Kenangan Buruk

1593 Words
"Benar. Buta dan lumpuh saat ini. Dalam proses penyembuhan juga. Ada sedikit gumpalan darah di kepala akibat benturan saat kecelakaan. Gumpalan itu mengganggu syaraf mata." Stefan kembali terlihat heran, Ellie sekali lagi tampak terlalu terkejut. "Sebenarnya operasi bisa mengembalikan daya penglihatan dengan cepat. Tapi letak gumpalan itu, sangat tidak strategis. Jika terjadi kesalahan sedikit saja, resikonya dia akan buta selamanya. Dokter mencoba untuk mencairkan gumpalan itu dengan obat. Mudah-mudahan saja berhasil. Tapi seperti fisioterapi, hasilnya baru akan terlihat berbulan-bulan lagi." Penjelasan itu menyapu seperti angin segar untuk Ellie. Jika Raven buta, berarti dia tidak perlu tahu siapa Ellie. "Apa anda sudah mengirim data diri saya kepada Mr. Wycliff?" tanya Ellie dengan hati-hati. "Untuk apa? Raven tidak berhak menentukan siapa yang aku kirim ke sana. Dia tinggal menerima siapa yang aku kirim. Aku hanya harus mengirim foto dan namamu pada sekretarisnya, sekedar untuk membuat kontrak p********n gaji. Memang kenapa?" Stefan mengerutkan kening heran. "Tidak apa-apa. Hanya penasaran saja. Tidak perlu dipikirkan." Ellie menggeleng panik. Rencana mulai tersusun di kepalanya. **** "Aku akan membeli mobil baru, tas baju dan mungkin rumah." Ellie menyusun daftar barang yang akan dibelinya di dalam kepala, jika pekerjaan terkutuk itu selesai. Pada saat yang normal dia tidak memikirkan soal uang, tapi ini adalah keadaan luar biasa. Hanya alasan uang yang bisa dipakai Ellie untuk membuatnya bergerak. Membayangkan harus merawat pria yang paling dibencinya di dunia... rasanya menyesakkan. Ellie ingin sekali menghentikan mobil, lalu meneriakkan u*****n ke jalan. Mungkin dengan begitu hatinya akan sedikit lega. Tapi karena sudah menerima pekerjaan ini, Ellie kan bekerja sebaik-baiknya. Singkatnya dia akan bekerja secara profesional, mendapat bayaran, lalu pergi. Begitu saja. Ellie sudah berusaha sekuat tenaga melupakan kakak beradik Wycliff itu, tapi nasib yang kejam justru mengirimnya tepat ke hadapan Raven. Bukan Lonan, tapi Raven. Jika Lonan, mungkin dia akan sedikit lebih rela. Hanya sedikit lebih rela. Di mata Ellie, Lonan tidak jauh berbeda dengan Raven. Setelah malam itu, Lonan tidak berusaha menghubungi Ellie, sama sekali. Lonan mengabaikan puluhan pesan suara, dan juga text yang Ellie kirimkan. Ellie mencoba menghubungi Lonan, bukan untuk meminta agar hubungan mereka kembali seperti semula. Hatinya masih digayuti rasa bersalah, karena jelas dia menikmati cumbuan Raven. Dia hanya ingin meminta maaf. Tapi Lonan tidak menanggapi permintaan itu. Setelah mencoba selama hampir dua bulan tanpa hasil, Ellie akhirnya ikut mengutuk Lonan. Ellie ingin menyelesaikan masalah ruwet ini dengan lebih dewasa, tapi Lonan malah membuat Ellie merasa seperti wanita mata duitan yang sesungguhnya, karena masih terus mengejar Lonan meski hubungan mereka berakhir. Memutuskan untuk move on. Ellie mengganti nomor ponsel, dan mengalihkan pikiran dengan bekerja lebih keras untuk mencapai semua cita-citanya. Dia sengaja mengambil shift panjang di rumah sakit, dan mendaftar hampir ke semua mata kuliah, yang memastikannya tidak akan memiliki waktu luang. Dia mencoba segala cara untuk melupakan semua kenangan -- baik yang indah maupun yang buruk-- yang berkaitan dengan kedua pria Wycliff itu. Dia ingin menghilang sepenuhnya dari mereka. Kini semua kenangan itu kembali memenuhi sel otaknya dengan jelas, seolah tidak ada waktu lima tahun berselang. Dia masih bisa mengingat bagaimana mata Raven memandangnya, saat bibir mereka menyatu. "HENTIKAN ELLIE!" Ellie akhirnya berteriak putus asa, saat otaknya dengan kurang ajar mengulang dengan detail kejadian di ruang kerja itu. Tubuhnya juga masih bisa mengingat dengan baik, seluruh sentuhan Raven. Di antara seluruh amarah yang dirasakannya untuk Raven malam ini, Ellie sebenarnya juga menyimpan amarah pada dirinya sendiri. Hatinya dengan sangat lancang berani menerbitkan rasa khawatir untuk Raven. Mulutnya yang jujur menanyakan bagaimana keadaannya, begitu tahu jika pasien itu adalah Raven. Otaknya dengan aktif membayangkan keadaan Raven yang pasti mengenaskan. Seharusnya dia bahagia saat tahu Raven terluka parah, bukan malah mengasihani. "Baju, mobil tas, rumah, berlibur." Ellie bergumam, mengulang kembali daftar keinginannya, untuk menjaga otaknya tetap waras. *** "Kenapa denganmu? Biasanya kau selalu teliti, aku tidak pernah melihatmu seresah ini." Rose---teman Ellie yang mengantarnya ke bandara, heran melihat gerakan gelisah Ellie yang berkali-kali memeriksa barang bawaannya. Ellie biasanya sangat teliti dan teratur, karena tuntutan pekerjaan mengharuskannya seperti itu. Tapi kali ini dia gugup dan terlihat tidak percaya diri. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya khawatir soal pasien yang aku tinggal." Ellie memberi alasan lemah, karena semua pasien yang ditinggalkannya, menerima keputusan ini dengan cukup baik. Bahkan Beth yang sempat memprotes, bisa mengerti jika Ellie memang lebih dibutuhkan di tempat lain. "Bisa tidak kau berhenti memikirkan semua pasienmu sebentar saja?" Rose memutar bola mata dengan kesal. "Ada jet pribadi yang menunggumu di sana, dan kau malah memikirkan semua pasien itu?!" Rose kembali menunjuk pesawat jet pribadi yang disediakan Wycliff dengan takjub. Tapi Rose tidak tahu, jika ini bukan pertama kalinya Ellie melihat pesawat itu. Pesawat itu pernah digunakan Lonan untuk membawanya ke Swedia lima tahun lalu. Ellie tidak tahu apakah itu pesawat yang sama, tapi semua lambang dan tulisan Wycliff-nya sama. Ellie ingat, dulu ia harus mencubit tangannya berkali-kali, memastikan tidak sedang bermimpi. Dalam bayangannya, sikapnya pasti sama noraknya dengan Rose sekarang. "Ah... mereka datang." Rose menunjuk pria berseragam pilot yang berjalan pelan menuju ke arah mereka. "Berhenti menunjuk!" desis Ellie. Dia sudah sangat menyesal meminta Rose mengantarnya hari ini, Rose terlalu gampang terkesan, dan dia tidak bisa menyembunyikan rasa antusias dengan anggun. Tapi pilihan Ellie tidak banyak. Kesibukan juga berarti hidup sunyi tanpa teman. Dia mengenal baik hampir semua pegawai di rumah sakit, tapi hubungannya dengan mereka hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih. Rose adalah satu-satunya teman Ellie tersisa, meski mereka jarang bersama. Rose adalah guru taman kanak-kanak. Antusiasme itu sangat cocok dengan lingkungan kerjanya, dan kesabarannya adalah sifat yang membuatnya tetap betah berteman dengan Ellie. Ellie berdiri dengan gugup, otaknya sudah tidak bisa bekerja dengan beanr, saat membayangkan sebentar lagi dirinya akan bertemu Raven. Dia nyaris tidak mendengarkan perkenalan pilot itu, dan menjawab sapaan mereka dengan sembarangan. Saat akhirnya dia duduk, dan memasang sabuk pengaman, kegugupan Ellie nyaris tidak tertahankan. Dia sama sekali tidak bisa menikmati kemewahan interior dalam pesawat, dan terus memandang keluar jendela. Dia menolak setiap penawaran makanan dan minuman yang ditawarkan pramugari, karena perutnya terasa mual. Ellie merasa seperti mabuk udara, padahal sebelum ini dia tidak pernah mengalaminya. *** Tiga jam perjalanan itu terasa begitu singkat. Ellie merasa masih belum siap menghadapi Raven. Tapi dia tidak mungkin mundur lagi. Sambil merapatkan mantel, Ellie menuruni tangga pesawat. Suhu di Swedia lebih dingin dari pada London. Mantelnya kurang tebal. "Selamat datang Miss Harken. Perkenalkan saya Jasper Nicklas, sekretaris Mr. Wycliff." Pria yang menyambutnya di ujung tangga pesawat, memberi kesan licin tidak bernoda. Setelan jasnya rapi, dan rambutnya tersisir sempurna tanpa ada anak rambut yang keluar. Kacamatanya yang berbentuk kotak, memberi kesan tegas. Dia adalah tipe pegawai yang mirip robot Tapi meski begitu dia tersenyum ramah pada Ellie. Wajahnya terlihat lebih hidup dan tampan saat tersenyum. Ellie tanpa ragu menjabat tangannya yang hangat. "Sepertinya Anda kedinginan." Jasper merasakan tangan Ellie sedikit gemetar. "Benar. Saya tidak menyangka suhu di sini akan lebih dingin dari London." Ellie menggosok tangannya yang telanjang tanpa sarung tangan. Ellie sebenarnya sudah tidak tahu lagi, apakah benar tangannya gemetar karena kedinginan atau hanya karena gugup. "Kalau begitu lebih baik kita berbicara di dalam mobil." Jasper menunjuk mobil yang terparkir tidak jauh dari mereka. Mobil limousine panjang berwarna hitam. "Silahkan. Untuk menghangatkan badan." Jasper menawarkan segelas wine begitu mereka duduk di dalam mobil. Bukan hanya Wine, Ellie juga melihat berbagai macam buah tersaji manis di depannya. Tapi Ellie menolaknya. "Maaf. Saya tidak bisa minum alkohol. Alasan kesehatan." Kesehatan mental lebih tepatnya. Ellie tidak mungkin menghadapi Raven dalam keadaan mabuk. Wine kualitas tinggi, meski hanya segelas akan mengirimnya ke alam mimpi. "Oh..saya mengerti." Dengan cekatan Jasper membuka buku yang ada di pangkuannya, mencatat jika Ellie tidak bisa meminum alkohol. "Apakah Anda perlu mencatatnya?" Ellie kaget saat tidak sengaja membaca tulisan Jasper. Jasper mengangguk. "Saya yang akan bertanggung jawab atas kebutuhan anda, selama masa anda merawat Mr. Wycliff. Jadi hal-hal kecil seperti ini harus selalu saya catat. Saya harap anda tidak keberatan, Miss. Harken." Ellie menggeleng, tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi ada satu hal yang haus segera diubahnya sebelum mereka sampai tujuan. "Mm... Mr. Niklas, bisakah anda memanggil saya Hazel saja? Anda tidak perlu terlalu sopan. Saya hanya pegawai biasa, bukan tamu." Japser melirik bukunya lagi. "Nama anda Ellie Harken." Jasper membaca biodata Ellie. "Benar. Hazel adalah nama tengah saya. Dan saya lebih suka dipanggil dengan nama itu. Ellie terdengar seperti nama pasaran. Ha..Ha." Tawa Ellie sangat terpaksa, dia sudah menyiapkan kalimat itu, begitu Stefan mengatakan akan mengirim biodata Ellie kepada sekretaris Raven. Jasper tersenyum. "Tentu, dan Anda...maksudku kau juga bisa memanggilku Jasper saja. Aku juga hanya pegawai, tidak perlu terlalu sopan." Ellie mendesah dengan lega. Satu ganjalan terlewati. "Aku rasa lebih akan lebih menyenangkan seperti ini. Aku bisa-bisa bosan jika harus bersikap sopan juga padamu." Setelah bersikap santai, kesan kaku pada Jasper perlahan menghilang. Dia cukup ramah, meski saat membahas pekerjaan, mimik wajahnya kembali serius. "Kita sampai." "Ini bukan Mansion Wycliff." Ellie sedikit terkejut saat mereka berhenti di depan sebuah rumah mewah dengan gaya yang lebih modern, berbeda dengan bangunan mirip kastil yang didatanginya dulu. "Oh.. memang bukan. Mr. Wycliff tingal di sini setelah kecelakaan. Ini rumah pribadinya, yang tidak diketahui wartawan," jelas Jasper. Ellie hanya mengangguk, sementara merasa naif karena berpikir jika Raven hanya akan punya satu buah rumah saja. "Lagi pula kau mendarat di Gothenburg tadi bukan Stockholm. Mansion Wycliff terletak lebih dekat dengan bandara Stockholm." Jasper melanjutkan. "Ha..Ha.." Ellie tertawa sumbang, Ellie sungguh merasa bodoh, karena tidak menyadari perbedaan bandara tempatnya mendarat tadi. Dia terlalu resah. "Tapi bagaimana kau tahu jika rumah ini bukan Mansion Wycliff?" Pertanyaan Jasper sangat wajar dan masuk akal, tapi tenggorokan Ellie mendadak kering saat mendengarnya. Ia seharusnya tidak tahu rumah Raven seperti apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD