyum yang terukir bibir begitupun dengan Geya. Aarav hanya membalas dengan anggukan tipis, Aarav kembali ketempat tidurnya.
Geya dan Diah sudah memposisikan diri di tempat tidur masing-masing yang sudah dibuat oleh Aarav. Geya sudah membaringkan tubuh, berbeda dengan Diah yang masih duduk dengan memakai selimut. Diah tak henti-hentinya menatap Ben yang berada di atas kasur dengan raut khawatir.
Diah menatap Aarav yang sudah membaringkan tubuh. Aarav membalas menatap Diah, "Tapi kalau dia kenapa napa gimana?" Diah berujar dengan gelisah.
Aarav menghela napas berat, sekilas dia menatap Ben kemudian kembali menatap Diah seraya berkata pelan, “Ya mau gimana lagi, itu kan keinginan dia,” ucap Aarav. Kenyataanya memang begitu, Ben yang keras kepala dan tak ingin mendengar ucapan Diah.
"Lo kalau mau tidur, duluan aja Rav kami mau nunggu satu jam lagi." Nyatanya Geya belum tertidur, dia hanya berbaring saja. Tentu saja Geya tak mau meninggalkan Diah sendiri yang berjaga untuk melihat Ben. Diah menatap Geya sebentar, langsung mengangguk menyetujui.
Aarav hanya mengangguk kecil, kemudian memejamkan kelopak matanya yang sudah berat sejak tadi. Aarav memang sudah mengantuk, tak memperdulikan Geya dan Diah lagi, Aarav membalikkan tubuhnya mencari posisi yang nyaman dan membelakangi Geya dan Diah. Aarav sudah tenggelam dalam mimpinya.
Diah dan Geya pun menunggu selama satu jam. Setelah satu jam itu, keadaan Ben tetap sama tampak nyenyak dalam tidurnya. Sejak tadi, Geya dan Diah hanya menatap Ben saja dalam hati sesekali Diah memandangi sekitar penuh kewaspadaan.
Geya menarik napas ketika menatap Diah, yang begitu kuat menahan kantuk padahal Geya tahu itu sangat menyiksa. Geya menarik lengan Diah untuk segera tidur disampingnya, tepat Diah menoleh kearah Geya. Geya pun berkata, “Ayo tidur, udah ngantuk banget. Kayaknya apa yang dibilang Ben benar deh buktinya dia nggak papa tu,” ujar Geya mencoba memastikan Diah agar yakin tidak akan terjadi apa-apa dengan Ben.
Diah menghembuskan napas dengan kasur, meski sedikit ragu Diah mengiyakan ucapan Geya. Diah pun mulai membaringkan tubuhnya disamping Geya. "Yaudah ayo." Akhirnya Diah menarik selimut untuk menutup tubuh.
Sejujurnya Diah juga sangat mengantuk, tak menunggu lama Diah langsung tertidur diikuti oleh Geya. Mereka menutup mata, dan tertidur dengan nyenyak.
Tiba-tiba saja, Diah terbangun dengan terkejut. Diah gelisah, dia tak bisa tidur dalam benaknya terus berkeliaran hal-hal negative, sampai Diah mimpi buruk. Napas Diah memburu-buru, sebisa mungkin dia mengatur agar normal kembali sesekli Diah mengusap peluh dikeningnya. Detik yang sama, Diah langsung bangkit dari baringnya, betapa syoknya Diah saat tak melihat keberadaan Ben di kasur padahal Diah sangat yakin, Diah hanya terlelap sebentar saja. Kenapa Ben secepat itu menghilang? Diah begitu panik.
Muka Diah pias. "BANGUNN!!” Diah menjerit kuat, kalang kabut. Diah juga menggoyangkan tubuh Geya, untuk segera bangun. Teriakan Diah yang cukup kuat, tentu saja membuat Aarav langsung terkejut dan terbangun dari tidurnya.
"Kenapa?" tanya Geya dan Aarav serempak. Muka mereka kompak sangat panik.
"Ben nggak ada." Diah menunjuk kasur dengan takut. Bibir Diah bergetar hebat, tentu saja itu juga terjadi pada Geya. Mereka sangat takut dan khawatir.
Geya langsung berdiri, dia menarik Diah juga untuk berdiri. "Ayo kita cari!"
Tidak boleh begitu panik, mereka harus segera mencari Ben kemanapun.
Aarav langsung mengangguk, laki-laki itu juga berdiri. Mereka bertiga langsung mencari Ben disekitar kamar, mengelilingi kamar. Semua ruangan yang ada di dalam kamar itu mereka mencarinya. Percuma, usaha mereka hanya sia-sia. Tidak menemukan Ben dimanapun.
Diah meraup wajahnya dengan kasar, begitu gelisah. "Apa dia keluar?" tanya Diah seraya menatap pintu yang sama saja seperti tadi, tak ada jejak bahwa Ben membuka pintu itu. Sebenarnya kemana Ben?
Geya juga menatap pintu itu, sedikit mustahil sebenarnya. Geya merasa Ben tak mungkin keluar dari kamar, pintu itu tertutup rapat. “Tapi itu pintunya masih terkunci kayak awal gue tutup,” balas Geya frustasi. Iya, pintu itu memang masih tertahan dengan lemari yang dibuat oleh Geya, begitu utuh.
Aarav mengacak-acak rambut gondrongnya sedikit kasar, pusing. “Jadi kemana dia?" Aarav mendesis frustasi.
Seketika mereka gelisah. Tak tahu kemana Ben dan tak tahu harus dimana mencari Ben. Saat ini Aarav, Geya dan Diah tak bisa berpikir dengan tenang karena terlalu panik akan kehilangan Ben tanpa jejak.
Diah menatap Aarav, air mukanya pucat. “Apa Ben udah mati?" ujar Diah.
Geya langsung menatap Diah tak suka karena ucapannya. "Kenapa lo ngomong gitu?"
Diah menarik napas sesak. “Ya karena dia cepat banget tidur semalam.”
Geya mengangguk sekilas. “Iya bener." Geya membenarkan ucapan Diah yang memang benar, berarti aturan di rumah ‘angker’ tak hanya omongan kosong semata.
“Nggak ada pilihan lain, kita harus ke luar lihat si Ben." Tak ingin menungu lama, akhirnya Aarav memutuskan hal itu, tak ada cara lain mereka memang harus mencari Ben diluar meskipun diluar berbahaya. Geya dan Diah tentu saja langsung mengangguk setuju dengan ucapan Aarav. Aarav berjalan cepat kearah pintu, diikuti oleh Diah dan Geya dibelakang. Aarav memindahkan lemari yang berada di pintu it uke posisi samping. Dan membuka pintu, mereka langsung keluar.
Di luar tampak sepi dan senyap. Sebelum keluar kamar mereka tentu saja sudah memegang perlindung masing-masing. Diah memegang gunting, Aarav memegang kayu dan Geya yang memegang pisau. Dengan hati-hati dan kewaspadaan yang seksama, mereka mengelilingi semua tempat dengan langkah kaki pelan-pelan. Tiba saat mereka berada di ruang tamu, awalnya mereka hanya melihat suasana ruang tamu yang kosong hingga mata mereka melihat bercak darah segar di lantai detik itu juga membuat mereka membeku ditempat. Apa itu darah Ben? Detak jantung mereka berhenti berdetak.
Dan benar saja ketika mereka mengikuti jejak darah itu mereka menemukan tubuh Ben yang sudah mengenaskan tepat di depan pintu kamar mandi dekat dapur. Keadaan tubuh Ben sangat kacau, darah dimana-dimana, kulit tubuh Ben terkoyak seperti digigit dan dicakar. Sontak membuat Diah dan Geya menjerit dengan histeris, mereka menangis sejadi-jadinya sedangkan Aarav membeku untuk beberapa saat.
"Apa ini?" Aarav berkata tak menyangka. Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan Aarav, Diah dan Geya hanya bisa menangis.
Aarav menatap Diah dan Geya sekilas, dia mengusap rambutnya kasar. “Nggak ada waktu buat nangis, kita harus pindahin dia. Kalau kelamaan di sini tubuh Ben akan membusuk," lanjut Aarav dengan tegas.
Diah menyeka air matanya dengan kasar. “Kemana? di sini nggak ada tanah." Diah berkata dengan Aarav. Sedangkan Geya masih menangis dipelukan Diah, sudah agak mereda tertinggal hanya isakan pelan.
Benar juga yang dikatakan oleh Diah, disini tak ada tanah apalagi keluar dari rumah ini saja tak bisa. Aarav berpikir dengan keras, dia menunjuk kamar kosong yang berada di ujung ruangan. “Kita taruk aja dia ke kamar itu,” putus Aarav akhirnya.
Aarav kembali menatap jenazah Ben, dia perlahan melangkah untuk mendekat. "Gue dorong dia. kalian perhatiin sekitar buat jaga-jaga kalau ada orang tua itu." ujar Aarav tegas. Geya dan Diah mengangguk setuju dengan perkataan Aarav. Aarav pun mulai menarik pelan-pelan tubuh tak berdaya Ben menuju kamar yang tak berada jauh. Sedangkan Geya dan Diah sudah waspada dengan sekitar, menjaga-jaga diluar pintu. Setelah meletakkan mayat Ben di kamar dan melampirkan kain putih diatasnya, mereka lansung ke luar dari kamar itu.
Dengan rasa sakit hati dan rasa sesak dihati, mereka pun kembali ke kamar mereka. Geya bahkan tak bisa menompang berat tubuhnya sendiri, jikalau Diah tak memapah Geya. Mereka mengunci pintu kamar rapat-rapat. Memilih duduk di pinggiran sofa, Diah dan Geya melanjutkan tangisan mereka sedangkan Aarav sedang sibuk mencuci tangan di kamar mandi karena bekas darah Ben, pikiran Aarav kosong. Dia menatap pantulan wajahnya di kaca dengan pandangan yang sulit diartikan.
Disisi lain, tepatnya dikasur.
Diah dan Geya saling memeluk, mereka menumpahkan tangisan yang rasanya tak ada habis-habisnya. Wajahnya mereka sudah sembab dengan mata yang membengkak. Geya menatap Diah, masih terisak-isak pelan. “Kenapa sih Di kita ada di posisi begini?" Geya berkata dengan parau, bibirnya bergetar parah.
Diah terisak kuat. Dia menyeka air matanya kasar, menengadah keatas sejenak untuk menahan air matanya agar tak turun, nyatanya percuma air mata itu tetap saja dengan bebas membasahi pipinya. “Gue juga nggak tau, kenapa kita bisa sesial ini. Lo tau kan kalau kita nggak ke sini pasti hidup kita balalan baik-baik aja.” Diah tercekat.
Geya menerawang kosong kedepan. “Seharusnya sejak awal kita nggak kenalan sama Ben, gue sedih karena kematian teman kita tapi gue nggak nyangka orang terpandai di kelas dulu bisa ngelakuin hal bodoh kayak gitu,” ujar Geya.
Geya menatap Diah dengan nanar, penuh kehampaan. “Sekarang apa bisa kita pulang dalam keadaan hidup?" Geya tersendat. Dia merasa sangat putus asa, sepertinya harapan untuk hidup tak ada lagi buat mereka. Mereka akan tetap terkurung di rumah ‘angker’ ini, tidak punya pilihan seolah-olah mereka memang mati disini.
Diah menarik napas sesaknya. "Gue nggak tau, gue juga udah nggak yakin bisa selamat." ujar Diah putus asa dengan keadaan, Diah tak bisa berbuat apapun lagi mereka hanya bisa pasrah dan menerima takdir saja. Berkali-kali, Diah mengusap air mata namun butiran bening itu tetap berjatuhan membasahi pipi putihnya.
"Kita kalau nggak mati kayak Ben kita pasti mati karena kelaparan." Bibir Geya bergetar. Ketika Geya menatap lekat kearah stock makanan mereka yang sudah menipis. Geya hancur, menerima kenyataan itu.
Diah mengangguk hanya bisa mengangguk saja, ingin menangis keras rasanya.
"Lihat cuman tinggal snack aja, udah nggak ada roti lagi. Palingan setelah kekurangan gizi kita bakalan mati." Geya menangis sesegukkan seraya menunjukkan makanan itu kepada Diah, sorot mereka memburam karena air mata itu tak berhenti mengalir.
Aarav keluar dari kamar mandi, ketika memperhatikan Geya dan Diah yang masih saja menangis membuat Aarav menghela napas panjang dengan jengah. “Udah apa lagi yang perlu di tangisi? Orang yang udah buat kita menderita itu emang pantas buat mati duluan,” ungkap Aarav sarkas.
Aarav berjalan melewati Diah dan Geya, tak memperdulikan para gadis itu. Aarav bodo amat, semua kenangan Aarav dan Ben yang cukup menyenangkan saat sekolah sudah tidak diperdulikan lagi oleh Aarav justru Aarav merasa s**l pernah bertemu dengan Ben.