Bab 1

1002 Words
Aarav, Diah, Geya dan Ben. Mereka berempat kini tengah membuat sebuah lingkaran, saling berdekatan seraya duduk di lantai. Sebelum mengutarakan gossip yang sempat menjadi buah bibir di kampung mereka, namun hanya Ben saja yang sempat mengumpulkan semua kisah misteri itu. Persih mesterinya, cocok banget dengan hobi mereka yang sama yaitu suka menghasilkan hal-hal yang baru. Ben mengamati sekitar rumahnya, mereka kini tengah di rumahnya Ben, tetapi keluarga Ben sedang keluar rumah meskipun begitu Ben tetap was-was, tak ingin ada yang mengintip bahkan menguping. Ben membungkuk, di tengah-tengah temannya seraya berbisik dengan pelan. "Tau nggak sih lagi-lagi orang luar yang datang kesini mereka hilang dan sampai sekarang nggak tau tuh di mana mereka sekarang. Polisi malah tidak menemukan tanda-tanda ada kehidupan di sana, kan aneh padahal jelas-jelas kemarin tu gue ngeliat sendiri mereka masuk ke dalam rumah itu,” ujarnya hati-hati, sekujur tubuhnya merinding saat membayangkan hal-hal yang menyeramkan, Ben memeluk tubuhnya sendiri. Diah pun merespon dengan tenang. "Ngeri banget, kenapa nggak kamu larang? Kan ada yang liat tu mereka masuk ke rumah,” seperti biasa, Diah akan mengutarakan saran bijaknya. Ben mengendikkan bahunya samar, tak tahu menahu kemudian Ben kembali berbisik dengan suara pelan. "Padahal aku bilang sama pendatang itu biar jangan tinggalin di rumah itu hanya saja gue takut kena imbasnya. Katanya lagi sih siapa yang jelekkin tu rumah bakalan dapat bala, ya aku nggak mau lah, itu juga bukan siapa-siapa aku,” tukas Ben santai. Geya yang menyimak dengan baik dan langsung saja tertarik untuk mencoba, mengikuti kemauan Ben yang beberapa hari yang lalu sudah mengajaknya. Namun kala itu Ben hanya berbicara dengannya, belum dengan teman-temannya lengkapnya. Jika di pikir-pikir ini akan sangat menantang, tentu saja Geya suka sekali dengan hal yang menantang dan penuh dengan teka-teki. "Kan katanya juga yang bakal hilang orang yang nginep kan, gimana kalau kita masuk ke dalam rumah itu cuman mau liat-liat doang. Pasti seru, dan aku gue banget kalau itu rumah pasti cantik banget barang-barangnya." tawarnya pada teman-temannya dengan mata penuh binar dan semangat. Aarav menggeleng kecil, cowok itu hanya melemparkan tatapan datar pada teman-temannya. "Ih sorry ya, gue nggak mau ke sana. Yang ada dapat s**l aja." Tolak Aarav sangat kentara, sedikitpun tak menyetujui ide gila itu.  Teman-temannya hanya bisa terdiam setelah mendengar sanggahan itu. Tak bisa berkata apapun kalau balok Es sudah membuka suara. 000 Ban mendengarkan semua omongan tetangga itu, gosip tentang hal mistis bukan hal yang awan lagi bagi kampungnya. Hampir semua warga percaya dengan hal seperti itu. Tapi Ben tidak percaya dengan hal aneh seperti itu, bisa sajakan ketika ke sana ia akan pulang dalam keadaan selamat. Tak hayal kadang Ben juga terkecoh dengan hal seperti itu, hanya saja ia membuang jauh-jauh tentang kepercayaannya terhadap makhluk halus. Rumah dengan desain lama tapi tetap megah itu sudah lama tidak ada penghuni, ada dua orang yang baru menikah membeli rumah itu tapi tidak lama mereka dikabarkan meninggal dunia dengan alasan sakit. "Ni Pak," Ben memberikan uang sebesar lima puluh ribu. Ia membeli sepotong ayam. Bapak yang menjual mencoba mengeluarkan uang kembaliannya. Ben mencegahnya. "Nggak papa Pak, nggak usah." Timpalnya dengan senang hati. "Makasih Ben," balas Bapak itu sambil tersenyum, dan Ben hanya membalas dengan anggukan saja. Setelahnya Ben langsung pergi dari tempat belanjaan itu. Di sini hanya Ben yang seorang pria kalau saja, kalau saja Mamanya tidak menyuruh Ben ia tidak akan mau ke sini. Selama perjalanan Ia terus memikirkan tentang cerita yang mistis itu, Ben sangat ingin tinggal beberapa hari di rumah itu. Rasa penasarannya sangat berdarah daging. Ben hanya ingin membuktikan bahwa rumor itu semua adalah kebohongan. Dan Ben yakin kematian orang yang tinggal di sana pasti karena ada penjahat yang tersembuyi. Tapi Ben sangat malas jika sendirian, pasti akan sangat membosankan. Siapa yang harus ia ajak? Teman-temannya pastinya namun belum ada kepastian dari teman-temannya setelah Ben menceritakan hal mistis itu. "Gue harus bisa ajak sobat gue pas SMA," gumam Ben pada dirinya sendiri. Idenya sangat tepat, Ben akan memaksa teman-temannya bagaimanapun caranya Ben harus merasakan menginjak kaki di rumah besar nan megah itu. Rasa penasarannya membuat Ben akan berusaha apapun. Tiba di rumah Beni langsung membuat sebuah percakapan di grup WA, ia membuat grup. Grup khusus untuk membahas hal ini, karena sehabis mereka selesai membicarakan hal itu, Ben akan menghapus grup. Rasanya malas jika mengetik, jadi Ben membuat panggilan grup yang menampakkan wajah itu. "Hai sobat. Kalian kok sombong gitu sih coba aja bukan gue yang duluan pasti sampai sekarang kita masih saling cuek," Ben membuka pembicaraan. Untungnya Aarav, Diah dan Geya menerima video callnya. Aarav, Diah dan Geya memutar bola matanya malas, padahal baru kemarin mereka bertemu, Ben memang suka berbasa-basi. “Intinya apa nih?” Aarav bertanya datar. "Hahaha, kabar kalian semua gimana?" tanya Geya, mencoba mengikuti gaya Ben. Pura-pura baru bertemu. Nyatanya mereka juga sebenarnya baru bertemu langsung satu kali setelah sekian lama tak bersua, jadi tak masalah kalau mereka ingin mengulang percakapan biasa ketika orang yang baru saja bertemu. "Baik," jawab Diah. "Lo gimana Rav?" tanya Geya saat Aarav yang diam setelah mengisi obrolan itu sekali. "Baik," jawab Aarav sekadarnya. "Nah gue mau bilang sesuatu sama kalian, Gue mau ajak kalian buat tinggal di tempat gue tinggal. Di sana enak banget loh." Ben berujar dengan antusias. "Dalam rangka apa Ben?" tanya Diah hanya sebatas penasaran. Ben terdiam beberapa saat tidak mungkinkan kalau dia menceritakan tentang hal mistis itu lagi pasti mereka tidak akan mau untuk menerima ajakannya. Tidak boleh, tidak boleh sama sekali. "Ya dalam rangka mempererat persahabatan kita, lo kan tau kita udah tiga tahun nggak ketemu." Ben menggaruk kepala belakangnya tak gatal, sedikit gugup sebenarnya ketika menatap satu-persatu mata teman-temannya yang memberikan sorot yang begitu serius. "Gue nggak deh, soalnya gue nggak ada biayani,” ujar Diah. "Tenang aja bakalan gue traktir kalian semua. Kalian cuman perlu bawa baju aja." Setelahnya Ben tersenyum lepas meyakinkan. "Wah lu banyak banget duit ya sekarang," Geya tertawa pelan, wah ia pikir ini pasti akan sangat seru apalagi gratis. Tentu saja Geya tak ingin menyia-yiakan kesempatan emas ini. Siapa sih yang nggak mau jika dibayar?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD