"Jennie, kinerja kamu belakangan ini sangat buruk. Saya sangat kecewa dengan performa kamu dan tidak menyangka bahwa kamu, yang pernah mendapatkan penghargaan best achievement dari perusahaan ini melakukan hal-hal yang membuat nama baik divisi rusak, juga membuat berpotensi merusak nama baik perusahaan." Chandra berkata cukup lantang dalam meeting, membuat semua mata menatap Jennie, beberapa berkasak kusuk dan membuat kursi yang Jennie duduki terasa panas.
Saat ini, dia sedang berada dalam ruangan meeting bersama sejumlah staf account officer, membahas proyeksi ke depan divisi marketing, serta pengembangan inovasi dan cabang Bank NCB. Semua berjalan baik-baik saja sampai Chandra mendadak membahas soal dirinya secara khusus.
Jennie yakin apa yang dilakukan Chandra ini terkait kejadian di mall kemarin, di mana dirinya meninggalkan Chandra diam-diam, dan menghindarinya saat di kantor, membuat Chandra murka dan inilah yang terjadi, membahas dirinya secara personal di meeting.
Malu? Udah pasti, tapi Jennie nggak bisa melakukan apa-apa selain diam, sementara Chandra bicara tentang segala salah dan dosanya di depan sana. Jennie tentu saja pengen maki-maki lelaki jangkung itu dan kalau bisa melakban mulutnya sekalian, tapi tentu itu cuma khayalan.
"Jennie, kamu nanti ke ruangan saya. Ada banyak hal yang perlu saya sampaikan ke kamu." Ceramah panjang lebar Chandra diakhiri dengan meminta Jennie datang ke ruangannya, dan meski malas setengah mati, Jennie terpaksa mengangguk menyanggupi. Dengan meminta bertemu Jennie di hadapan banyak orang, Jennie nggak bisa mengelak, jika dia nggak datang menemui Chandra, maka segenap divisi marketing akan menilainya sebagai karyawan yang tidak tahu aturan dan pembangkang. Chandra sangat lihai dalam hal ini. Dia membuat Jennie terpojok dan menuruti kata-katanya.
Suasana meeting yang sangat tidak nyaman dan memuakkan akhirnya berakhir, Jennie hampir bisa bernafas lega, tapi, sayang, Chandra kembali merenggut kelegaannya dengan mengatakan : "Jennie, kamu ke ruangan saya setelah ini. Banyak hal penting yang perlu saya sampaikan." Chandra mengulang kata-katanya dan membuat Jennie, mau nggak mau, mengangguk menyanggupi.
Jennie merutuk dalam hati, ini sudah jam sepuluh malam, tubuhnya udah sangat lelah, dan ingin tidur, tapi Chandra masih menahannya di kantor, belum lagi, apa yang Chandra katakan nanti pasti sangat menguras emosi. Kalau nggak ingat sama lembaran rupiah yang selalu ditransfer ke rekeningnya tiap tanggal dua puluh lima, bonus tahunan penilaian performa kerja tiap bulan Mei, tunjangan hari raya dan juga tunjangan akhir tahun yang jumlahnya lumayan, Jennie malas bertahan. Ajaib sekali yang namanya duit, membuatnya bertahan apapun kendalanya, termasuk, keberadaan Chandra yang menguras emosinya.
Dengan malas, Jennie berjalan ke ruangan Chandra sementara rekan kerjanya yang lain pulang dan bisa istirahat.
"Duduk!" perintah Chandra saat Jennie dengan muka masam masuk ke ruangannya.
Jennie duduk, dan berharap kesialannya segera selesai.
"Kamu tahu kesalahan kamu apa?" tanya Chandra, menatap Jennie yang duduk di hadapannya.
Jennie mengedik malas, dia sudah menahan kekesalan sejak tadi dan sekarang, kalau Chandra masih belum selesai ribut dengannya, dia bisa saja meledak seketika.
"Gue rasa sih, bukan karena kerjaan gue yang nggak beres, karena setahu gue semua pekerjaan gue beres dan target tercapai."
Chandra menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah senyuman sinis.
"Kamu terlalu percaya diri Jennie. Targetmu masih sangat jauh dari yang diharapkan. Kamu pikir kamu selesai dengan nasabah seratus lima puluh milyar? Target baru kamu, tiga ratus milyar, jadi masih kurang."
Tangan Jennie mengepal. Ini jelas permainan Chandra, bagaimana mungkin target funding nasabah naik seratus persen.
"Bagaimana?" Chandra bertanya.
"Apa kamu sanggup? Atau...aku harus bantuin?"
"Gue bisa sendiri," putus Jennie. Dia nggak akan menyerah pada Chandra. Dia nggak akan lemah lagi seperti di masa lalu, dia akan tetap bertahan dan tegar, apapun yang Chandra lakukan dia akan melawan.
"Good, Jennie."
Jennie hanya diam, beranjak dari kursinya dan berniat hengkang dari ruangan Chandra tapi lelaki itu bersuara lagi.
"Aku belum selesai, Jennie."
"What the hell!" umpat Jennie kesal. "Lo tau nggak sih, ini udah jam berapa?"
"Kamu kesal? Kamu seharusnya mikir berapa lama aku nungguin kamu kemarin di mall dan ternyata kamu udah kabur."
"Oh balas dendam? Kalau iya, kayaknya gue yang pantes bilang itu ke lo."
"Denger Jennie, aku tahu, aku udah bikin salah di masa lalu...."
"Ya kalau tahu mending sekarang lo diem, nggak usah bikin gara-gara lagi!" sembur Jennie berang.
"Aku nggak bisa Je. I still love you."
"Makan tuh cinta!" ketus Jennie, sambil berbalik. Dia terlalu pusing dengan Chandra yang percaya diri dan memaksa hubungan mereka yang sudah kandas dan berantakan di masa lalu kembali terajut. Demi apapun, Jennie nggak mau kembali sama Chandra, cukup sekali dia terperosok ke sebuah lubang nestapa dan dia nggak mau mengulanginya.
"Je!" Chandra menghalangi Jennie yang hendak keluar dari ruangannya dengan tubuh tingginya, menarik Jennie hingga menabrak d**a bidangnya.
"Lepas! Lo ngomong soal etika yang ngebuat nama divisi jelek tapi lo sendiri kelakuan kayak gini." Jennie bergerak, berusaha melepaskan dekapan Chandra.
"Jennie, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku tahu kamu masih cinta sama seperti dulu."
"Basi!" Jennie bergerak semakin liar, berusaha melepaskan diri dari Chandra yang semakin erat mencengkeram pergelangan tangannya dan menyudutkannya di salah satu sisi tembok.
"Jennie, gue meminta lo baik-baik, dan kalau lo nggak bisa, maka...."
"Maka apa? Lo mau pake wewenang lo buat maksa? Lo ternyata masih sama kayak dulu ya...manipulatif, jadi gue udah bener buat nggak mau lagi terjebak sama lo."
"Sayangnya, kamu masih bersama aku sekarang dan ya...aku bisa melakukan apapun untuk memaksa kamu. Termasuk...." Chandra menatap Jennie dengan tatapan yang menurut Jennie mengerikan, dia nggak tahu apa yang ada di pikiran Chandra tapi jelas, ini bukan hal yang baik.
"Apa?" ucap Jennie dengan nada tinggi, berusaha tidak terlihat takut, meski posisinya sekarang nggak lebih dari seekor tikus yang terdesak oleh kucing.
Chandra memajukan wajahnya dan memaksa mencium Jennie, sementara tangan Jennie dikunci oleh telapak lebar lelaki itu, Jennie tidak bisa bernapas saat bibirnya dibungkam, air matanya mengalir karena emosi dan ketidakberdayaan saat Chandra kembali melecehkannya. Ini sudah malam, semua karyawan sudah pulang dan tidak ada yang akan menolongnya sekarang. Jennie berusaha meronta tapi semua seolah sia-sia, saat tubuh Chandra lebih kuat dan mendominasinya.
Chandra semakin menggila dan Jennie berusaha berteriak, bergerak melawan menyerang Chandra, dengan semua kekuatan yang dia punya meski sia-sia. Saat Chandra semakin menggila, tiba-tiba saja pintu ruangan Chandra terbuka, seseorang masuk dan membuat perhatian Chandra teralih, saat itu juga Jennie menginjak kaki Chandra dengan high heels-nya, menendang dan menampar Chandra lalu secepat mungkin kabur.
Sementara seseorang yang baru masuk itu terhenyak melihat pemandangan yang terjadi di dalam. Dia tidak menyangka sebuah skandal tengah terjadi. Tadi, usai meeting divisi marketing, dia membereskan ruangan, dilanjutkan dengan mengecek semua ruangan, dan ruangan direktur marketing ini adalah ruangan terakhir yang dia periksa, tapi ternyata ada suatu hal yang terjadi. Beha nggak tahu apakah ini berkah atau musibah. Berkah, karena berkat kehadirannya, Jennie selamat dari tindakan asusila atasannya, karena jika dilihat tadi, Jennie tampak tidak berdaya, dan di bawah paksaan. Atau bisa saja ini musibah, karena jelas Chandra tidak akan diam dengan kejadian ini, salah-salah, dia bisa dipecat, mengingat kejadian gosip kemarin saja, dia kena skorsing dua minggu.
"Ma-maaf, Pak." Beha berkata cepat dan sebelum Chandra mengatakan apapun, dia segera kabur, menyusul Jennie.
"Tolong, anter gue pulang," pinta Jennie saat mereka di elevator.
"Oke," balas Beha singkat.
"Gue...gue...." Jennie nampak bingung, badannya bergetar hebat dan lemas. Beha nggak tahu harus bagaimana, dia ingin menopang atau memeluk Jennie tapi takutnya, Jennie merasa dia memanfaatkan keadaan.
"Jangan bilang ke siapa-siapa ya...," lirih Jennie pada Beha, dan Beha mengangguk.
Sampai area parkir basement Beha segera mengambil motor maticnya dan memberikan jaketnya pada Jennie. Malam Jakarta tidak terlalu dingin, tapi tetap saja, Beha nggak mau Jennie terkena angin malam yang nggak sehat untuk kesehatan. Jennie menerima jaket dari Beha dengan tangan gemetar dan segera memakai helm, menoleh pada elevator.
"Cepetan...." Jennie berkata dengan suara bergetar, dia takut Chandra menyusul.
Beha segera sigap menyalakan mesin motor dan saat Jennie sudah berada di belakang punggungnya, dia melajukan motornya meninggalkan gedung kantor.
Sepanjang jalan, Jennie tidak bisa menahan air matanya. Berbagai perasaan hadir dalam dirinya, jengkel, sedih, muak dan khawatir bercampur baur menjadi satu. Dia sangat membenci Chandra tapi apa daya? Melaporkan hal ini ke divisi kode etik, juga belum tentu mendapatkan tanggapan yang baik, bisa jadi kasus ini malah diputar balikkan, dan dia yang dianggap bersalah. Jennie berpikir apa sebaiknya dia mengajukan keluar dari perusahaan? Dia yakin, bisa mendapatkan pekerjaan lain, tapi setelah dipikir ulang, perusahaan lain yang menerimanya pasti akan bertanya-tanya mengapa dia meninggalkan NCB, yang notabene adalah bank swasta terbesar di negara ini, dengan kesejahteraan yang sangat baik. Akan selalu ada tanda tanya besar jika dia meninggalkan NCB, dan bisa saja perusahaan itu menelpon NCB untuk melakukan konfirmasi, kalau itu yang terjadi dijamin, Chandra pasti akan memberikan testimoni buruk, dan sudah pasti, dia nggak akan diterima bekerja di perusahaan lain.
Pikiran Jennie penuh dengan segala hal yang saling bersilang, sementara Beha sepanjang jalan hanya diam, dia tidak tahu harus mengatakan apa, dan juga berpikir mungkin Jennie ingin menenangkan dirinya, sampai nggak sadar motor matic Beha sudah masuk ke areal parkir apartemennya.
"Sudah sampai, Je," kata Beha saat dia memarkirkan motornya.
"Thanks...." Suara Jennie terdengar parau, Beha yakin, wanita itu menangis sepanjang jalan. Ya...Beha bisa mengerti itu, Jennie pasti shock berat dengan apa yang terjadi.
Beha mengangguk. "Masuk, udah malam, kamu harus istirahat."
Jennie masih tidak bergeming dari tempatnya berdiri.
"Kenapa? Ada yang bisa aku bantu?" tanya Beha saat Jennie hanya berdiri dan nampak bingung.
"Bisa nggak...kalau kamu nemenin aku?" tanya Jennie dengan suara tercekat. Ya...dia tahu ini adalah hal konyol yang dia minta pada Beha. Setelah apa yang terjadi, gosip yang menyebar, insiden dia mencium Beha dan dia menumpahkan semua kesalahan pada Beha, sekarang, dia minta tolong Beha buat nemenin dia.
Beha mengangguk. Dia meletakkan helmnya dan mengiringi Jennie masuk ke apartemen.
Sampai di unit apartemennya, Jennie terduduk dengan pandangan kosong, membuat Beha cukup bingung, apa yang harus dia lakukan untuk membuat Jennie lebih merasa baikan.
"Kamu mau minum?" tanya Beha pelan. "Aku ambilkan minum?"
Jennie mengangguk.
"Aku ke dalam ambil minum ya?" Beha minta ijin sebelum berjalan ke pantry, mengambil minum untuk Jennie. Nggak lama, lelaki itu datang membawa segelas air.
"Diminum dulu."
Jennie menerima gelas berisi air yang dibawakan Beha dan meminum isinya pelan.
"Makasih, Be...."
"Iya sama-sama. Ada lainnya yang mau diambilin? Atau mau makan? Bilang aja."
Jennie menggeleng, menatap Beha. Lelaki itu, sama sekali tidak terlihat marah ataupun membencinya. Sikapnya masih sama seperti biasa, sebelum kejadian gosip yang menyebar dan juga malam di mana dia mabuk dan mencium Beha, lalu tertidur di pelukan lelaki itu. Mengingat itu semua, perasaan Jennie semakin galau, dia merasa bersalah pada Beha dan tidak bisa lagi menahan kesedihan yang menyeruak dalam batinnya, dia menangkupkan tangannya ke wajahnya dan menangis tergugu, membuat Beha bingung, harus melakukan apa untuk menghibur Jennie.
Pada akhirnya, Beha hanya duduk di sisi Jennie, menemani perempuan itu menangis, menumpahkan segala rasa yang ada dalam batinnya. Hampir satu jam Jennie menangis, hamparan tisu berserak di mana-mana.
"Minum?" Beha menawari Jennie minum setelah Jennie nampak sudah cukup tenang. Jennie menerima gelas dari Beha dan meneguk air dingin yang terasa menyegarkan tenggorokannya. Dia menghela napas, berusaha membuang rasa sesak yang ada di d**a.
"Makasih ya."
Beha mengangguk. "Mau minum hangat? Atau makan?"
Jennie menggeleng, apapun rasanya tidak menarik untuknya sekarang.
"Be...makasih ya kamu ada di sini, nemenin aku." Jennie kembali menghela nafas.
"Aku nggak tahu kalau kamu nggak ada tadi...." Kata-kata Jennie tercekat, lalu dia terdiam. Perusahaan tempatnya bekerja adalah perusahaan terbaik menurut versinya. Semua yang ada di sana sangat sesuai dengan apa yang diimpikan Jennie, gaji, tunjangan, fasilitas, ritme kerja, rekan kerja, hampir semuanya cocok bagi Jennie, tapi sayang, keberadaan Chandra membuat segalanya terasa kacau dan membuat Jennie berpikir ingin mengundurkan diri dari perusahaan.
"Ini pasti berat buat kamu, kalau kamu perlu sesuatu, kamu bilang aja Je...."
Jennie menatap Beha, memaksakan senyum. "Nggak ada yang bisa kita lakukan. Aku hanya minta ke kamu jangan sampai orang lain tahu soal ini, karena kalau ada orang yang tahu, kasus ini akan jadi besar dan bisa aja kamu kena dampaknya. Aku nggak mau itu terjadi, Be...."
"Kamu udah kena skorsing karena aku, dan aku malah pura-pura nggak tahu, aku nggak peduli dan egois. Mungkin, sekarang aku mendapatkan karma dari apa yang kulakukan sama kamu."
"Nggak Je, kamu nggak salah apa-apa ke aku. Kamu jangan bilang gitu."
"Seharusnya aku bisa bilang ke Lisa dan Bu Grace kalau gosip itu bukan kesalahan kamu, tapi nyatanya aku cuma diam, dan menyelamatkan posisiku sendiri."
"Sudahlah, Je, itu bukan hal yang besar dan sudah berlalu, aku baik-baik saja kok," ucap Beha tulus dan membuat Jennie merasa semakin bersalah.
"Be...."
"Ya?"
"Aku tahu ini telat banget dan mungkin udah nggak ada artinya lagi atau udah basi, tapi aku mau ngomong kalau aku minta maaf sama kamu. Malam itu, aku yang salah. Aku datang ke kantor dan ke pantry, jujur aku nggak nyangka kalau kejadian itu bakalan jadi gosip yang bikin kamu dirugikan. Aku juga minta maaf karena aku...." Jennie menelan saliva, dia cukup kesulitan mengungkapkan maaf untuk kesalahan berikutnya.
"Ya...kamu tahu, malam itu. It was accident. Aku mabuk dan ya...begitulah. Intinya aku minta maaf."
Beha tersenyum iklas. "Nggak apa-apa Je. Semua sudah berlalu kok. Apa kamu sudah baikan? Kalau sudah, aku pamit pulang."
"Mau pulang...?" tanya Jennie nggak rela.
"Iya...kamu juga perlu istirahat kan?"
"Eng...."
"Be...."
"Ya?"
"Boleh nggak kamu tidur di sini? Aku masih ngerasa nggak enak...."
Beha nampak berpikir sejenak. Tentu dia sangat ingin menemani Jennie, terutama saat ini, saat Jennie berada dalam keadaan yang kurang baik karena insiden di kantor, tapi, Beha juga takut kalau hal ini nanti menjadi bumerang, dan menimbulkan masalah.
"Kamu mau kan?" tanya Jennie, menatap Beha penuh harap.
Beha terdiam, bingung hendak memutuskan apa.