Bab 5

1707 Words
Penumpang hanya lima orang dengan tujuan yang sama. Padahal bus ini masih enak meskipun tempatnya duduknya lumayan tidak bagus. Namun demikian tetap saja aneh, biasanya bus sebesar ini akan menampung lebih banyak orang bukan hanya lima saja. Diah harus berpikir positif mungkin saja tidak banyak yang ingin berpergian, orang kantor juga belum libur maka mereka tidak bisa untuk mudik. Dan tujuan mereka bisa semua sama itu adalah hal yang unik. Hingga, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menarik lengan Diah membuat Diah sontak terpekik jantungan. Diah langsung menoleh kearah belakang dan akhirnya bisa bernapas lega. Berkali-kali, Diah mengelus dadanya yang berdetak tak karuan, kenapa ia menjadi was-was seperti ini. Diah langsung mencubit pingang seseorang itu karena sudah membuatnya kaget, sang empu hanya bersikap biasa saja karena cubitan Diah tak berpengaruh pada tubuh kekarnya. “Lo Aarav ngangetin aja ih.” Diah melototkan matanya kearah Aarav, air muka Diah sangat masam. “Lo ngapain sih? Jangan buat aneh-aneh, kembali ke tempat duduk. Yok!” Aarav memegang jemari Diah dan menduduki Diah di tempat semula.  Aarav membuat kode kearah Geya, bermaksud mengusir Geya dari tempat duduk, Geya yang mengerti akhirnya mengalah dan memilih duduk di tempat lain. Diah dan Aarav sudah sekursi, Aarav masih mengamati Diah yang sejak tadi hanya melamun kedepan dengan wajah pucatnya, sesekali wanita itu menggigit kuku sendiri sampai memerah, Aarav melihatnya sampai Aarav bingung sendiri. Ada apa sebenarnya dengan Diah? "Kenapa lo gerasak gerisuk begitu? Duduk yang bagus, tenang dikit!” titah Aarav seraya menyingkirkan tangan Diah dari giginya, pasalnya Diah semakin brutal menggigit kukunya sendiri. “Lo kenapa sih? Ada yang nganggu lo, cerita sama gue!” ujarnya, sedikit bingung. Bingung karena wajah Diah semakin pias dan pucat pasi. Diah menjadi semakin was-was. “Itu lo tau masa mereka semua ke Kampung Bihai.” Diam-diam Diah menuju kearah ibu-ibu yang tampak tak berkutik disana, memberitahukan kepada Aarav rasa aneh yang tiba-tiba berada di bus ini. Aarav mengikuti jari telunjuk Diah, mereka menatap hal yang sama. Aarav mengernyitkan dahinya, Diah semakin aneh saja. Dia bertanya tak mengerti, “Lah emang kenapa coba?”  Diah ketar-ketir. “Ya aneh.” Aarav menghela napas jengah. “Udah jangan ribet.” tukas Aarav dengan malas. Diah hanya bisa mengalah dan tak ingin memperpanjangkan masalah. Diah memberi anggukan pelan sebagai balasan singkat dari ucapan Aarav. Diah menyandarkan punggungnya diatas kursi, menatap kearah jendela, mengamati jalan dan merasa perjalanan masih sangat jauh. Ia hanya bisa menarik napas panjang, semoga saja ini cepat berakhir. Diah menguap, menutup mulutnya dengan tangan.  Kelopak matanya sangat berat, tidur mungkin merupakan ide yang bagus. Diah menutup kedua matanya, tenggelam kedalam mimpi. Diah tertidur dengan gelisah, pasalnya dalam tidur itu muncul sosok besar yang berlumuran darah disekitar wajahnya yang sudah rusak, melotot dengan mata merah kearah Diah, sosok besar itu perlahan menerjang tubuh Diah. Diah tak bisa bergerak, tubuhnya menjadi kaku dan napasnya menjadi sesak sekali.  Diah seakan tak bisa terlepas dari sosok besar itu, Diah hanya bisa menjerit dengan kesakitan ketika sosok besar itu menggigit lehernya dengan ganas. Sampai akhirnya Diah tersadar, saat sebuah tangan menyentak bahunya. “Bangun, kita sudah sampai!” Aarav menatap bingung kearah sorot mata Diah yang kosong memerah. Wanita itu kaku, dan seperti tak bernyawa menatapnya. Akhirnya, Aarav menyentak Diah lagi untuk menyadarkan wanita itu yang mungkin belum selesai mengumpulkan nyawa. Diah tersadar, d**a Diah naik turun parah, napas menjadi sangat tak beranturan. Susah payah, Diah membalikan napasnya seperti semula. Keringat memenuhi pelipis Diah. Aarav menjadi sangat bingung bersama Diah. “Lo kenapa? Kayak orang kesurupan aja, lo mimpi buruk?” Diah tak menggubris pertanyaan Aarav. Diah justru memeriksa lehernya yang digigit oleh sosok besar itu dalam mimpinya. Dengan tergesa-gesa Diah meraba lehernya asal, Diah melihat tangannya yang sehabis memegang leher, tak ada bercak darah ditangannya. Padahal jelas-jelas dalam mimpi itu Diah sudah berdarah-darah banyak, bahkan nyawanya hampir saja terenggut apabila Aarav tak segera membangunkannya. Diah menjadi sangat susah berbicara, Diah hanya bisa menatap Aarav yang hanya terdiam kebingungannya melihatnya. Diah ingin sekali menjerit dalam hati, ia takut sekali. Demi apapun, Diah ingin menangis saja. "Lo gila ya, lo aneh banget!” Aarav tak lagi memperdulikan Diah. Pria itu langsung bangkit dari kursinya menuju pintu keluar diikuti Geya dari belakang namun sebelum itu Aarav menyelesaikan satu kalimat lagi pada Diah. “Udah turun, udah sampek.” titah Aarav datar. Geya sekilas menatap Diah yang masih terdiam di kursi itu. “Diah ayo turun! Ngapain sih masih duduk disitu, Ayo Diah kita turun!” terpaksa, Geya menarik tangan Diah untuk bangkit dari kursinya. Diah hanya bisa bergerak dengan kaku, sungguh Diah terlihat seperti sosok yang baru saja tersengat aliran listrik. Aarav, Geya dan Diah sudah menginjakkan kakinya ke tanah. Geya langsung menghirup udara segar dari luar, jujur sejak di bus Geya merasa pengap seperti dalam labirin tak ada ujung. Karena hal itu Geya hanya tertidur dalam bus makanya sejak dalam bus, Geya tak mengimbrung obrolan Aarav dan Diah. Geya menyenggol bahu Diah, ia mendekatkan diri ke telinga Diah agar tak ada yang bisa mendengarka hal ini. Geya berbisik sesuatu. “Gue mimpi tadi kalau penumpang di bus ini bukan manusia.” Iya, Geya memang bermimpi hal itu dan Geya merasa tak menyangka memimpikan hal aneh seperti ini. Tetap saja Geya tak percaya, mimpi ya mimpi tak ada sangkut pautnya dengan dunia nyata. Diah membeku mendengar itu, Diah menggeleng kaku. “Ya nggak mungkin lah.” jawab Diah sedikit ragu. Diah langsung menggelengkan cepat kepalanya ketika bayangan menyeramkan hadir dalam benaknya, tidak, tidak mungkin ini pasti hanya halusinasinya saja. Sungguh, Diah lelah seperti ini. Ia merasa seperti tengah di terror dengan makhluk halus. Diah langsung menatap kearah Geya dengan mata yang sedikit dilebarkan, seperti baru saja melihat hantu. Berusaha, Diah langsung merubah mimik wajahnya, Diah justru terkekeh kecil menanggapi candaan Geya. Diah menampol bahu Geya pelan, kemudian bertanya, “Bukan manusia gimana maksud lo? Ini orang semua setan gitu?” Diah tetap bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa dengannya. “Maksud kamu apa?” tanya Ibu yang sedang mengedong anak itu secara tiba-tiba, cukup mengagetkan Diah dan Geya secara bersamaan. Diah dan Geya langsung menoleh kearah si ibu yang menatap mereka dengan dingin. Geya tersenyum kaku lalu menggeleng kecil dengan sopan. “Nggak bu.” cicit Geya pelan. Diah dengan mengelang panik, memberi kode kepada Geya untuk tidak menceritakan yang mereka bicarakan tadi, Diah tahu bibir Geya sudah bergerak ingin melanjutkan ucapan. Si ibu gendong anak itu hanya berdengus kecil kemudian pergi melewati mereka. Diah melemparkan tatapan kesalnya kearah Geya. “Lu si.” tuding Diah ketus. Diah memberi tatapan menuduh kepada Geya. Diah hanya takut permasalahan tadi menjadi lebih besar ketika orang yang tidak kenal tahu apa yang mereka rasakan saat di bus. Geya memutar bola mata malas, Geya membalas ucapan itu dengan sinis. “Apasih.”  “Yaudah ayo.” Diah langsung mengajak Geya segera pergi dari sini. Aarav sudah berjalan sangat jauh seorang diri maka mereka tak ingin ketinggalan apalagi daerah ini memiliki aura yang sedikit mencekam, atmosfernya panas dingin. Masih takut dengan pemikirannya, Geya memegang erat lengan Diah sebagai pelindungan. Geya bergelanyut di bahu Diah yang hanya menerima dan mengerti karena Diah juga merasakan hal sama namun Diah memendam sendiri dan tak ingin menceritakan pada siapapun. “Wah sampek juga kalian.” Ben di samping mobil sudah menyambut kedatangan sahabatnya dengan antusias. Ben menghampiri Diah, Aarav dan Geya, menarik tangan-tangan sahabatnya agar cepat sampai, bisa rasakan betapa semangatnya Ben ketika ketemu dengan sahabat terkengen dan terindunya. Rindu banget. “Ayoooo cepat jalannya, ayoo ke mobil gue!” Ben memeluk Aarav dari samping, Aarav hanya memutar bola mata melihat tingkah Ben yang tidak berubah. Aarav, Diah dan Geya mengikuti langkah Ben dengan sedikit cepat karena suruhan Ben.  Mereka berempat sudah duduk dalam mobil, Arav disamping Ben, Diah dan Geya duduk sebelahan. Mereka memakai sabuk pengaman masing-masing. “Jadi kita mau kemana?” tanya Aarav pada Ben. Sejak tadi Ben tak melunturkan senyumnya, akhirnya tiba juga. Ben mulai menyalakan mobilnya dan membawa mobilnya dengan kecepatan sedang. “Mau ke rumah orangtua gue.” balas Ben semangat. “Ngapain?" ujar Geya meminta penjelasan pada Ben. Ben menghela napas. “Mereka nggak percaya kalau gue mau pergi tempat lain. Mereka yakin banget kalau gue pergi ke rumah yang kita tuju makanya gue bawa kalian sekarang sebagai bukti di mata orangtua gue,” jelas Ben panjang lebar. Geya menyatukan alisnya. “Maksud lu apa? Kita kan emang mau ke situ.” Diah dan Aarav merasakan hal bingung yang sama. Apa Ben ingin membohongi orangtuanya tapi untuk apa? Ben mengendikkan bahunya, tak tahu menahu. “Nggak tau tu, mungkin ada dendam orangtua gue sama tu rumah.” cercanya. Ben mencoba menipulasi sahabatnya, seraya memasang wajah menyakinkan kepada sahabatnya yang mungkin sudah sedikit curiga dengan perkataannya tadi. "Dan juga kita ke sana nggak lama. Nggak usah nginap, liat-liat aja kalau udah liat kita langsung liburan ke tempat lain.” Ben mulai menjelaskan rencananya. Diah bertanya bingung. “Kemana? Gue nggak bawa uang banyak.” cerca Diah khawatir. Uang Diah memang terbilang tak begitu banyak, hanya cukup membeli kebutuhan pokoknya saja. “Sama gue juga.” Geya ikut memberitahukan. Ben tertawa kecil mendengar kekhawatiran sahabat-nya itu. “Tenang gue bayar kalian semua,” ujar Ben dengan santai. Diah dan Geya berdecak dengan kagum. Mereka berkata dengan sangat kompak. “ Wihhh anak sultan emang beda ya," setelahnya Diah dan Geya saling melemparkan tawa recehnya ketika mereka tanpa sadar terdengar sangat serasi. “Kalau gini pasti seru," lanjut Diah dengan girang. Ia tak perlu memikirkan akan sekarat tanpa uang nanti. Tak terasa mereka pun sampai di rumah Ben yang megah sekali. Rumah Ben paling mencolok disini. Di lihat dari rumahnya saja sudah terasa harum uang sampai keluar. Pintu gerbang dibuka secara otomatis, Diah dan Geya berkali-kali berdecak kagum melihat kemewahan itu. Mobil itu mulai memasuki garasi, mereka bertiga pun keluar dari mobil dengan gaya. Sampailah mereka di rumah Ben dengan kemewahannya. Diah dan Geya paling terlihat kehebohannya. Ben membuka pintu dengan sidik jari. “Assalamualaikum.” Mereka secara serentak mengucapkan salam. Dodi yang berada di ruang tamu langsung bangkit dari tempat duduknya di sofa, meletakkan majalah di atas meja dan mulai berjalan menghampiri anak-anak remaja itu. “Waalaikumsalam.” jawab Dodi Papa. Aarav, Diah, dan Geya satu persatu berjalan menyalami Papa Dodi dengan sopan. “Siang Om.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD