Alasan Untuk Bersama

1317 Words
Ellie meremas ujung kaosnya, saat pintu lift terbuka di lantai tiga. Dia sudah memikirkan beragam skenario, kenapa Raven terdengar marah. Tapi hal itu tidak berguna, selain fakta jika semua tebakan itu hanya menambah kegugupannya. Ellie mengedipkan mata cepat, saat ruangan yang dimasukinya ternyata nyaris gelap gulita. Tapi matanya menyesuaikan dengan cepat, dan melihat kursi Raven ada teronggok di sebelah ranjang besar. "Mr. Wycliff?" Ellie maju dengan takut-takut, dan saat matanya menatap ranjang, seruan kecil lolos dari mulut Ellie. Terlihat Raven mennggeram dengan punggung tertekuk, sambil mencengkeram paha kanan. "Raven!....Ada apa?" Ellie menghambur ke ranjang, tanpa banyak berpikir. "It hurt like hell!" teriak Raven, sementara matanya menatap tanpa arah. "Sebentar-sebentar... aku tidak bisa melihat! Kenapa kamar ini gelap sekali?!" Kamar seluas itu tidak seharusnya hanya dilengkapi dengan satu lampu tidur redup. PLOK! Raven menepuk tangan sekali, dan lampu menyala terang. Saklar kamar itu bisa diaktifkan dengan suara tepukan Begitu terang, dengan sigap, Ellie melepas cengkeraman tangan Raven pada paha, lalu jarinya mulai memeriksa paha kanan itu. "SAKIT!" Raven kembali berseru marah, saat Ellie menyentuh salah satu otot di bagian bawah paha. "Ototmu hanya terpilin sedikit. Sekarang diam dan jangan bergerak! Biarkan aku bekerja!" Ellie menghentikan teriakan manja Raven dengan bentakan tegas. Dia tidak bisa berkonsentrasi jika Raven terus merengek. Perlahan Ellie menekan salah satu syaraf di belakang lutut Raven, untuk mengurangi rasa sakit. Dan sepertinya manjur, karena tubuhnya yang menegang kaku, mulai santai. Dia merebahkan diri ke ranjang dengan nafas terengah, "Tunggu sebentar. Aku akan mengambil obat dan perlengkapanku di kamar," kata Ellie. "Tidak, suruh Jasper saja! Dan jangan mencoba untuk melepaskan tanganmu dari sana." Raven meraih wireless phone dari sebelah bantal, lalu menyodorkannya pada Ellie. Dia tidak ingin rasa sakit itu kembali, saat Ellie melepaskan tangan. "Sophie, bisa minta tolong pada Jasper untuk mengambilkan tas di kamarku. Tas hitam kecil berisi perlengkapan pemgobatan. Ya, di meja rias. Terima kasih, Sophie." Ellie meletakkan telepon itu ke kasur. Tangan kanannya masih setia menekan satu titik syaraf di bawah lutut Raven. "Kau mencoba menggerakkan kaki!" Itu bukan pertanyaan. Ellie tahu benar dari mana asal rasa sakit Raven. Sikap diam Raven dalam menanggapi tuduhan itu, cukup memberi gambaran jika Ellie benar. Raven hanya tidak ingin mengaku bersalah. TOK...TOK! "Masuk!" Raven menyahut. Jasper masuk membawa tas Ellie. "Bisa tolong ambilkan alat suntik, dengan label berwarna biru di ujungnya?" Ellie meminta dengan satu tangan menggapai. Hanya satu tangannya yang berfungsi, Ellie tidak akan bisa membuka tas itu. Tangan Jasper bergerak cepat, memilah sekitar dua puluh alat suntik, yang telah berisi bermacam obat yang disiapkan Ellie, sebelum berangkat ke sini. "Ini..." Jasper menyerahkan alat suntik yang masih terbungkus plastik steril. Ellie memeriksa label sekali lagi, untuk memastikan Jasper mengambil obat yang benar. "Kapas dan alkohol usap di saku kanan tas." Ellie menunjuk sisi kanan. "Ini..." Jasper menemukannya dengan cepat, karena memang saku kanan hanya diisi oleh dua benda itu. Begitu semua benda yang dibutuhkannya tergeletak di kasur, Ellie mulai bekerja. Dengan mulutnya, Ellie menyobek plastik pembungkus alat suntik, menggosok kulit Raven dengan alkohol, lalu menyuntikkan obat itu ke kakinya. Ellie bisa melakukan semua itu, dengan satu tangan. Pelan-pelan, Ellie melepas tekanannya pada kaki Raven, dan karena hanya terdengar hembusan nafas lega dari Raven, itu berarti tidak ada rasa sakit yang menyerangnya lagi. "Apa kau dokter?" Jasper terpana. "Bukan. Sebelum menjadi terapis, aku adalah perawat. Karena itu Dr. Stefan mengijinkan aku membawa bermacam obat untuk keadaan darurat. Jika hanya nyeri dan kejang, aku masih bisa mengatasinya." "That's cool" Jasper mengacungkan jempol. "Biasa saja, Jaz. Aku hanya memberi suntikan pereda nyeri. Bukan prestasi cemerlang." Ellie geli melihat mata Jasper berkilau kagum. "KELUAR! Aku tidak menyuruh kalian ke sini agar bisa saling menggoda." Bentakan Raven menyentak Jasper. Tentu kesal mendengar Ellie dan Jasper malah saling memuji saat kakinya kesakitan. Jasper segera membungkukkan badan berpamitan keluar. Ellie juga membereskan tas dan juga kumpulan sampah yang baru saja di terbentuk di ranjang Raven. "Dan mau kemana kau? Aku hanya menyuruh Jasper keluar, bukan kau!" Raven membentak gusar. "Tapi pekerjaan saya sudah selesai. Kaki Anda sudah tidak sakit lagi bukan?" Ellie mendadak sadar jika dia hanya berdua saja di dalam kamar, bersama Raven. Keadaan ini tidak menunjang kewarasannya berpikir. "Dan apa kau bisa menjamin rasa sakit itu tidak akan kembali?" Ellie terdiam sambil menggigit bibir. Dia tidak tahu apakah rasa sakit itu akan kembali jika efek obatnya habis. Ellie bisa mengurut kaki Raven untuk mengembalikan posisi otot yang terpilin itu, tapi tidak sekarang. Otot kaki Raven sudah cukup bekerja keras hari ini, Ellie tidak bisa menambahkan beban lagi. Bisa-bisa otot Raven rusak permanen. "Kau tidur di sini!" Raven menunjuk ruang di sampingnya yang kosong. "Apa?...Ide gila macam apa itu?" Ellie gagal mengatur mulutnya, karena ide itu terdengar bagai mimpi buruk. "Jika keberatan, kau bisa tidur di lantai. Tapi yang pasti kau harus di sini. Aku tidak mau bersusah-susah memanggilmu tengah malam nanti." Raven menegaskan tidak ingin menerima bantahan. Mulut Ellie menganga kaku. Hanya matanya yang bergerak perlahan melirik ranjang Raven. Ranjang itu bisa menampung lima orang berjajar dengan nyaman, tapi tetap saja bukan ide bagus untuk berbaring di sisi Raven semalaman. "Apa kau mau lari dari tanggung jawab? Kau yang membuat kakiku seperti ini!" "Kau sendiri yang membuat kakimu seperti itu! Apa kau lupa? Aku bilang jangan menggerakannya selama beberapa hari!" Ellie tidak mau kalah. "Baik. Katakanlah aku bersalah malam ini. Tapi bukankah masih menjadi tanggung jawabmu sebagai perawat untuk merawatku? Dan karena ini bukan rumah sakit, aku tidak bisa memanggilmu memakai bel. Jadi apa yang harus aku lakukan jika malam nanti aku membutuhkanmu? Apa aku harus merangkak ke kamarmu?" Dan adalah ide buruk untuk melawan Raven. Dengan mudah dia membalik bantahan itu, dan Ellie mulai merasa teryakinkan, jika ide Raven untuk menyuruhnya tidur di sini, adalah ide bagus. Menyerang Ellie dengan mengusik rasa tanggung jawab adalah langkah cemerlang Raven. Ellie sangat serius dalam bekerja. Dia tidak suka jika kinerjanya ternoda. "Apa tidak ada sofa atau...." Suara Ellie perlahan menghilang, saat mengedarkan pandangan ke seluruh kamar yang luasnya mencapai delapan puluh meter persegi itu. Kamar itu nyaris kosong. Selain ranjang yang sekarang ditempati Raven, tidak ada tempat bagi Ellie untuk tidur, seperti sofa atau kursi. Hanya ada lemari menempel di dinding, meja yang sepertinya menampung dokumen pekerjaan, dan juga meja makan tunggal yang berada di samping jendela. Hanya itu. Bagian tengah ruangan kosong melompong. Interior unik ini untuk menyesuaikan keadaan Raven yang harus menggunakan kursi roda dalam keadaan buta. Absennya perabotan, membuatnya bebas bergerak tanpa menabrak apapun. Lantai! Ellie melepas sendal, lalu mengelus lantai marmer dengan kakinya perlahan. Dingin. Sekarang adalah musim gugur, dan dia ada di Swedia. Meski dengan matras dan selimut tebal, kemungkinan untuk wajahnya membeku saat pagi masih ada. "Apa kau takut aku akan melakukan sesuatu? Jangan terlalu percaya diri, aku tidak tertarik!" Raven, melengkapi hinaannya dengan tawa sumbang yang menjengkelkan. PLOK! Raven menepuk tangannya sekali, dan lampu kembali padam. "Dasar manusia egois, sombong, berhati batu!" Ellie bersumpah serapah dalam hati. Jika tidak mengingat pria yang ada di tempat tidur itu pasien buta dan lumpuh, mungkin Ellie akan kembali membentak. Ellie kini hanya bisa mengambil nafas panjang, bersabar. Perlahan Ellie berjalan mendekat ke ranjang, menyibak selimut, lalu menyusupkan badan ke atas kasur. Terdengar hembusan nafas berat Raven saat tubuh Ellie terbaring sempurna di sebelahnya. "TIDUR! Dan pelankan suara nafasmu. Berisik sekali!" Raven kembali menggeram. Jika tadi masih ada sedikit debaran jantung gugup dan bayangan lain di kepala Ellie, maka semua itu musnah dalam sekejap. Dengan kasar Ellie menarik selimut, berbalik memunggungi Raven, dan memaksa matanya terpejam. Hanya ada amarah murni dalam hati Ellie. Dia semakin sadar, Raven bukan seseorang yang akan bersikap manis. Dia adalah pria rendah, yang tidak keberatan mencumbu kekasih adiknya untuk meluluskan keinginannya. Mungkin saat ini dia sedang menerima balasan dari Tuhan karena semua perbuatan buruknya di masa lalu. Ellie terus menyumpah dan meracuni otaknya dengan kebencian, semata agar otaknya tetap sehat. Sebagian dirinya yang tidak waras, perlahan dirasuki oleh perasaan aneh, saat aroma selimut dan ranjang itu memenuhi hidungnya. Menggoda Ellie untuk berbalik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD