"Kamu tidur aja dulu, aku di sini, kalau kamu perlu sesuatu, kamu bisa panggil aku," ucap Beha pada akhirnya, memenuhi permintaan Jennie untuk menginap.
"Sorry, aku ngrepotin ya?"
"Enggak kok." Beha tersenyum. "Udah sana, istirahat dulu."
"Makasih ya Be...."
"Sama-sama."
"Kamu kalau cape bisa tidur di sofa. Soalnya kamarnya satu aja...."
"Iya nggak apa-apa, kamu tenang aja."
"Eng...kalau gitu, aku ke kamar dulu ya...?"
"Oke. Tidur nyenyak ya."
"Iya," ucap Jennie, memberikan senyum di raut wajahnya yang sejak tadi nampak muram. Senyum yang membuat Beha merasa lega sekaligus jantugnya berdebar halus. Jennie masuk ke kamarnya meninggalkan Beha seorang diri di ruangan yang cukup luas, sebuah ruangan yang Beha duga menjadi ruang tamu sekaligus ruangan untuk menonton televisi, karena di situ ada televisi layar datar ukuran besar.
Jam dinding menunjuk pada angka dua, hari kemarin sudah terlewati dan hari baru menjelang. Beha membaringkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit apartemen bercat putih. Sekilas atap itu nampak sama dengan pemandangan yang dilihatnya setiap malam. Terkadang, dia tidur di pantry, atau di basement, yang terletak di dekat mushola, atau jika sedang pulang ke kontrakan sempit yang dibaginya bersama Umay, teman sekampungnya yang bekerja sebagai cleaning service di mall dekat kontrakan sempit yang mereka huni. Sekilas, langit-langit yang ditatap Beha sama, tapi tentu sebenarnya berbeda.
Beha nggak nyangka, bahwa hari ini akan datang, di mana dia menginap di apartemen Jennie. Sebuah tempat yang menurutnya mewah, dengan barang-barang mahal dan bagus yang sangat berbeda dengan kondisi kontrakan sempitnya. Tentu saja, status sosial mereka aja beda. Jennie lulus kuliah, jabatan tinggi, gaji besar beda dengannya yang hanya tamatan SMA dengan gaji UMR ibukota.
Beha menghela napas. Dia merasa khawatir soal apa yang terjadi pada Jennie. Kalau saja dia punya kekuatan untuk melawan, dia ingin sekali menonjok Chandra. Tapi apa daya, Chandra itu direktur, akan sangat mudah menyingkirkan dirinya, dan menutup segala tingkah blangsaknya. Pada akhirnya, Beha hanya bisa diam tidak bisa melakukan apapun untuk Jennie yang dicintainya. Dia merasa gagal dan tidak berdaya, mungkin memang, rasa cinta yang dia miliki ini hanya bisa dipendamnya saja, dirasakannya sendiri dan menjadikannya pemuja rahasia, sebab Beha merasa dirinya benar-benar tidak layak untuk Jennie. Jennie adalah seseorang yang terlalu sulit digapainya. Istilah jaman sekarang, Jennie terlalu mobil sport untuk dirinya yang hanya motor matic.
Beha berusaha tidur, tapi tidak bisa. Saat jam menunjukkan pukul lima, dia sudah terjaga, mungkin karena kebiasaannya bangun sepagi itu. Dia merapihkan sofa yang menjadi tempat tidurnya, lalu berpikir apa yang harus dilakukannya? Jennie belum bangun, dan dia harus ke kantor, agar tidak menimbulkan kecurigaan dan juga memancing masalah dengan Chandra.
Dia menatap jam, berpikir masih ada waktu sebelum dia ke kantor, dia bergegas ke pantry dan mulai memasak. Mungkin, dia cukup lancang, tapi dia pikir, setidaknya Jennie harus makan dengan baik setelah melewati hari yang buruk karena itu Beha langsung sibuk di dapur membuat makanan seenak mungkin untuk Jennie.
Saat dia sedang sibuk memasak, Jennie terjaga dari tidurnya. Suara dari dapur membuatnya sedikit terusik, dan karena dia tidak bisa kembali tidur, dia beranjak dari ranjangnya tanpa semangat. Kepalanya masih terasa pening dan matanya mengganjal, hidungnya terasa tersumbat, akibat menangis semalaman. Suasana hatinya masih belum membaik, dan dia masih nggak tahu harus bagaimana menghadapi persoalan yang ada. Yang pasti, sementara ini dia nggak bisa ngelaporin Chandra begitu saja, karena semua laporan itu pasti akan mentah. Nggak ada saksi mata, atau bukti yang menguatkan. Saksi mata, sebenarnya ada, Beha melihat tindakan laknat Chandra, tapi, Jennie nggak mau membawa Beha ke dalam urusannya dan membuat Beha berada dalam masalah.
Jennie keluar dari kamar dan berjalan ke dapur, di sana, Beha nampak sedang sibuk dengan bahan pangan dan juga peralatan masak. Aroma bumbu menguar sedap menyapa hidung Jennie, membuat liurnya terbit.
"Kamu masak apa?" Suara raspy Jennie membuat Beha menoleh dan meski penampilan Jennie masih kusut, dengan rambut digulung seadanya, wajah sembab tanpa makeup, mata yang membengkak dan suara serak, tetap saja, Beha merasa penampilan Jennie sempurna dan membuat jantungnya kembali berdetak lebih kencang.
"Eh...pagi Je."
"Pagi...." Jennie menguap lalu duduk di kursi mengamati Beha. Membuat Beha merasa grogi, seolah dia sedang diamati dan dinilai oleh juri Master Chef.
"Aku masak nasi goreng. Kamu belum makan dari semalam," ucap Beha sambil mengusap peluhnya, selain karena hawa panas kompor, juga karena rasa grogi yang menerpa tiba-tiba.
"Maaf ya, aku geledahin dapur kamu."
"Nggak apa-apa kok. Anggep aja rumah sendiri."
"Hngg...." Beha nggak menjawab, hanya gumaman kecil, pasalnya, dia nggak tahu harus menanggapi apa. Karena apa yang dikatakan Jennie ngebuat hatinya berbunga-bunga. Entahlah, Beha merasa dia terbawa perasaan dan gede rasa. Dia mencoba bersikap biasa aja, tapi tetap saja, hatinya berbunga-bunga, ya...meski dia tahu itu cuma khalayan dia semata. Jennie bersikap baik, bukan berarti naksir dirinya, Beha berulangkali bicara pada dirinya sendiri buat berkaca, daripada kecewa akhirnya.
Sementara itu, Jennie mengambil air lemon dari kulkas, sambil menatap Beha, dia berpikir Beha adalah sosok yang sangat gentle dan manis. Lelaki itu, sabar dan tulus, senyumnya hangat dan perhatiannya membuat Jennie merasa tenang. Keberadaan Beha, membuat mood Jennie membaik dan saat melihat lelaki itu memasak, dia menebak-nebak apakah masakan Beha akan terasa enak dan membantu memperbaiki moodnya yang hancur karena Chandra?
Jennie tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan jawabannya karena Beha membawa nasi goreng omellette yang sudah tertata apik di piring. Dari penampilannya sih, udah mirip sama nasi goreng yang dibuat para chef restoran, lengkap dengan garnish sebagai pemanis.
"Nasi gorengnya udah siap!" sebut Beha sambil meletakkan masakan itu di meja.
"Ada strawberry di kulkas, kamu mau strawberry milk?" Beha menawarkan.
"Kamu bisa bikinnya?"
"Bisa."
"Mau deh!" Jennie berkata cepat. Rasanya menyenangkan, pagi-pagi terbangun, ada seseorang yang memasak untuknya.
"Key!" balas Beha. "Dicicipin dulu nasi gorengnya, mana tau keasinan," ucap Beha sambil sibuk mengolah strawberry, dicampur gula pasir lalu dimasak di wajan anti lengket.
"Aku nungguin kamu aja, kita sarapan bareng."
"Eh...?" Beha menoleh.
"Kenapa?"
"Eng...enggak apa-apa." Beha meneruskan memasak strawberry dan gula di wajan. Sarapan bersama di apartemen Jennie adalah hal yang nggak pernah dia bayangkan. Ini seperti bayangan impian masa depan, dia dan Jennie, tinggal bersama, sarapan berdua penuh cinta...khayalan yang sangat indah.
"Adoh!!!!" Beha mendadak berteriak, karena terlalu asyik berkhayal, jemarinya menyentuh pinggang wajan yang panas, dan membuyarkan khayalan semunya.
"Kenapa?" Jennie ikut kaget, dan menghampiri Beha, serta merta meraih tangan Beha dan membawanya ke kitchen sink, mengguyur jemari Beha dengan air dingin, meniup-niupnya pelan.
"Gimana? Masih sakit?" tanya Jennie khawatir. "Aku ambilin obat dulu ya!" Tanpa menunggu jawaban Beha, Jennie pergi mengambil obat dan membalurkan obat itu ke jemari Beha yang luka. Beha bisa merasakan halusnya jemari Jennie saat wanita itu merawt lukanya. Beha menatap Jennie, saat wanita itu sibuk mengoleskan salep di jemarinya.
"Nah udah selesai diobati, moga-moga lukanya nggak melepuh," komentar Jennie setelah selesai mengolesi luka bakar yang dialami Beha.
"Eh...iya...." Beha menanggapi sedikit kaget karena dia sebelumnya sibuk menatap Jennie yang tengah mengobati luka.
"Kamu makan dulu aja, aku terusin bikin strawberry milknya," pinta Beha.
"Strawberry milknya nggak usah aja. Tanganmu sakit, kamu mending makan aja." Jennie memegang lengan Beha, membuat jantung Beha kembali berdesir tidak karuan.
"Ng...ini udah jadi tinggal nuang ke gelas aja kok. Sebentar ya."
"Tanganmu nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa." Beha menyunggingkan senyum, lalu kembali ke wajan berisi campuran strawberry dan gula. Dia menuang strawberry gula ke gelas, lalu mengambil s**u cair segar, menuangkannya hingga gelas bening itu terisi cairan berwarna merah di dasarnya dan putih memenuhi ruang gelas.
"Ini strawberry milknya." Beha meletakkan gelas di hadapan Jennie.
"Ini bentuknya kayak minuman di tempat tongkrongan gitu. Boleh nyobain?"
"Silahkan. Emang dibuat untuk kamu kok."
Jennie mengambil sendok dan mengaduk minuman itu, membuat strawberry gula tercampur dengan s**u lalu meminumnya pelan.
"Eh, enak banget!" seru Jennie, dia nggak menyangka bahwa minuman buatan Beha sangat enak. Jennie bertaruh jika minuman Beha dijual di kafe-kafe tongkrongan anak muda pasti bakalan laku keras.
"Kok kamu bisa bikin minuman kayak gini sih?"
"Awalnya nyoba-nyoba aja. Eh ternyata lumayan enak."
"Ini bukan lumayan enak Be! Tapi enak banget." Jennie meminum kembali strawberry milk-nya. "Asem manis, seger." Dia kembali berkomentar sementara Beha tersenyum dikulum, hidungnya kembang kempis setengah mati bangga karena pujian Jennie sama dengan pujian dewan juri bintang Michelin bagi Beha.
Beha yang ngelihat Jennie antusias terhadap minumannya auto tersenyum sumringah, nggak sia-sia dia bangun pagi dan kurang tidur, jari kena api kalau Jennie se-seneng ini sama masakannya.
"Coba nasi gorengnya dimakan." Beha semakin semangat menawarkan masakannya dan berharap nasi gorengnya juga mendapatkan pujian dari Jennie.
"Aku makan ya nasi gorengnya?"
Beha mengangguk.
"Kamu makan juga dong, kita sarapan bareng."
Beha menurut mengambil nasi goreng dalam piring dan kembali duduk berhadapan dengan Jennie. Setelah Beha duduk di hadapannya, Jennie menyendok masakan Beha dan menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Dia mengunyah makanan itu dan alih-alih memuji kelezatan masakan Beha, sesaat kemudian malah air mata mulai menggenang, lalu menganak sungai di pipi mulus Jennie.
Beha tersentak kaget kala melihat ekspresi Jennie saat melahap masakannya, bertanya-tanya mengapa Jennie menangis seperti ini saat memakan nasi goreng buatannya. Separah itukah rasa nasi gorengnya hingga membuat Jennie menangis? Beha segera mencicipi nasi goreng di hadapannya, menurut lidahnya, nasi goreng ini baik-baik saja, tidak ada rasa yang salah, tidak terlalu asin atau pedas, semuanya biasa saja—jika tidak bisa dikatakan lezat.
"Je...kamu kenapa?" tanya Beha was-was. Jangan-jangan ada isian nasi goreng yang membuat Jennie alergi? Seingat Beha, dia hanya memberikan telur dan sosis di nasi goreng, itu semua bahan yang ada di kulkas. Beha rasa, Jennie nggak akan menyimpan bahan pangan yang membuatnya alergi bukan?
"Kamu baik-baik saja?" Dengan panik Beha mengambilkan air putih dan memberikan pada Jennie. "Pedes? Keasinan?" Beha terus menbak-nebak, jangan-jangan, dia salah masukin bumbu atau apa yang membuat Jennie sampai menangis saking nggak karuannya masakan yang masuk ke dalam mulutnya.
Jennie menyusut air matanya dengan tisu, lalu meletakkan sendoknya dan meminum air yang diberikan Beha, tapi dia masih diam belum menjawab pertanyaan Beha mengapa dia menangis seperti itu saat memakan nasi goreng yang dibuat Beha. Beha hanya bisa berdiri di samping Jennie, merasa bingung, nggak tahu harus gimana. Beha ingin menepuk punggung Jennie, sekedar menenangkan wanita itu tapi Beha tahu, bahwa apa yang terjadi semalam telah merubah semuanya. Jennie mungkin akan merasa tidak nyaman dan takut jika seorang pria berada terlalu dekat dengannya. Meski cowok, tapi Beha tahu bahwa perempuan korban pelecehan bisa mengalami trauma yang cukup lama dan panjang, dan Beha nggak mau menambahkan rasa trauma dan tidak nyaman pada Jennie. Dia ingin sebisa mungkin Jennie merasa kembali merasa nyaman dan aman.
"Masakannya nggak enak ya?keasinan? Nggak sesuai selera?" tanya Beha lagi hati-hati saat dia melihat Jennie lebih tenang.
"Masakannya enak kok. Enak banget malah, tapi aku jadi sedih."
"Sedih? Kenapa?" Beha mengernyit keheranan.
"Aku inget mami aku. Masakan kamu tuh enak, kayak masakan mami aku."
"Oh...." Beha hanya bisa membulatkan bibirnya membentuk donat. Antara bangga karena Jennie bilang rasa masakannya enak kayak masakan ibunya, tapi juga ngerasa aneh, Jennie sampai nangis kayak gitu. Apa masakan Beha seenak itu sampai Jennie nangis keenakan? Beha nggak bisa cukup mengerti.
"Aku kangen mami...," ucap Jennie pelan, air matanya menetes lagi.
"Oh...." Beha akhirnya tahu, bukan karena saking enak masakannya, tapi rasa kangen pada ibunya yang membuat Jennie jadi nangis tiba-tiba Ya...Beha ngerti, kadang, meski seseorang udah dewasa, tapi ada kalanya merindukan sosok orangtua, ibu dan ayah di saat diri sangat penat menghadapi dunia, apalagi di ibukota yang kejamnya kayak ibu tiri. Terlebih, Jennie baru saja mengalami kejadian tidak mengenakkan kemarin, pasti, dia merasa sangat membutuhkan seseorang untuk bersandar dan mengadu.
"Kalau begitu, kamu ambil cuti aja, terus berkunjung ke rumah mami kamu. Sekaligus refreshing?" Beha memberikan saran.
"Tapi...rumah mami yang baru jauh."
"Jauh? Di mana Je? Di luar negri ya? Kan ada pesawat, kamu bisa naik pesawat ke sana."
Jennie menggeleng.
"Nggak. Aku nggak bisa ke sana."
Beha menatap Jennie penuh tanya. Wanita di hadapannya itu tampak kacau dan rapuh, membuat Beha ingin memeluk wanita itu, menenangkannya, membuatnya nyaman dan melindunginya dari segala hal yang membuat Jennie sedih. Sayang, Beha harus sadar, bahwa dia nggak berada di level itu. Dia hanyalah seorang yang tidak memiliki apa-apa juga kemampuan untuk membuat Jennie bahagia.
"Kenapa nggak bisa ke sana?" tanya Beha.
"Eh maaf...aku terlalu ikut campur," ralat Beha karena merasa dia terdengar sangat ingin tahu dan mencampuri urusan Jennie. Beha harus tahu dir di mana posisinya. Yang perlu dilakukannya hanyalah berusaha sekeras mungkin untuk tidak menambahkan luka pada Jennie dan membuatnya bersedih.
Jennie tampak terdiam, dia seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Be, gue mau nanya deh," ucap Jennie tiba-tiba membuat Beha menatap Jennie dengan alis yang mengernyit.
"Kamu tuh, suka ya sama aku?"
Pertanyaan yang dilontarkan Jennie itu terdengar mengagetkan seperti gledek yang menggelegar bagi Beha.
"Hah? Euh...itu...." Beha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bingung harus menjawab apa? Mengaku tidak ya? Haruskah dia mengaku saja? Tapi...bagaimana jika dia ditolak? Bakalan malu, dan juga mungkin Jennie bakalan ilfil sama dirinya. Gimana kalau dia mengelak? Sepertinya ini adalah jawaban yang paling aman, cuma resikonya, bagaimana jika ternyata, Jennie merasakan perasaan yang sama dengannya? Ya...meski kemungkinan ini kecil sih. Mana mungkin Jennie naksir dirinya yang low quality begini, mengingat sama Chandra yang direktur aja Jennie nggak mau sampai Chandra memaksa Jennie dengan kejam seperti itu. Beha beneran bingung mesti jawab pertanyaan Jennie bagaimana.