Satu Harap

1800 Words
Jennie menilik jam tangannya, sudah sekitar dua puluh menit dia ada di dalam toilet, mungkin Chandra sudah bosan menunggu dan pergi, tapi bisa saja, lelaki itu masih di depan toilet menunggunya. Jennie mengintip dari pintu toilet, sayangnya dia tidak bisa melihat keadaan di luar, sekaligus mengecek keberadaan Chandra. "Eh, mbak, boleh nanya nggak?" tanya Jennie saat seorang gadis yang nampak usianya lebih muda dari dia masuk ke toilet. Wajahnya cukup manis, rambutnya dikuncir kuda. "Iya?" Gadis itu membalas. "Di luar, ada cowok tinggi, nggak? Pake baju cokelat?" "Oh yang ganteng?" Gadis itu menjawab, dengan aksen daerah yang kentara. "Iya, yang itu, masih ada di luar?" "Masih ada Kak." "Oo...." Jennie tidak tahu lagi harus berapa lama dia menunggu di toilet sampai Chandra pergi. "Boleh minta tolong nggak?" "Minta tolong gimana?" "Bisa nggak ya, kita keluarnya barengan? Kira-kira cowok itu ga liat, aku baru keluar dari toilet." Gadis itu mengernyit, cukup heran sebenarnya, ada apa sampai Jennie terlihat kucing-kucingan seperti ini dengan lelaki tampan di depan toilet. Tapi, gadis itu tidak bertanya apapun. "Iya, bisa kok. Nanti saya cek dulu ya, Mas yang di depan masih ada enggak. Tapi, saya ke toilet dulu ya Kak? Udah kebelet." Gadis itu berkata sembari nyengir, memamerkan giginya yang rapi. "Oh, oke, sorry, gue bikin lo telat ke toilet." Jennie segera menyingkir agar gadis itu lebih leluasa masuk ke dalam toilet dan menunaikan hajatnya. Tidak berapa lama gadis itu nampak keluar toilet dan setelah membasuh tangannya, dia menghampiri Jennie yang masih berusaha mengintip keluar toilet. "Kak, jadi bareng keluarnya?" "Iya, jadi. Makasih banget ya?" "Iya nggak apa-apa. Saya cek dulu ya Mas Gantengnya masih di depan enggak." Jennie mengangguk seraya berharap Chandra sudah pergi atau paling tidak sedang sibuk hingga dia bisa keluar dari toilet dan lepas dari Chandra, meski ini cuma sementara, karena di kantor, mau gimana juga, dia akan ketemu Chandra, terlebih lagi, mereka berada di divisi yang sama. "Gimana?" tanya Jennie antusias saat gadis muda itu kembali. "Mas Gantengnya lagi telpon, kita bisa keluar tapi harus cepet ya!" Jennie mengangguk, merasa lega, akhirnya dia bisa lepas dari Chandra. "Kalau gitu ayok Kak." "Eh bentar, nama kamu siapa?" tanya Jennie. "Saya?" "Iya." "Yunie." "Oke, makasih ya Yunie, gue nggak bakalan lupain kebaikan kamu." Yunie tersenyum. "Ah, Kakak, kayak ngapain aja. Ayok, Kak!" Yunie mengajak Jennie keluar dari toilet dengan langkah cepat, dia mengecek posisi Chandra, dan saat melihat lelaki itu sibuk menelpon, dia segera meminta Jennie untuk berlari secepat mungkin menjauh dari toilet. Mereka berdua bergandengan tangan berlari di tengah mall, beberapa pengunjung menatap mereka heran, tapi lalu mengabaikannya. Hingga akhirnya mereka sampai di lower ground, jauh dari lokasi tempat mereka ke toilet tadi. Terengah-engah mereka berhenti berlari dan lalu tertawa-tawa. "Makasih banget ya Yun," ucap Jennie. "Iya, Kak, sama-sama. Oh ya nama Kakak siapa?" "Jennie." "Namanya bagus kayak artis," komentar Yunnie. "Emangnya, kenapa Kakak ga mau ketemu Mas Ganteng?" "Panjang ceritanya." Yunie mengangguk-angguk, dia tahu, Jennie tidak ingin bercerita, itu wajar mereka adalah orang asing. "Eh, ini di mana ya Kak? Aku bingung?" celetuk Yunie kemudian. "Ini di lower ground." "Waduh!" "Kenapa?" "Aku nggak tahu pulangnya gimana?" sahut Yunie bingung. "Aku baru pertama kesini." "Kamu tadi kesini ama siapa?" "Ama temen. Tadi nunggu di deket toilet." "Ya udah, kamu telpon aja orangnya. Suruh ke sini, ke lower ground. Dia orang Jakarta kan?" tanya Jennie karena jika teman Yunie orang Jakarta maka dia akan familiar dengan mall ini dan mudah menemukan lokasi lower ground tempat di mana Jennie dan Yunie berada. "Bukan Kak, orang Jogja, tapi udah lama sih kerja di sini. Aku baru aja dateng, mau kerja juga, tadi abis tes kerja." "Oh, ya udah telpon dulu gih!" suruh Jennie. "Iya," sahut Yunie patuh, gadis itu menelpon seseorang dan saat Jennie tidak sengaja mendengar nama yang disebut Yunie, Jennie merasa kerongkongannya mendadak kering. "Mas Beha, aku di lower ground, kamu bisa nggak jemput di sini? Aku bingung nggak bisa balik ke ruangan yang tadi," ucap Yunie pada seseorang di seberang sana. Jennie yang mendengar nama Beha, menelan saliva kasar. Apa ini Beha OB kantor yang dikenalnya? Atau Beha lainnya? Ada berapa orang sih yang panggilannya Beha di Indonesia ini? Jantung Jennie mendadak berdegup gugup. Kalau ini benar-benar Beha pantry, apa yang mau dia katakan saat bertemu? Dan juga...apa hubungan Yunie dengan Beha? Pacaran kah? Temenan kah? Atau saudara? Mendadak, otak Jennie penuh dengan pertanyaan. "Kak Jennie, aku udah telpon temenku, dia katanya mau ke sini," beritahu Yunie pada Jennie usai selesai menelpon Beha. "Oh...iya, ngg...mau makan es krim nggak? Aku haus nih." Tunjuk Jennie ke gerai es krim restoran cepat saji. "Ngg...." Yunie nggak segera menjawab. "Mau ya, gue beliin, itung-itung makasih karna udah bantuin gue tadi. Ayok!" Jennie menggandeng lengan Yunie dan gadis itu menurut. Es krim vanilla dengan taburan sirup strawbery terasa sejuk di kerongkongan Jennie, begitu juga Yunie yang nampak sangat menikmati es krim vanila dengan taburan biskuit coklat yang dihancurkan, berulangkali, gadis itu mengatakan enak, dan membuat Jennie menawarinya lagi es krim dengan rasa lain, dan burger untuk dibawa pulang. "Saya jadi ngrepotin Kak...." Yunie berkata pelan, nampak tidak enak saat Jennie memberikannya banyak makanan. "Nggak apa-apa, cuma makanan ini." "Makasih ya Kak. Nanti Mas Beha pasti juga suka." Yunie bicara dengan wajah cerah. "Beha...itu siapa?" tanya Jennie sambil duduk di bangku restoran cepat saji yang ada di tepian restoran. "Oh...dia itu tetanggaku di Jogja, Kak. Tadinya, aku kerja di kampung, tapi gajinya sedikit banget, cuma tiga puluh ribu paling sehari. Kerjaannya bersihin sarang burung walet, nah kebetulan aku ketemu Mas Beha kemarin dan nawarin daftar kerja di kantornya. Aku tadi tes dan lulus." Yunie terlihat sangat gembira. "Oh gitu...." Jennie memakan pelan es krimnya. "Eh itu, Mas Beha!" Yunie tiba-tiba menatap seseorang, dan melambaikan tangan. Karena Jennie duduk membelakangi arah dari mana Beha datang, dia yakin, Beha tidak tahu kalau yang bersama Yunie ini adalah dirinya. "Mas Beha, sini!" "Aku cari di mana-mana malah di sini sih Yun. Aku telpon ga diangkat lagi," ucap Beha, sedikit mengeluh karena kakinya cukup pegal, mengitari luasnya lower ground mencari keberadaan Yunie, ternyata yang dicari malah sedang asyik santai makan es krim. Yunie meringis. "Maaf ya Mas!" "Mas, kenalin ini Kak Jennie, kita ketemu tadi di toilet." Beha menoleh pada Jennie yang sedari tadi hanya diam, karena nggak tahu harus bagaimana, mengingat hubungan canggungnya dengan Beha sejak dua minggu yang lalu akibat gosip dan juga ciuman tak sengaja malam itu. "Je-nnie...?" "Eh hai...." Jennie membalas canggung dan Yunie mengamati Jennie dan Beha. "Kalian kenal?" "Eng...iya, kenal kan aku kerja di tempat yang sama kayak Beha." "Oh gitu...nanti aku juga kerja di sana berarti sama Kak Jennie." Yunie terlihat sumringah. "Iya, sampai ketemu besok ya Yun kalau gitu." Jennie mengambil tasnya dan beranjak. "Aku duluan ya...." "Iya Kak Jennie, sampai ketemu besok." Yunie melambai-lambaikan tangan pada Jennie yang melangkah menjauh. Sementara Beha menatap Jennie dengan tatapan rindu yang hanya bisa dipendamnya sendiri. Interaksi dan pertemuan indahnya dengan Jennie, berakhir dengan sebuah kepahitan. Perusahaan memberikannya teguran keras dan juga skorsing. Belum cukup di situ, gajinya pun juga dipotong. Beha sebenarnya merasa tidak terima, tapi dia tidak berdaya, apa yang bisa dilakukannya hanya menerima keputusan berat sebelah perusahaan. Soal gosip, dia juga nggak tahu siapa yang menyebarkan. Meski semua ini berhubungan dengan Jennie dan seolah Jennie tidak mendapatkan konsekuensi apapun, dan terasa tidak adil, tapi Beha tidak merasa marah pada Jennie. Beha pikir dia bisa melupakan perasaan konyolnya pada Jennie tapi ternyata, jantungnya berdebar tida karuan saat bertemu Jennie tadi. Beha tahu cinta ini bukanlah cinta yang bisa dia dapatkan, tapi sayang, Beha juga kesulitan untuk melupakan. "Mas Beha denger ga sih?!" protes Yunie yang menyadari bahwa Beha terdiam selama mereka berjalan dari lower ground sampai ke area parkir, padahal Yunie sedang bercerita dengan gencar soal Jennie. Gadis itu sangat mengagumi Jennie, dan bercerita tanpa henti tentang Jennie yang menurutnya cantik, wangi, bajunya bagus, tasnya bagus, baik dan segala sesuatu yang mengesankan di mata Yunie. "Iya denger kok." Beha menjawan seadanya. "Kalo denger mbok ya ditanggepi!" Yunie masih tidak terima Beha mengabaikannya. Beha tersenyum, gadis dua puluh tahun itu sudah dia anggap adiknya sendiri. Masih teringat saat dia kecil dulu, dia kadang bermain bersama Yunie di sungai. Beha meraih kepala Yunie dan mengusaknya pelan. "Iya Jennie itu cantik, wangi, baik." "Yuk kita pulang, istirahat, besok kan kita harus kerja. Besok hari pertama kamu, jangan sampai telat dan bikin kesalahan." "Siap, Bos!" "Eh, kamu kok bisa ketemu Jennie?" tanya Beha. "Ck...Mas Beha gimana sih?kan aku udah cerita!" kesal Yunie, pasalnya, gadis itu memang sudah bercerita awal mula bertemu Jennie, cuma Beha malah nggak konsen, jantungnya kebat kebit sewaktu jumpa Jennie dan mengabaikan cerita Yunie. "Maaf Yun, soalnya panas nih lho, aku dehidrasi jadi lemot." Beha beralasan. Yunie mencebik, tapi gadis itu mengulang ceritanya soal Jennie, karena memang Yunie merasa Jennie adalah idola, jadi dia nggak keberatan menceritakan soal Jennie berulang kali. "Tadi ketemu di toilet, dia ditungguin sama cowok tinggi ganteng di depam toilet, dan minta tolong aku buat liatin apa cowok itu masih di depan toilet." "Cowok...?" Yunie mengangguk. "Ga tau siapa, Kak Jennie nggak mau ngomong. Padahal ganteng banget cowoknya, tinggi, kaya, tapi kenapa kak Jennie ngehindar ya? Apa pacarnya tapi lagi berantem?" Beha hanya diam. Dari gambaran Yunie, lelaki yang bersama Jennie tadi pastinya bukan lelaki melarat sepertinya. Minimal, lelaki itu juga pekerja kantoran dengan gaji paling tidak dua digit. Kalau lelaki macam itu saja ditolak Jennie, apalagi lelaki seperti dirinya? Sudah pasti dilepeh, Jennie nggak mungkin memilih dirinya. Beha menertawakan dirinya sendiri. Jangankan memilih, menoleh saja enggan. Jennie seperti dewi di kayangan sementara dirinya mungkin hanya siluman babi rendahan seperti di serial Mandarin, Kera Sakti. "Toh! Mas Beha bengong lagi!" Yunie kembali melayangkan protes. "Sorry Yun, namanya juga udah faktor u." Beha menjawab, berusaha menutupi kegundahan hatinya. "Udah yuk pulang, nanti malam kita makan nasi goreng deket kontrakan, rasanya enak lho." Beha mengalihkan percakapan. "Beneran enak Mas?" "Iya enak!" sebut Beha mantap. "Nggak kalah sama nasi goreng Pak Bejo." Dia menyebutkan penjual nasi goreng yang terkenal di kampung. Mendengar hal itu, Yunie tidak lagi bertanya mengapa Beha beberapa kali terlihat bengong kehilangan konsentrasi. Selain karena dijanjikan nasi goreng, motor matic Beha juga mulai melaju meninggalkan mall, melewati gedung tinggi, termasuk juga gedung perwakilan rakyat yang biasa hanya bisa Yunie lihat di televisi. Semua pemandangan ibukota, padatnya lalu lintas hingga padatnya bangunan membuat gadis itu asyik dengan apa yang baru pertama kali dilihatnya. Sepanjang jalan, Yunie terus bertanya Beha banyak hal tentang Jakarta. Sementara, Beha bertanya-tanya pada dirinya sendiri, bagaimana melupakan sebuah cinta yang tidak mungkin terjadi. Di antara ribuan pengendara lainnya Beha menatap langit yang mulai menggelap, matahari telah sepenuhnya bergulir ke barat untuk beristirahat. Beha menatap langit dan berharap hari esok tidak lagi kelabu, seperti yang dia alami belakangan ini. Gosip beredar tentangnya dan membuatnya menerima sanksi yang lumayan membuat perasaan dan juga dompetnya sesak, terhimpit keadaan di kerasnya ibukota.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD