"Tapi itu ngeri banget." Geya menyentak Diah dengan tak terima. Tentu saja, Geya takut terjadi sesuatu apabila mereka senekat ini, bisa jadi nyawa taruhannya. Geya tidak ingin, dia menggeleng keras tak setuju dengan ucapan Diah. Masih terlintas jelas dibenak Geya bayangan wajah mengerikan bayi itu bahkan tubuhnya pun tidak bisa dijabarkan bentuknya. Hancur. Geya sudah terpikir tentang bagaimana bisa bayi itu sampai tubuhnya tak terbentuk, seperti dibunuh. Sudah sangat jelas, bayi itu tak mati sendiri. Siapa yang tega membunuh tubuh rapuh itu?
"Sekarang ke kamar itu." Intruksi dari Aarav menyentakkan Diah dan Geya. Diah hanya mengangguk kecil, berbeda dengan Geya yang ragu mengikuti arahan itu. Aarav menunjuk kamar yang berada disebelahnya, Ben dan Diah sudah mengikuti Aarav dari belakang. Geya masih ditempatnya, dia merasa ragu untuk melangkah namun ketika punggung Ben, Aarav dan Diah hampir menghilang dari pandangan Geya, buru-buru Geya berlari dan menyesuaikan langkahnya dengan mereka. Geya sangat takut ditinggal sendiri seperti tadi.
Diah hanya bisa tersenyum kecil ketika matanya melihat Geya disampingnya, mata mereka bertabrakan, Geya terdiam kemudian Geya bergelanyut manja di lengan Diah, meminta perlindungan.
Aarav langsung membuka pintu itu tanpa ragu, lalu mereka dengan serentak masuk, tak ingin tertinggal. Aarav, Ben, Geya dan Diah tak menemukan apapun di dalam kamar ini, keadaan kamar tampak biasa seperti kamar umumnya. Akhirnya mereka sedikit bisa menghela napas lega, tak ada yang berbahaya disini. Kemudian mereka, membuka kamar yang lainnya dan semuanya tampak biasa saja hingga tiba di sebuah kamar terakhir tepatnya paling ujung, atmosfer seketika mencekam, auranya berbeda dengan kamar yang lain.
Cukup membuat Aarav, Ben, Geya dan Diah terkejut setengah mati, detak jantung mereka bertaluan hebat tak terkontrol. Geya sudah berlari kearah Diah, bergelanyut di lengan Diah, menyembunyikan wajahnya disana, ketakutan. Mereka masih terbeku melihat keadaan kamar yang sangat mengerikan dan menjijikan.
Di kamar ini begitu banyak mayat yang bergantungan di langit-langit dinding bahkan ada hanya kepalanya saja, tak lupa darah berceceran mengotori lantai, hampir semua lantai. Bau tak sedap di kamar ini membuat hidung Geya, Diah, Aarav dan Ben gatal-gatal, sangat menyengat, rasanya ingin muntah detik ini juga. Apa itu? Apa yang sebenarnya terjadi disini? Tolong jelaskan kepada mereka apa yang terjadi hingga bisa seperti ini.
Tak ingin berlama-lama disini, dan tak banyak bicara. Aarav, Ben, Geya dan Diah melangkah kakinya berbalik menunju pintu. Mereka ingin segera keluar dari sini, sudah merasa tak nyaman dan membuat tubuh mereka seakan-seakan sedang di siksa, nyeri tanpa sebab. Tepat itu pula, Ben, Aarav, Geya dan Diah terkejut setengah mati ketika sesuatu ada yang menghalangnya. Seorang pria dan wanita. Geya semakin takut, dia memeluk Diah erat-erat dan Diah mencoba menenangkan Geya yang semakin ketakutan.
Ben memicing, tampak berpikir keras ketika sorot Ben melihat seseorang yang dikenalnya. Bapak tua?! Ben mengenalnya, iya Bapak tua itu yang memberikan kunci pagar kepada mereka dan tentu Bapak pengurus rumah ini. Jadi apa hubungan mereka berdua?
Bapak tua itu ternyata memiliki wajah yang sangat menyeramkan, banyak bekas luka yang masih dipenuhi oleh darah yang meleleh di sekitar wajah, di bagian mata, hidung, pipi bahkan dijidat. Kemarin Aarav, Ben, Geya dan Diah tidak bisa melihat jelas wajah itu karena si bapak tua yang sangat menunduk dan menggunakan tudung hitam yang menutup kepala Bapak tua itu.
Aarav, Ben, Geya dan Diah membeku detik itu juga. Mulut mereka terkatup, tak bisa membuka bahkan mengeluarkan suara. Apalagi ketika Aarav, Ben, Geya dan Diah menatap sosok perempuan yang berada disamping Bapak tua itu, perempuan itu berambut panjang sepinggang dengan wajah yang tampak tua juga, tak beda jauh dengan Bapak tua itu. Keduanya tengah tertawa meremehkan, dan menyeringai kearah Ben, Aarav, Geya dan Diah.
Dengan susah payah, Diah mengeluarkan suaranya yang sejak tadi tertahan ditenggorokan, Diah tercekat kaku. “Apa anda manusia?" tanya Diah penuh berani. Geya memeluk Diah semakin erat, Ben berada di dekat Aarav yang hanya datar memandang keduanya.
Bapak tua dan perempuan itu hanya terdiam, tak menjawab. Namun senyum sinis terukir dibibir keduanya, mata Bapak tua dan perempuan itu melotot tajam kearah Ben, Aarav, Geya dan Diah.
Dengan memeriksa kukunya, teliti dia melihat kukunya itu, taka da tanda-tanda darah yang keluar dari kuku tersebut. Diah juga tidak merasa aura setan disekitarnya, dia menjadi sangat yakin jika mereka adalah manusia? Tapi Diah pun tidak sadar saat beberapa hari yang dulu tidak menyangka jikalau ada perempuan dan ada anak kecil yang mengetuk-ngetuk pintu itu bukan manusia. Apa kelebihan Diah bisa dikontrol oleh mereka. Tapi apa anak kecil dan wanita itu bukan setan tapi manusia?
Otak Diah tegang, dia mengernyit berat ketika otaknya penuh dan mendadak sakit, yang sangat menyiksa. Dengan kuat, Diah mengarahkan tangannya untuk memukul kepalanya berkali-kali karena sangat banyak teka-teki yang membuat otaknya mendera pusing yang begitu hebat.
Ben yang melihat itu, terbelalak kaget. Tentu saja pukulan Diah di kepala terbunyi nyaring, membuat Ben bisa memprediksi saking hebatnya pukulan itu. Dengan cepat, Ben pun meraih pergelangan tangan kiri, menghentikan pukulan itu. Ben menatap Diah khawatir. "Kenapa? Jangan kayak gini." sentak Ben tegas kemudian Ben langsung menghempaskan lembut tangan Diah agar tangan itu menjauh dari kepala Diah. Diah hanya menatap Ben nanar, dia diam tak menjawab pertanyaan Ben.
Aarav maju lebih dekat, dia mengarahkan sahabatnya untuk berada dibelakangnya, berlindung di punggung Aarav. Aarav menatap manusia itu tak kalah tajam. "Kalian siapa?" suara rendah Aarav sangat mengerikan, raut gelap terpeta di wajah Aarav. Kini Aarav diselumuti oleh gelojak amarah yang besar.
Ben yang berada disamping Aarav, menimpali sinis, “Bapak yang urus rumah ini kan?" tanya Ben seraya menatap Bapak tua itu, mata Ben memicing hebat, dia tak mungkin salah. Itu pasti benar Bapak tua yang membantunya untuk masuk kedalam rumah ‘angker’ ini.
Kedua manusia tua itu tetap diam. Hanya menghunuskan tatapan yang cukup mengerikan untuk Ben, Aarav, Geya dan Diah. Ben dan Aarav tentu saja semakin marah, didiamkan seperti ini. Wajah Aarav semakin memerah karena emosi yang bergelengak hebat.
"Ini kenapa sih? Anda bisa ngomong nggak, masih punya mulut kan?" Kali ini Aarav sudah habis kesabaran, suara Aarav terdengar membentak. Nyaris membuat Diah dan Geya tak menyangka dengan suara Aarav yang seperti itu, tak pernah mereka dengar. Diah dan Geya akui sosok Aarav sangat berbeda saat ini, Aarav begitu menyeramkan marah seperti ini.
Perempuan tua itu tertawa keras, suara serak itu memenuhi sudut ruangan. Membuat Geya dan Diah terjengit kaget, kedua gadis itu merinding seketika apalagi saat perempuan tua itu menatap kearah Geya dan Diah saja, menghunuskan tatapan melotot dengan bola mata yang memerah seperti darah beku. "Hahaha senang sekali, akhirnya kita berjumpa. Gimana enak kan tinggal di rumah mewah ini?" Perempuan tua itu berkata dengan sudut bibir menyeringai keatas.
"SEPERTINYA SUDAH CUKUP UNTUK KALIAN BISA TINGGAL DISINI, SEKARANG MATI!” Tanpa aba-aba Bapak tua itu mengeluarkan s*****a tajam, menondongkan pisau kearah Geya seraya berlari secepat kilat kearah targetnya. Aarav yang melihat itu dengan cepat langsung menepis kasar hingga membuat Bapak tua itu sedikit lengah. Diah dan Geya langsung berlari terbirit-b***t ke pojok dinding, mereka saling memeluk dengan rasa ketakutan apalagi ketika melihat para cowok berkelahi dengan Bapak tua dan perempuan tua itu. Mereka bertengkar hebat.
Hanya Geya dan Diah yang tidak ikut. Geya dan Diah ketar-ketir melihat perkelahian itu tak terkendali lagi, mereka bingung harus melakukan apa. Apalagi ketika Diah dan Geya melihat Ben yang lengah dan perempuan tua itu mencekik Ben nyaris Ben kehabisan napas. Berbeda dengan Aarav, tubuh Aarav terpental kebelakang saat Bapak tua itu melayangkan pukulan cukup keras diperut Aarav. Aarav berteriak kesakitan tertahankan, tubuh Aarav seakan remuk dihabiskan oleh Bapak tua itu, saat Bapak tua itu maju hendak melayangkan pukulan lagi, dengan sekuat tenaga Aarav menendang perut Bapak tua itu hingga terdorong kebelakang beberapa langkah, Aarav yang mempunyai kesempatan langsung bangkit dari jatuhnya dengan ringisan yang tertahan di bibir.
Geya dan Diah semakin panik, muka keduanya pias dengan kekhawatiran dengan kesalamatan Aarav dan Ben. Diah menatap Geya seraya berkata gemetar, "Kita nggak bisa diam aja." Diah menyeka kasar air mata yang mengalir tanpa permisi membasahi wajahnya.