Bab 2

1022 Words
Ben merasa canggung, padahal di balik niat itu Ben sebenarnya ingin mereka segera untuk mengujungi rumah megah mistis itu. "Hahaha, bisa aja lo." Ben tertawa puas. "Rav, ngomong dong diam amat lo," tegur Ben yang kesel sendiri dengan kediaman Aarav. "Lo gimana mau nggak?" tanya Ben. Aarav hanya mengangguk sekadarnya saja. Wajah Ben langsung cerah. "Kalau kalian gimana?" Tanpa berpikir dua kali Geya langsung menyahuti. "Gue ikut," jawab Geya semangat. "Gue nggak tau, kayaknya nggak deh. Males gue harus nginep segala." Diah tersenyum tak enak. Geya memberengutkan bibirnya, rautnya sudah sangat masam ketika mendengarkan tolakan mentah-mentah dari Diah. "Yah jangan gitu dong Diah, kalau lo nggak ikut gue nggak juga deh. Males banget sendirian." Geya memanjukan bibirnya. Diah tersenyum sungkan, tak enak juga menolak tawaran baik dari Ben. "Masih bingung sih tapi nanti aku bakalan kabarin ya." timpalnya, sedikit ragu. Ben mengangguk. "Gue tunggu kabar baiknya ya Diah, lo nggak usah khawatir kita nggak bakalan lama kok," bujuk Ben, sungguh-sungguh. Sesudah itu mereka langsung memutuskan sambungan video call mereka. Ben langsung tidur ia tidak sabar menunggu hari itu tiba, hari di mana ia bisa pergi ke rumah itu. *** Hari ini Geya berniat untuk datang ke rumah Diah. Sejak pembicaraan tadi malam, Geya jadi sangat ingin ikut untuk menginap, apalagi karena gratis pasti akan sangat menyenangkan. Makanya pagi-pagi begini Geya sudah berada di depan pintu rumah Diah. Geya tidak mau pergi sendiri makanya sekarang Geya akan berusaha membujuk Diah. Tidak lama Geya berdiri di depan pintu, Diah sudah membukakan pintu. Saat sudah berada di depan pagar tadi Geya sudah mengabari jika Geya sudah sampai di depan pintu rumah Diah. "Diah lu ikut dong gue nggak mau sendiri," ajak Geya saat mereka sudah sampai di kamar Diah, Geya mengelantung di lengan temannya, merengek sekaligus memelas menyedihkan. Diah tersenyum tipis, tak kentara. "Gue malas kesana karena bisa aja kan disana ada hal-hal yang membahayakan." Geya semakin memberengutkan bibirnya, kakinya di hentakkan ke lantai beberapa kali setelah mendengar penolakan lagi dari Diah yang sungguh menyebalkan. "Lo ragu sama mereka? Gue yakin banget mereka bisa jaga kita, lagi pula nggak lama kok kita ke sana. Dan lo tenang aja kan ada gue, jadi kita bisa saling jaga satu sama lain." Tak gentar Geya terus membujuk Diah bahkan matanya nyaris berkaca-kaca. Diah menghela napas jengah kemudian mengangguk dengan pasrah, sangat terpaksa. "Ya udah deh iya iya." tukas Diah sekadarnya. "Yeay, makasih beb," spontan Geya memeluk Diah erat, Geya bahagia tergirang-tergirang. Diah juga ikut tersenyum lebar. "Iya sama-sama," balas Diah, kemudian berkata lagi. "Gimana kalau kita sekarang makan kan udah siang ni," tawar Diah. Geya mengangguk dengan cepat. "Iya, ayo setujuuuu," balas Geya ceria. Mereka pun makan bersama di ruang makan, di sini sudah terkumpul keluarga Diah. Mungkin karena sekarang hari libur makanya orang tua Diah bisa berkumpul. Mereka sekeluarga tengah duduk di meja bundar dengan beberapa lauk makanan yang sangat lezat terpampang di atas meja itu. “Jadi yah Pak aku sama Geya niat buat pergi sama temen aku buat kangen-kangenan. Jadi kami rencananya besok mau nginep di sebuah rumah mewah itu.” Izin Diah hati-hati pada orangtuanya, Diah sedikit takut dengan teguran orangtuanya. Bagaimana tidak, orangtuanya suka sekali tak mengizinkan jika sesuatu itu tak berguna buat Diah alias hanya buang-buang waktu saja. Papa Diah tampak tidak mengizinkan dan memastikan sesuatu hal kemudian berkata. “Kamu yakin apa disana berbahaya, Papa nggak mau ya anak Papa sampai kenapa-napa.” Diah mengangguk dengan cepat tanpa ragu. Pokoknya sebisa mungkin Diah harus mendapatkan izin dari orangtuanya. “Tenang kok Pa disana juga ada temanku yang lain mereka cowok kok mereka pasti bisa jaga aku.” Sesudah itu Diah tersenyum sekilas pada Geya yang tampak antusias dengan tanda-tanda Papa Diah akan mengizinkan. Papa Diah menggeleng tak setuju. “Nggak papa nggak percaya sama cowok bisa jaga, mereka cuma bisa buat macam-macam sama kalian berdua.” Geya tersenyum tak enak, kemudian membantu Diah untuk menjelaskan pada Papa Diah yang terkenal sedikit keras kepala. Geya menelan ludah, gugup lalu berucap dengan hati-hati. “Mereka itu Ben dan Aarav om, mereka yang sering datang ke sini dulu yang sering nginep itu di rumah Diah.” Kalimat itu diakhiri dengan senyuman manis Geya yang terukir lebar di bibirnya. Papa Diah mencoba mengingat lalu Papa Diah berkata.”Oh mereka Papa sudah lama tidak bertemu dengan mereka,” Papa Diah tersenyum, bagaimana tidak ia sudah sangat mengenal dua cowok itu, Papa Diah sudah mengenal mereka dengan baik sebab sewaktu SMA dulu, Diah sering membawa teman-temannya ke rumah. Diah mengangguk antusias, membenarkan ucapan Papanya. “Jadi gimana pa?” tanya Diah memastikan sekali lagi. Papa Diah akhirnya mengangguk setuju meski dalam hatinya masih rada-rada tak menginginkan anaknya pergi. “Ya sudah pergi saja tapi ingat ya harusnya pulang Papa nggak mau ya kamu lama-lama di sana,” timpal Papa Diah dengan tegas, tak terbantahkan. Mama Diah yang sejak tadi hanya setia menyimak akhirnya membuka suara. “Tapi mama merasakan hal yang tidak mengenakan tentang hal itu apa lebih baik kamu tidak usah pergi aja.” Tampak sekali Mama Diah sangat-sangat tak setuju dengan kepergian anaknya apalagi tempat seperti itu. Tentu saja firasat orangtua ada benarnya. Diah memelas, sesekali mengedipkan matanya berkali-kali, memohon pada Mamanya dengan sorot mata kesedihan yang sangat mendalam. “Tenang aja lo ma boleh ya boleh ya,” Sangat terpaksa, Mama Diah pun mengangguk sekadarnya saja. “Iya udah deh, Iya iya tapi hati-hati ya,” pesan Mama Diah dengan sangat tegas. Diah bersorak dengan gembira di ikuti dengan Geya. Mereka sangat kompak. “Iya Ma,” kemudian mereka pun tertawa bersama dengan sangat puas tanpa beban. Ruang makan itu di penuhi dengan canda tawa yang menyenangkan. Padahal di kemudian hari akan menantikan hal sangat besar buat mereka. *** Selama seharian penuh Geya terus bermain bersama dengan Diah. Banyak hal yang mereka lakukan bersama, sebelumnya Diah dan Geya tetap terus bersama tidak putus hubungan seperti mereka dengan Aarav dan Ben, itu mungkin karena Geya dan Diah sudah berteman sejak Sekolah Dasar. Hal itu juga membuat keluarga mereka saling kenal satu sama lain. Bahkan mereka sering dikatakan mirip oleh orang lain karena sering sekali berduaan. Sekilas Diah memandangi jam dinding di sebelah kiri mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD