Kini Diah dan Geya tengah tertidur tengkurap dengan ponsel di tangan masing-masing, mereka baru saja meng-upload video Tik Tok karya mereka, joget-joget asik. Kemudian Diah menyengol bahu Geya sembari berkata.
"Kamu pulang gih,” suruh Diah dengan pelan tetapi focus mata gadis itu masih pada ponsel di tangannya. Diah tengah bermain game ML.
Geya mendelik kesal. “Lo ngusir gue?” Tanpa beban, Diah mengangguk pelan.
“Iya kan udah malam juga nih udah jam 10 lagi walaupun Mama gue kadang enggak marah sih tapi ya Enggak enak juga dong sama Papa Mama lo,” tutur Diah panjang lebar.
Berhubung Geya sangat kesal dengan Diah karena ucapan itu membuat Geya langsung menampol bahu Diah hingga Diah tergelak, ponselnya lepas dari tangan membuat Diah membulatkan matanya kaget tak terima, namun terurung memarahi Geya sebab mata Diah sudah menangkap sileut Geya yang sudah berkaca-kaca, pelupuk matanya di penuhi oleh air mata, Diah langsung tertawa terbahak-bahak. Itu tandanya, Diah berhasil menjahili temannya yang terkenal cengeng. Diah menepuk bahu Geya pelan lalu berkata.
“Eh lu nggak usah pulang deh Gak usah pulang deh di sini aja sama gue. Lo telepon mama lo minta izin.” lanjut Diah masih dengan alunan tawa merdunya.
Sampai akhirnya Geya menarik kembali air matanya ke mata, lalu tertawa singkat sedikit receh. “Ya udahlah gue pun males banget nyetir eh lupa gue nggak bawa mobil males banget harus pesan gojek lagi.” Geya kembali focus pada ponselnya lalu kembali men-scrol Tik Tok.
Mengingat sesuatu membuat Geya akhirnya membuka obrolan kemudian berujar dengan pelan. “Gimana ya kita nanti di sana?” tanya Geya lirih.
Diah mengendikkan bahunya sama, fokusnya kembali pada Game ML. Gadis itu memulai bab bermain baru untuk selanjutnya lalu membalas ucapan Geya dengan bingung. “Gue enggak tahu juga sih.” Otak Diah menerawang kosong.
Kemudian Geya merespon lagi.
“Besok perdana lu ketemu lagi kan sama Aarav lu gimana masih suka sama dia,” Sebelum mendengar balasan Diah, Geya sudah lebih dulu men-cie-cie Diah dengan mulutnya, merayu dan menggoda temannya sesekali menyengol lengannnya.
Diah menjadi gugup karena Geya seakan terus memojok-nya, lantas Diah pun menggeleng cepat dalam sekejab.
“Enggak tahu sih tapi kayaknya nggak ada ya karena kan udah lama juga terus kita akan bersahabat nggak seharusnya sahabat itu saling suka satu sama lain,” tukas Diah dengan sangat lancar.
“Ya udah kalau gitu Kita tidur yuk,” Diah berkata seraya mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. Kemudian Diah melanjuti, Diah melihat Geya sudah mengatur bantal kepala untuk diletakkan di sampingnya.
“Yuk Eh tapi jangan bilang sama mereka ya gue takut aja gitu mereka enggak berteman lagi sama gue Karena gue dah bawa perasaan dalam persahabatan kita,” Diah pias kalau sampai membayangkan hal yang tidak diinginkan terjadi.
Geya menepuk lengan Diah berkali-kali lalu tidur menyamping kearah Diah dengan matanya yang perlahan terpejam untuk tenggelam dalam mimpi indahnya mala mini seraya berkata, “Udah lu tenang aja,” ujar Geya lirih.
Sebab terlalu memikirkan hari esok, Diah tidak bisa memejamkan matanya. Mata Diah masih terbuka sempurna, menatap langit-langit secara menerawang apa yang akan terjadi.
Sekilas Diah memandangi Geya yang sepertinya sudah tertidur nyenyak, namun Diah menjadi tak tenang, dia terlalu memikirkan itu makanya Diah memilih membuka meski tahu Geya tak akan membalas ucapannya. “Lu tahu nggak sih tempat apa yang bakal kita tinggali?”
Ternyata Geya belum tidur sepenuhnya, mata tertutup namun otak masih berjalan. Nyatanya Geya juga memikirkan hal yang sama seperti Diah, dengan lirih Geya pun berkata serak, “Gue enggak tahu sih tapi katanya sih di dekat-dekat rumahnya si Ben.” Tuturnya menjelaskan.
Diah menangkap kecurigaan, karena bingung saja kenapa dekat rumah Bend tetapi Bend terlihat sangat memaksakan mereka untuk menginap di rumah Bend. Sebenarnya Diah curiga, sedikit tak yakin dengan apa yang dibicarakan oleh Ben waktu itu.
"Dekat rumah Ben ngapain Kalau kita jalan-jalan tuh ke tempat yang lain yang jauh dong masih di tempat itu itu aja,” Diah menggerutu sebal.
“Gue kurang tahu juga sih.” Geya menggeleng tak menahu.
“Apa jangan-jangan gue kok jadi curiga ya,” Diah menoleh kearah Geya.
Hal itu memancing Geya untuk membuka matanya. Mereka saling bersitatap, Geya menatap Diah tak mengerti lalu menyanggah ucapan Diah dengan pelan, “Udah lu nggak usah curiga mungkin aja Ben itu cuman suka aja gitu kalau kita ikut sama dia walaupun di kampung dia doang lagi pula Ben pasti ke sana karena dia juga belum pernah apalagi itu kan katanya dapat mahal Bukit Ben baru ada uang sekarang dan mungkin ini juga pertama kali dia ke sana,” ujarnya panjang lebar.
Kemudian Geya pun kembali mengintrupsi. “Ya udah deh, tidur masa gue malah buka bicaraan badan kita mau tidur.” titahnya Geya pada Diah.
Diah mengangguk lirih. “Hahaha iya ya udah tidur Selamat malam.” Diah pun memejamkan matanya, mengikuti Geya yang sudah bersama mimpi indahnya.
Geya dan Diah akhirnya pun tidur.
***
Hari ini Ben berencana untuk meminta izin untuk pergi ke rumah yang dia rencanakan itu. Awalnya ia sedikit ragu untuk mencari Kakak untuk bercerita tapi rasanya tidak mengenakan jika pergi tapi rahasia-rahasiaan, makanya Ben pun akhirnya pergi menemui mereka dan meminta izin untuk pergi.
Pokoknya Ben harus bisa merayu mereka agar langsung di kasih izin untuk berangkat. Bagus, mereka ini tengah berkumpul di ruang tamu utama. Ben berdiri di samping Papa yang sedang focus membaca koran, sedangkan Mamanya lebih focus pada tayangan TV di depan mereka.
Tanpa gugup sedikitpun, Ben pun membuka suara dengan santai. “Pah, Mah. Aku izin besok bakal pergi ke rumah yang horor itu,” Tak ada rasa takut sedikitpun pada diri Ben.
Mama Ben langsung menoleh kearah anaknya dan melemparkan tatapan garang bercampur emosi. “Kamu jangan macam-macam ya di sana, kamu mau nggak balik-balik dan mati.” Mulut pedas Mama Ben berkomentar dengan sangar.
Seketika Ben memelas, ternyata Mamanya masih memercayai tahayul konyol tak berguna itu. “Aduh Mama gak usah deh banyak-banyak halu kayak gitu ya enggak penting enggak ada tuh yang nama-namanya gituan aku yakin aku bakalan pulang dari sana,” kukuh Ben, tak menerima penolakan.
Akhirnya Papa Ben membuka suara setelah mendengar ucapan Ben yang mengalir tanpa dosa dari bibirnya. “Ben kamu dengar kata Mama kamu jangan membantah kamu ya bisa jadi kan yang dikatakan orang-orang itu benar lagipula ngapain sih ke sana cari tempat yang bagus aja.” tukas Papa Ben kesal.