Bab 4

2087 Words
Setelah memasuki kamarnya yang berada di pojokan kamar. Dengan perasaan gembira, Diah menuju kearah lemari. Wanita itu menjinjitkan kakinya yang pendek untuk menjangkau atas lemari, Diah meraba atas lemari dan setelah menemukan yang ia cari. Diah langsung menurunkan dengan pelan kopernya itu. Diah membuka kopernya itu yang sudah ia letakkan di lantai, dan mulai membuka lemari. Ia mulai menata beberapa baju ke dalam koper dengan rapi dan yang paling penting Diah bawa adalah perangkat elektronik, kamera dan charger serta sejumlah uang tunai.  Selesai dengan urusannya itu. Diah mulai mendorong kopernya itu untuk keluar, Diah sudah cantik mengenakan balutan yang simple, Diah memang tipe wanita yang tak mau bikin ribet. Senyum di bibir Diah makin terukir lebar ketika melihat keberadaan orangtuanya di ruang tamu, tengah menonton siaran Insert pagi. Diah mulai berjalan mendekati orangtuanya dan tanpa kebisingan Diah langsung menyalami satu persatu tangan orangtuanya. Alhasil membuat kedua orangtua Diah tersentak kaget dengan kedatangan anaknya secara tiba-tiba. Diah tersenyum dengan manis, bergantian menatap kedua orangtuanya untuk berpamitan. “Ma Pa aku pamit dulu ya.” ujarnya, girang. Meski melihat senyum di bibir anaknya itu, sebagai orangtua kepala keluarga. Dan Diah merupakan anak satu-satunya membuat Papa Rendi pias untuk mengiyakan keinginan anaknya ini. Papa Rendi memegang pergelangan tangan anaknya, mencegahnya untuk pergi tampak sekali di raut Papa Rendi merasa tak rela Diah pergi. “Kamu yakin? Udah lama juga kan kamu nggak pergi begituan,” tanya Papa Rendi memastikan lagi dan mencoba membuat anaknya menjadi ragu untuk pergi. “Iya Papa,” jawab Diah gemas. Pasalnya Papa Rendi tak hanya satu dua kali saja menanyakan hal itu. Padahal Diah sudah menyakinkan Papanya bahwa ia akan berusaha baik-baik saja disana. “Yaudah aku pamit dulu ya, nanti keburu teman-teman aku nunggunya lama. Ma, Pa pergi ya.” tukasnya lagi senang, dengan seulas senyum terbaiknya. Perlahan, Diah mulai melonggarkan pegangan tangan Papanya dari lengannya. Mama Ria yang melihat interaksi keduanya hanya bisa terdiam dalam kesedihan. Melihat anaknya pergi membuat Mama Ria ingin menangis, sebenarnya Mama Ria sama hal dengan Papa Rendi. Mereka sangat ragu sebenarnya membiarkan anaknya pergi beberapa hari. Hanya berdua dengan sang suami di rumah tanpa anaknya pasti sangat menyesakkan. Namun Mama Ria tak bisa mencegah anaknya, karena sejatinya Diah pernah juga berpergian seperti ini, tetapi kali ini insting sebagai orangtua menjadi sedikit aneh dan tak suka anaknya akan pergi kesana. Diah menghapus air mata yang tumpah di pipi Mamanya yang Diah tahu tanpa disadari oleh Mamanya, ia menjadi tak tega melihat Mamanya seperti ini. Ingin membatalkan kepergiannya? Sayangnya tidak bisa karena Diah juga sudah berjanji pada teman-temannya. Diah berlutut di depan Mamanya, kemudian mengelus kedua punggung tangan Mamanya dengan lembut. “Jangan sedih Ma, Diah cuma pergi bentar kok,” Diah menjadi turut merasakan kesedihan dari Mamanya. Tak sanggup menatap sorot anaknya, Mama Diah memilih mengalihkan tatapannya kearah lain. Mama Rai tak mau anaknya melihat matanya yang sudah dipenuhi oleh air mata. “Jangan lama!” Diah sedikit bisa tersenyum tenang, kemudian mulai menegakkan tubuhnya lalu memegangi kopernya kembali. “Iya Mama, Mama kan tau kalau aku juga nggak lama di sana.” cercanya, lembut. "Oke deh." Mama Ria dan Papa Rendi menyahut bergantian. Lagi, Diah menyalami kedua tangan orangtuanya. Lalu, berbalik dan berjalan keluar dari rumah. Mama Ria dan Papa Rendi menatap kepergian anaknya dengan sangat tak rela. Sebelum memasuki mobil Geya yang sudah berada di depan rumahnya, Diah menoleh sebentar untuk sekadar melihat ke belakang. Ia menghela napas panjang, dalam hati Diah bersumpah ia akan membuktikan pada orangtuanya akan pulang dengan selamat. Toh, ini hanya untuk bersenang-senang sebentar bersama sahabat lamanya dengan kata lain Diah tak ingin memutuskan silaturahmi dengan sahabatnya. Diah membuka pintu mobil setelah meletakkan kopernya di jok belakang. Ia sudah duduk di samping Geya dan langsung di sambut denga sorakan Geya yang antusias. Diah hanya melirik sekilas dengan senyum, Diah tengah memasangkan sabuk pengaman. Geya bertepuk tangan histeris di roda kemudi, ia melayangkan tatapan bahagia dan senyum lebarnya kearah Diah. “Wah enak banget pasti nanti di sana, jadi makin nggak sabar langsung sampe. Pengen deh bisa terbang dan nggak makan banyak waktu buat disana. Yeayyy akhirnya bisa hiburan.” seru Geya begitu heboh sendiri. Diah yang melihat itu hanya bisa melemparkan senyum kecil. “Semoga aja sih. Jangan riya banget.” ucapnya penuh peringatan. Diah memang sangat mengenal Geya yang tipe anaknya sangat pencicilan dan kelewatan heboh, bukan niat ingin melarang hanya saja mereka pergi ke daerah orang yang tentunya juga punya peraturan tersendiri di sana. Geya menyanggah. “Ya enggak lah. Dari mana pula coba gue riya.” Diah mengangguk mengerti. “Yaudah ayo.” tuturnya. Geya pun melajukan mobilnya. Sepanjang jalan hanya keheningan yang menyelumuti, akhirnya Diah yang merupakan sosok wanita yang tak suka kesunyian, memutuskan keheningan itu. Lagi pula, ada juga yang harus Diah pertanyakan apalagi kalau bukan sahabatnya yang lain. “Orang Aarav sama Ben gimana?” Geya mengendikan bahunya tak tahu menahu, tak menatap lawan bicaranya. Geya menjawab, “Mereka ada di mana entah lah. Intinya suruh tunggu di Bus gitu sama Aarav.” Geya kembali mengingat pesan Bimo tadi subuh. “Naik bus?” Geya mengangguk. “Iya kan udah di bilang di grup, nampak banget ni lo nggak read.” tuduh Geya seraya memicingkan matanya kearah Diah. Diah menyengir tak enak mendengar hal itu. “Ya kalian banyak banget pesan, malas ngescroll.” jelasnya. “Jadi nanti si Ben tunggu di terminal kan?” tanya Diah lagi hanya ingin memastikan saja. “Iya,” jawab Geya sekadarnya. “Udah lama ya kita nggak liat si Ben,” ucap Geya mengenang masa lalu. Ketika sekolah dulu Ben dikenal sebagai most wanted terpopuler di masanya, makanya Geya sangat penasaran bagaiman rupa Ben sekarang, rasanya jadi tak sabar melihat Ben lagi secara langsung. Ben yang ia kenal dulu sangat tampan. “Iya nih, palingan sih wajahnya nggak berubah.” Diah tertawa kecil merespon Geya. Dan tak kerasa mereka sebentar lagi akan sampai tempat tujuan. *** Diah dan Geya bergegas berlari ketika matanya bersitatap dengan Aarav disana, tengah berdiri di samping Bus yang akan mereka naiki nanti. Diah merentangkan satu tangan, satu tangan yang lain menarik koper. Jarak yang semakin terkikis, membuat Diah langsung terpekik senang memanggil nama Aarav dengan heboh. “Aarav!” Diah langsung memeluk tubuh Aarav. Seakan sadar, Diah seketika menjadi canggung dan melepaskan pelukan itu dari tubuh Aarav yang kaku, mungkin kaget dengan terjangan tubuhnya yang tanpa aba-aba. Berbeda dengan Geya masih memeluk Aarav dengan nyaman, sampai akhirnya Aarav berdehem dan secara perlahan melepaskan tangan Geya dari pinggangnya. Geya menjadi cemberut karena hal itu, Aarav jual mahal mah, ‘batin Geya berkata sebal. “Udah lama nggak ketemu, eh makin genteng aja sih bang bang Aarav nih.” Dengan berani Geya mencolek bahu Aarav dengan genit. Aarav tak membalas dengan ucapan, ia hanya diam saja seraya mengukir senyum tipis, tak kentara. Hening menyelumuti mereka. “Yaudah ayo udah gue pesanin tiket," ucap Aarav setelah mengalami jeda selama dua puluh menit. Aarav hanya sekilas menatap Diah dan Geya. Diah dan Geya mengangguk patuh kemudian berjalan mendekati pintu masuk Bus itu, dan mulai memilih tempat duduk yang nyaman, namun kelihatannya tak ada kenyamanan sama sekali dalam Bus ini. Aura Bus ini langsung menguar udara yang aneh, beda sekali dengan udara di luar yang sejak tadi menerpa tubuh mereka. Diah sudah mulai duduk di tempat usang ini. Diah mengamati tempat duduknya, isi dari dalam kursi duduk ini ada yang mulai keluar, tak layak sebenarnya untuk dipakai. “Kenapa harus bus ini?” keluh Diah. Jujur, Diah tidak merasa tenang berada disini. Aarav yang berada di dekat Diah langsung menimpali. “Kata si Ben, cuman bus ini yang cepat nyampek ke sana yang lain lama.” Jelasnya, agak datar. Aarav duduk disamping kursi yang lain, namun tetap berdampingan dengan Diah dan Geya, Aarav hanya menatap ke depan ketika menjawab pertanyaan itu. Geya yang berada di posisi duduk bersebelahan dengan Diah, ikut menginterupsi. Ia menyerngit aneh dengan perkataan Aarav. “Jeh nggak mungkin gitu.” Aarav menghembuskan napas panjang, sejenak. “Gimana nggak mungkin, dah lah kan dia bayar.” ucap Aarav lagi, ingin menyegahi obrolan ini yang menurut Aarav tak terlalu penting untuk dijelaskan panjang lebar. Diah dan Geya hanya bisa mengangguk saja, tak lagi menjawab ucapan Aarav. Diah melirik Aarav sekilas. "Lo kan kaya kenapa nggak balen kita aja sih, nampak banget pelit," ucap Diah yang memegang besi disampingnya erat. Sebab, bus ini mulai bergerak. Aarav dan Geya yang tadinya tak memegang pegangan sontak membuat keduanya mencari pegangan karena bus ini di awal-awal berjalan menghadirkan guncangan yang sedikit tak karuan. Diah, Aarav dan Geya mencari aman agar tak terbentur benda keras. Beberapa menit kemudian, bus mulai berjalan dengan tenang membuat ketiganya akhirnya bisa bernapas lega, sempat terpikir oleh mereka sebenarnya apa terjadi dengan bus ini, aneh sekali. Atensi mata Diah mengamati suatu hal yang menurutnya sedikit aneh, ketika Diah melihat ke depan tepatnya ke arah ibu-ibu yang sedari tadi Diah rasa tidak bergerak, berdiam diri bagai patung tak bernyawa. Bahkan, Diah baru sadar ada beberapa ibu-ibu yang mengisi kursi depan bus ini. Sejatinya tadi, Diah tak melihat siapapun kecuali mereka bertiga. Dengan ragu Diah mencoba menyapa ibu yang berada di depan kursinya. “Buk?” panggilnya, pelan. Dahi Diah semakin menyatu ketika tak ada tanda-tanda bahwa ibu itu akan menoleh ataupun membalas ucapannya. Mencoba mengumpulkan keberanian, Diah memegang bahu ibu yang berpakaian putih itu tapi anehnya hasilnya malah kosong. Tak ada siapa-siapa, membuat Diah menjadi semakin bingung. Bahkan, Diah bergerak mengucek kedua matanya kasar, dan membuka kembali dan Diah menatap kedepan ibu-ibu yang lain masih ada namun hanya ibu yang berada di depannya yang menghilang seperti dimakan angin. “Bak Buk Bak Buk, apaasih si Ge.” Geya menatap aneh kearah Diah yang bersikap aneh sejak tadi, Geya memang memperhatikan Diah dan ketika Diah semakin aneh, Geya langsung mengintrupsi. Bahkan, Geya menyentak bahu Diah agar sadar, berpikir mungkin Diah kesurupan. Merasa ketakutan, Diah langsung menutup kedua matanya dengan telapak tangan. Diah menoleh kearah Geya tanpa menatap mata Geya. “Tadi ada orang kan di depan kita?” Diah mencoba mengontrol tubuhnya yang mulai gemetar karena takut. Geya memutar bola matanya, kemudian menatap area yang di maksud Diah barusan. Geya langsung mengernyit aneh, tak ada orang lain didepan mereka. “Gak ada. Udah deh gue tau lu hidup jarang susah jadi agak prustasi duduk di bus jelek kayak gini.” tukas Geya. Perlahan Diah membuka celah melalui jari-jarinya untuk menatap Geya. Diah langsung menggeleng cepat. “Bukan gitu,” jelasnya, bergetar. Diah melirik sekali lagi kearah itu namun tetap tidak ada, padahal Diah ingin menunjukkan hal aneh itu pada Geya. Apa mungkin hanya ia yang bisa melihat hal yang menyeramkan itu? Diah beranjak bangkit dari duduknya, hendak mengintip dan memastikan sekali lagi kearah kursi itu. Kursi itu bersih seperti tak ada bekas orang duduk disana hanya saja Diah mendapati sebuah sendal putus yang berada disamping kursi itu.  Diah melirik semua penumpang dan ternyata ada dua orang lagi yang berada di depannya. Bus ini tak menampung banyak orang, bahkan bisa dihitung dengan jari. Geya dan Aarav hanya memperhatikan Diah dalam diam, mereka membiarkan Diah berbuat sesukanya, bahkan ketika Diah mulai menjauh dari tempat duduknya dan mendekati ibu yang berada di depan. Ibu yang Geya dan Aarav bisa juga melihatnya. Takut-takut Diah menatap ibu itu. “Buk?” panggil Diah pelan. Ibu itu menoleh kearah Diah. “Iya?” Syukurnya kali ini Diah bisa bernapas dengan tenang. Ibu ini tak seperti ibu tadi, tak ingin berbasa-basi Diah langsung bertanya keintinya. “Ada yang aneh nggak?” Wajah Diah tampak pias, takut-takut ia melirik kearah lain namun hanya sekilas, Diah hanya berjaga-jaga bahwa disekitarnya tak ada hal aneh lagi yang mungkin saja bisa membahayakan dirinya. “Maksudnya?” Diah gelagapan sendiri, tidak mungkin kan ia menanyakan hal yang tidak jelas. Diah hanya ingin bertanya, mungkin ia tak sendiri yang merasakan itu. Sampai akhirnya, Diah bisa menangkap raut wajah si ibu yang mulai tak suka dan rada risih dengan kehadirannya. Diah langsung setengah menunduk dengan sopan.  “Sorry bu.” ujarnya, kaku. Kemudian Diah berbalik kearah sampingnya lagi dan langsung menanyakan satu hal lagi pada ibu yang lain. “Permisi Buk, Ini bu saya mau nanya ibu mau ke mana?” tanya Diah. Si ibu itu hanya melirik sekilas, tanpa melihat kearah Diah langsung menjawab dengan ketus. “Ke kampung Bihai.” jawab si ibu dengan malas. Diah mengangguk dan menuju ibu satu lagi. “Mendarat di mana bu?” tanya Diah dengan sopan. Ibu itu juga tengah mengendong seorang anak bayi. Tanpa melihat Diah, ibu itu menjawab pelan. “Ke kampung Bihai.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD