Aarav berjalan kearah TV, duduk diatas TV lalu mengambil mengambil remote TV kemudian menghidupkan TV. Saat TV sudah menyala, namun ada yang aneh kenapa siarannya terus sama seperti terakhir mereka lihat. Aarav mengotak-atik siaran itu, berkali-kali memilih siaran yang bagus nyatanya siarannya sama saja. Aarav mengernyitkan dahinya heran, apa mungkin ini disebabkan oleh jaringan yang tak ada disini? Makanya siaran yang ada merupakan siaran yang lama.
Geya menghampiri Aarav untuk mendekat, Geya memperhatikan raut wajah Aarav seraya duduk disampingnya. Geya bertanya dengan bingung, “Kenapa?" tanya Geya saat wajah Aarav tampak syok.
Aarav menatap Geya sekilas, masih memegang remote dengan menekan asal remote itu ke TV, menunjukkan kepada Geya. "Lo liat kenapa beritanya sama kayak kemarin, ini berita lama." Ujar Aarav. Hal itu membuat Geya langsung menatap kearah TV, Geya ikut berpikir namun hanya bisa terdiam takt ahu harus menjawabnya bagaimana. Geya ikut bingung juga saat menyadari apa yang dikatakan oleh Aarav benar.
"Mungkin rusak Rav." Diah berkomentar, kemudian duduk disamping Geya. Mereka sama-sama menatap TV itu.
Aarav menggeleng kecil. "Mana mungkin rusak."
Diah menarik napas berat. "Yaudah matiin aja gue pusing nggak mau mikir banyak hanya gara-gara Tv." Diah memijit kepalanya yang mendadak sakit, nyeri sekali. Rasanya ingin tidur.
Aarav mengangguk kecil, dia menurut dan langsung mematikan TV itu dengan kasar, kemudian Aarav melepaskan remote itu asal ke lantai, frustasi dan membosankan. Jikalau TV saja begini, Aarav bisa stress karena tak ada pengalihan beban otaknya. Geya, Diah dan Aarav bubar dari TV. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka masing-masing pada tempat tidur masing-masing. Mereka pun kembali tidur setelah lewat dari jam dua belas malam.
Awalnya, Diah merasa nyenyak dalam tidurnya namun tiba-tiba Diah merasa ada beban berat seperti beton di tubuhnya seperti ada yang menimpanya. Diah sesak napas dalam tidur itu, sulit sekali menghembuskan napas yang Diah ingin lakukan adalah membuka matanya dan mendorong beban berat itu tapi kenapa terasa begitu sulit? Tubuhnya membeku tak berkutik, bergerak dan berbicara saja Diah tak mampu. Sungguh, ini menyiksa sekali.
Diah langsung terduduk diatas kasur dengan napas terengah-engah, peluh membasahi jidatnya, susah payah Diah mengatur napasnya agar normal kembali. Diah memperhatikan sekitar, Diah melihat Geya disampingnya yang tampak sekali tertidur dan Diah juga melirik Aarav yang masih nyenyak juga dalam tidurnya. Hingga atensi dibuat bingung ketika tak sengaja Diah menatap kearah menuju kamar mandi, Diah memicingkan mata saat melihat sosok berperawakan tinggi seperti Ben yang tengah berdiri memunggunginya, tepat berada di dekat pintu masuk kamar mandi. Tidak mungkin itu Ben kan?
"Ben?" panggil Diah dengan tercekat. Sahabatnya sudah meninggal kan? kenapa masih ada di sini? Itu tak mungkin. Diah mengucek-ucek matanya, dan membuka kelopak matanya lagi namun sosok seperti Ben masih ada disana. Ben tidak bergerak sama sekali atau bahkan membalikkan tubuh untuk menatapnya, Ben masih setia membelakanginya.
"Ben?" panggil Diah lagi dengan pelan. Takut-takut Diah menanti Ben untuk berbalik. Diah hanya ingin memastikan bahwa ini tak hanya halusinasi semata.
Tepat detik itu juga, Ben berbalik, pria itu sudah berjalan secepat kilat kearah Diah. Ben tepat berada di samping Diah dan mencekiknya. Diah sangat syok, jantungnya berhenti berdetak.
Susah payah Diah melepaskan cengkeraman tangan Ben yang erat sekali dilehernya, membuat Diah sulit untuk bernapas dengan benar. "Apa yang lo lakuin?" Diah tersendat dengan ucapannya sendiri. Diah berusaha menjangkau paha Geya, menendang-nendang kaki Geya agar bangun untuk membantunya namun sia-sia Geya juga tak kunjung bangun padahal Diah sudah merasa diambang kematian.
Dengan berani Diah menatap wajah Ben dan terkejut sekali wajah Ben sangat mengerikan, tepat didepan wajah Diah. Muka Ben hancur tak terbentuk, lalat-lalat kecil menggelilingi wajah penuh darah itu, sulit sekali untuk dijabarkan, Diah gemetar dia takut sekali bahkan saat darah Ben menetes mengotori wajah Diah. Diah menutup matanya tak sanggup melihat lagi, tapi Diah masih berusaha melepaskan tangan Ben dari area lehernya dengan susah payah. Diah merasa ini merupakan pasokan oksigen terakhir untuk hidupnya, paru-paru Diah menyipit dan itu sesak sekali. Diah tersengal-sengah, rasanya seperti akan mati. Tepat disaat itu Diah merasa sudah mati, disitulah Diah kembali terbangun dengan wajah penuh syok. Diah sudah dibanjiri oleh keringatnya sendiri, baju yang sudah sangat basah.
Tak menunggu lama, tangis itu meledak sejadi-jadinya. Diah menangis keras, sekujur tubuhnya gemetar sekali. Diah takut, dia menutup wajahnya dengan telapak tangan yang basah. Perlahan, Diah menelaah ruangan dan tidak ada Ben di manapun. Wajah Diah sangat kacau, keringat dan sembab dimana-mana.
"Apa tadi gue mimpi di dalam mimpi?" bibir Diah bergetar hebat. Kemudian Diah menangis lagi, kesunyian kamar diselimuti oleh tangisan ketakutan Diah yang tak terkendali. Diah mencubit pipinya kuat dan terpekik karena terasa sakit. Benar Diah sekarang sudah bukan di alam mimpi. Kenapa Diah bisa mengalami hal separah itu. Apalagi saat dia merasa tertindih lalu ada Ben dan semua itu hanya mimpi? Diah menangis, dia masih tak bisa mengontrol rasa takutnya. Diah menangis tersedu-sedu, menutup wajahnya dan memeluk tubuhnya sendiri.
"Kenapa?" Tanpa basa-basi Aarav langsung bertanya seraya menatap Diah yang masih menyembunyikan wajahnya ditelapak tangan. Ternyata pria itu bangun ketika mendengar suara tangisan yang kuat.
Diah pelan-pelan melihat Aarav yang berada dibawah kasur yang tengah menatapnya dengan kelopak mata yang berat, mungkin Aarav masih sangat mengantuk. Tak menunggu lama, Diah langsung bangkit dari kasurnya dan memeluk Aarav yang berada di bawah kasur. Diah sangat erat memeluk Aarav sampai membuat Aarav cukup terkejut dengan serangan Diah yang terasa tiba-tiba.
Diah membenamkan wajahnya dalam dekapan Aarav, Diah masih terguncang karena tangisannya yang begitu kuat. "Hiks gue mimpi Ben, ngeri banget." Diah berkata dengan gemetar.
Aarav mengelus punggung Diah dengan pelan, mencoba menenangkan dan meredakan tangisan Diah yang semakin kuat saja, Aarav merasakan bahwa saat ini Diah sangat ketakutan. “Nggak papa ada gue, ayo tidur." Aarav berkata dengan sangat lembut. Aarav perlahan menguraikan pelukan Diah, Aarav menatap Diah dengan tatapan hangatnya, Aarav juga mengusap air mata yang masih berjatuhan dipipi Diah. “Gak apa-apa, semuanya baik-baik saja. Tenang ya!”
Diah hanya bisa mengangguk saja. Diah hanya bisa menurut ketika Aarav menuntunya untuk tidur kembali. Aarav membiarkan saja Diah tidur disampingnya, takutnya Diah akan kembali seperti tadi dan tak bisa tertidur dengan nyenyak karena diganggu. Aarav juga ikut membaringkan tubuh disamping Diah. Tentu saja, Diah langsung menenggelamkan wajahnya di d**a bidang Aarav hingga tak lama kemudian tertidur dengan tenang. Napas Diah sudah terdengar teratur.
Sebelum memejamkan mata, Aarav menatap langit-langit kamar dalam diam, barusan Aarav juga bermimpi jika Ben memintanya untuk membawa pulang jasadnya. Namun itu terdengar mustahil, bagaimana mempulangkan Ben, mereka saja tak bisa keluar dari sini. Tidak ingin banyak pikiran yang membuatnya pusing. Aarav memiringkan tubuhnya menghadap wajah Diah yang damai, Aarav tersenyum kecil ketika menatap parah Diah yang manis. Aarav menyelipkan anak rambut yang jatuh di wajah Diah ke belakang telinga, kemudian Aarav ikut menyusul Diah yang sudah tertidur. Tak lupa Aarav membalas pelukan Diah tak kalah erat. Aarav pun ikut tertidur dengan nyenyak.
Kelopak mata Geya perlahan terbuka, menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam retina. Geya mengucek matanya yang masih terasa berat kemudian Geya menatap jam dinding tepat didepannya. Ternyata sudah sangat pagi, Geya membangunkan tubuhnya. Duduk diatas kasur dan membelalakan mata ketika tak menemukan Diah disampingnya. Geya panik, dia jadi memikirkan jika Diah keluar dari rumah ini tanpa mengajaknya atau Diah dilarikan seperti Ben atau bahkan mati? Geya kalang kabut sendiri.
Baru saja ingin berteriak, tapi suaranya langsung tertahan di tenggorokan saat melihat Diah yang tidur justru tertidur di bawah bersama Aarav. Tak kalah syocknya, mereka tertidur dengan saling berpelukan. Ini sangat langka, dan hot news!
Geya tampak berpikir keras, tak henti-hentinya menatap Diah dan Aarav. "Kenapa mereka bisa tidur bareng?" Geya mengetuk-getuk jari telunjuknya di dagu, masih berusaha mencari jawaban di otaknya, keras sekali Geya berpikir pasalnya ini terasa seperti tak mungkin saja. "Apa pacaran? Dan nggak ngasih tau gue. Wah nggak bisa dibiarin nih!” Geya menggeleng kepala tak terima. Dulu saat jadian, Geya setia sekali memberitahukan pada Diah bahwa dia sudah berpacaran dengan lelaki yang mencintainya selama tujuh tahun, dan itu Geya menceritakan panjang lebar sama Diah namun melihat Diah jadian, Geya merasa tak dianggap. Kenapa Diah tak curhat dengannya?
Geya langsung bangkit dari tempat kasurnya, menjadi duduk dibawah tepatnya disamping Diah. Geya mengoyangkan anggota tubuh Diah berkali-kali, untuk segera bangun. “Diah bangun udah pagi." Geya masih mengoyangkan tubuh Diah.
Diah mengeliat, dia membalikkan tubuhnya menjadi terlentang. "Hmm." Diah bergumam pelan, dia mengucek matanya yang berat kemudian langsung bangun dari baringnya. Nyawa Diah belum terkumpul penuh.
Geya lantas langsung bertanya, "Kok lo bisa tidur sama Aarav, lo udah pacarana ya sama dia?" Geya memicingkan matanya penuh kecurigaan kearah Diah, meminta penjelasan.
Diah menarik napas, sejenak. "Enggak tadi malam gue mimpi Ben jadi Aarav yang nenangin gue." Jelas Diah, dia menatap Geya penuh keyakinan tak ada kebohongan yang ditutupi.
Geya hanya mengangguk paham dan ber ‘oh’ ria saja.
"Lo mimpi Ben nggak?" Diah bertanya dengan pelan.
Geya mengangguk ringan, tak terlihat. Penuh kewaspadaan Geya menatap sekitar sebelum menjawab, “Gue cuman liat wajah dia aja dari jauh gitu, terus dia hilang." bisik Geya lirih tepat di telinga Diah.
Diah menghela napas berat, menerima kenyataan bahwa tak hanya dirinya saja yang bermimpi Ben. Namun kenapa Diah separah itu? Dan tak bisa tertidur dengan nyenyak.
Diah menatap Geya. “Apa kita bakalan mimpi dia terus seumur hidup?" Diah berkata tak semangat.
Geya menghela napas kasar. “Gue nggak tau semoga aja nggak, mungkin semua ini karena Ben pengen di bawa pulang jasadnya." Jelas Geya prihatin. Sebenarnya Geya masih tak menyangka Ben akan mati secepat itu apalagi dalam keadaan yang cukup mengenaskan.
"Iya. Tapi mimpi gue itu ngeri banget, gue rasa itu setan yang menyerupai Ben, nggak mungkin kan dia bisa sejahat itu sama gue." Diah bergetar, dia masih ketakutan. Geya hanya bisa terdiam, karena dia sendiri tidak tahu. Secepat mungkin Geya langsung menarik tubuh Diah kedalam pelukan, menenangkan Diah yang hendak menangis lagi, mata Diah sudah berkaca-kaca. Geya hanya terdiam tanpa bertanya, hanya menenangkan Diah saja.
Diah menguraikan pelukan, Diah menyeka air matanya kasar dari pipinya. Diah melirik kearah Aarav yang masih tertidur disampingnya. "Yaudah gue bangunin Aarav." Dengan pelan, Diah membangunkan Aarav, tak lama kemudian Aarav langsung terbangun. Tumben sekali, biasanya Aarav sulit sekali dibangunkan. Aarav duduk disamping Diah, menatap Diah sekilas kemudian menatap kedepan dengan wajah yang cerah. Tanpa basa-basi, mereka pun makan terlebih dahulu dengan makanan yang seadanya, tanpa mereka sadari berat badan mereka sudah menurun dratis.
"Kalian mikir nggak sih, kasian mayat Ben kalau nggak di kuburin." Geya berkata seraya mengunyah snack yang ada di dalam mulutnya.
Diah mengangguk sekilas, "Iya tapi bagaimana lagi, di sini nggak ada tanah langsung ." Diah berkata dengan lesu.
"Kasian juga keluarganya nggak tau kabar ini." Aarav ikut menimpali, menatap Geya dan Diah secara bergantian. Hari ini Aarav tersadar bahwa kenangannya dengan Ben terlalu banyak hingga membuatnya menjadi kepikiran. Aarav baru merasa sedih sekarang, kehilangan sahabatnya untuk selama-lamanya. Kenapa Ben secepat itu meninggalkan mereka?
"Kita harus cari cara untuk bawa Ben pulang." tekad Diah begitu kuat dan semangat.
Geya langsung mengangguk mantap, “Harus." lanjut Geya tak kalah semangat.
"Tapi gimana ya?" Diah bertanya seraya berpikir dengan keras. Diah jadi bingung sendiri, sudah berbagai cara mereka lakukan tapi taka da berhasil justru malah terkena s**l. Diah menompang dagunya di tangannya, lesu. Lelah juga memikirkan hal yang tak ada ujungnya.
"Kita temui itu orang tua." ujar Aarav tegas.
Diah dan Geya terkejut detik itu juga. Tak menyangka dengan ucapan yang keluar begitu santai tanpa beban dari mulut Aarav.
"Lo gila?" sentak Geya ketus. Dia melotot kaget kearah Aarav yang tampak tenang saja setelah menyelesaikan ucapannya itu.
Aarav menghela napas berat, “Percuma Ge, kalau kita gini terus yang ada tetap mati. Lebih baik kita mati tapi ada usaha dari pada mati berdiam diri." Jelas Aarav dengan bijak. Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Mencoba dan berjuang lagi, tak ada yang salah bukan?