Kalau Saja

1751 Words
Tiga tahun yang lalu, di Jerman Bima diam mematung, kantong belanjaan yang ia bawa jatuh begitu saja saat melihat Saka tergeletak di tengah jalan setelah mobil yang tiba-tiba melintas menabraknya. Seketika orang-orang yang berada di sekitar menghentikan aktfitasnya, berlarian mengerubungi Saka, demi melihat nasib naas bocah yang baru menginjak usia remaja itu benar-benar nggak bergerak, matanya terpejam rapat, darah segar mengalir dari kepalanya. Sayup-sayup Bima mendengar salah satu orang panik menghubungi nomor panggilan darurat 110. Barulah Bima tersadar, berlari membelah kerumunan. Kali ini dia menyaksikan pria bertubuh tinggi tegap berjas hitam mengangkat tubuh Saka, membawanya masuk ke dalam mobil yang menabraknya tadi. Bima mengikutinya, menarik ujung jas pria itu, membuatnya menoleh, menatapnya terkejut. "Aku saudara kembarnya." Ucap Bima mengerti arti tatapan pria itu, "Mau anda bawa kemana dia?" tanya Bima menyelidik. Meski masih bocah, dia tahu pria ini bukan warga lokal, raut wajahnya jelas menunjukkan dia orang asia. Dan pin yang dikenakan, Bima tahu betul itu pin lambang apa. Bima bisa menyimpulkan kalau kecelakaan ini memang disengaja. "Tentu membawanya ke rumah sakit. Kamu mau ikut?" tanya pria itu balik. Sebentar Bima terdiam, beralih meraih pergelangan tangan Saka yang menjuntai ke bawah. "Anda yang dua minggu lalu mendatangi papa kan? Yachio Dragon?" Bukannya menjawab pria itu malah menyuruh pria lain yang baru saja turun dari mobil untuk menyeretnya, memaksanya masuk ke dalam mobil. Dan sejak saat itulah semuanya dimulai. Bukan baru saja, tapi sudah sejak lama rencana demi rencana disusun oleh Bima kecil yang bahkan belum genap 17 tahun. Nggak ada lagi Bima Arya Putra yang selalu dipojokkan orang tuanya, yang selalu dipandang sebelah mata oleh orang tuanya. Sejak saat itu yang ada hanya Saka Arya Putra, anak kebanggaan Arya Putra. Bima tersenyum tipis, perlahan senyuman itu berubah jadi tawa, air matanya sampai keluar. Tatapannya nggak lepas dari koran yang beberapa jam kemudian terbit setelah kecelakaan. Disana tercetak jelas, "Bima Arya Putra anak Pengusaha Asia Tewas Karena Kecelakaan." *** Pajero Sport hitam itu berhenti di seberang rumah Ali. Kaca mobil bagian penumpang terbuka setengah membuat Saka bisa mengawasi rumah megah itu dari kejauhan. Kasar, Saka melepas maskernya yang sudah penuh dengan cipratan darah lantas membuangnya ke kursi sebelah. Merogoh saku celana menekan nomor ponsel yang sudah sangat dia hapal beberapa minggu ini. Dia ingin memastikan sesuatu terlebih dahulu. "Kenapa lama banget kak angkatnya? Takut?" tanya Saka datar sembari menatap lantai dua rumah Ali, tempat dimana Lintang berada, di kamar utama milik Ali. Butuh lima kali panggilan untuk Lintang mengangkat teleponnya. Sungguh, Saka menyadari kalau semua tindakannya selama ini bukan hal yang baik. Dia tahu itu bahkan sejak bernegosiasi dengan Yachio tiga tahun lalu. Menukar identitasnya dengan Saka asli, saudara kembarnya. Tapi untuk Lintang, ini berbeda. Dia ingin terlihat baik di mata Lintang. Dia ingin Lintang tetap berada di sisinya. Mencubit lengannya, mengatainya bocah ingusan, menatapnya seolah dia memang hanya murid sekolah biasa. "Ada apa lagi?" suara Lintang terdengar menahan emosi. Saka tahu betul, Lintang saat ini sangat membencinya. "Kalo lo lagi di kamar sekarang, artinya Bang Al nggak ada di rumah kan?" "Meskipun Bang Al nggak ada disini, lo nggak akan pernah bisa masuk! Lebih baik lo balikin brankas itu sekarang juga Saka. Please, jadi murid biasa seperti yang lain!" Tawa Saka seketika pecah, membuatnya sampai harus menepuk nepuk paha. Saka pikir itu permintaan yang sangat lucu. Saka memang nggak salah pilih saat jatuh cinta pada Lintang. "Itu juga yang gue mau Kak. Tapi gue nggak ditakdirkan untuk jadi murid biasa. Kapan Bang Al pulang? Lo yakin Bang Al akan pulang?" "Apa maksud lo?" "Bang Eza belum kasih tahu lo? Coba nyalain tv deh, ada kejutan buat lo, Kak." "APA MAKSUD LO SAKA?!" bentak Lintang, terdengar gebrakan keras pada meja. Saka menduga Lintang menghantamkan tangannya ke meja. Lintang benar-benar marah. "Tenang Kak. Nggak perlu emosi gitu dong. Gue cuma mau bilang sekali lagi, apa yang udah jadi milik gue nggak akan gue lepas. Dan itu termasuk lo, Kak. Gue akan pastikan, lo sendiri yang akan datang ke gue. Setelah semua ini selesai, gue janji Kak, gue akan jadi murid biasa seperti yang lo minta. See you soon." Saka memutus sambungan telepon, menaikkan kaca dan menyuruh sopirnya untuk kembali menyalakan mesin mobil, menuju ke tempat selanjutnya *** Dua jam sudah sejak Ali berangkat. Dan Miko pun belum juga sampai di rumah. Lintang hanya mondar mandir dalam kamar, nggak bisa tidur. Masih penasaran apa yang sebenarnya dilakukan Ali? Apa benar dia hanya bertemu dengan klien nya? Lintang menjadi sangat khawatir sejak kejadian siang tadi. Sesekali dia melongok ke luar jendela berharap Ali segera kembali. Sampai pada akhirnya, ponsel berbunyi. Butuh beberapa menit untuk Lintang mengangkatnya. Bagaimana bisa Lintang bersikap biasa saja saat yang menghubunginya adalah orang yang sangat ia benci beberapa jam lalu? Lintang nggak akan pernah memaafkan Saka, kalau sampai terjadi apa-apa dengan Ali. "Ada apa lagi?" tanya Lintang langsung begitu dia mengangkatnya. Kali ini nada suara Lintang nggak seperti biasanya. Dia nggak akan mengomel panjang lebar, atau bahkan berniat untuk lari ke arah Saka karena ingin menjitak kepalanya. "Kalo lo lagi di kamar sekarang, artinya Bang Al nggak ada di rumah kan?" Seketika tubuh Lintang menegak. Dia bangkit dari duduknya, berjalan menuju jendela, membuka sedikit gorden. Terlihat pajero sport hitam terparkir di depan rumah. Apa itu Saka? Buru-buru Lintang meraih remote control yang tadi dia letakkan di meja. "Meskipun Bang Al nggak ada disini, lo nggak akan pernah bisa masuk! Lebih baik lo balikin brankas itu sekarang juga Saka. Please, jadi murid biasa seperti yang lain!" tangan Lintang sudah gemetar, erat menggenggam remote control itu. Terdengar suara tawa Saka, yang entah kenapa itu benar-benar bukan seperti Saka yang dia kenal. "Itu juga yang gue mau Kak. Tapi gue nggak ditakdirkan untuk jadi murid biasa. Kapan Bang Al pulang? Lo yakin Bang Al akan pulang?" Detik itu juga Lintang akhirnya yakin. Sekarang bukan nyawanya saja yang dalam bahaya. Sudut mata Lintang mulai basah, menekan tombol warna merah untuk menonaktifkan sistem keamanan kamar. Meraih cardigan hitamnya lantas segera menuju lantai bawah. Ada yang harus dia lakukan, mengakhiri semua ini. *** Tentu saja apa yang diucapkan Saka bukan tipuan. Di pagi buta mendadak Gedung Tua menjadi sibuk. Beberapa anak buah Elang keluar masuk ruangannya, melaporkan berita terkini. Jari tangannya terus mengetuk meja, menatap gusar layar laptop. "Sudah dipastikan itu mobil milik Ali. Masih dalam pemeriksaan." Lapor Bumi begitu masuk ke ruangan Elang tanpa mengetuk pintu. "Eza dalam perjalanan kemari. Gue pikir dia akan salah paham, El. Apa yang harus kita lakukan?" lanjut Bumi menjelaskan yang akhirnya mendapat respon dari Elang. Elang menghentikan aktifitasnya, sejenak diam menatap Bumi datar. Beberapa jam yang lalu dia mendapat email dari entah siapa, memberitahu kalau ada sesuatu yang harus ia lihat. Di email itu juga menyertakan sebuah foto dan pesan ancaman. Foto itu adalah mayat yang tergeletak di pinggir sungai. Terlihat jelas pin yang ada di jas mayat itu, dia adalah salah satu anggota Yachio Dragon. Dan isi ancamannya adalah, "Bereskan itu, kalau lo mau Lintang selamat." Jadi Elang segera menghubungi Eza terlebih dahulu, menceritakan semuanya, memintanya mengurus mayat itu. Dan untuk nggak memberitahu Ali juga Lintang tentang ancaman itu. Elang sendiri yang akan menangkap pelakunya, tanpa tahu di jam yang sama juga Ali mendapat email serupa. Yang membuatnya segera berangkat menuju lokasi sungai, membatalkan rencananya untuk langsung ke kantor Eza. Yang sebenarnya Elang dan Ali sama-sama melacak darimana asal email itu dikirim. Sampai pada akhirnya mereka berdua juga tahu siapa pelakunya. Siapa tuan muda Yachio itu. Tapi sayang sebelum Elang bergegas ke sana, berita buruk datang. Mobil Ali ditemukan terbakar di jalanan menuju lokasi TKP ditemukannya mayat. Belum ada tanda-tanda Ali ditemukan. Info terakhir mengatakan kalau genangan darah ada di sekitar mobilnya yang terbakar juga arloji milik Ali. "Apa lagi? Kita udah biasa dituduh kan? Udah biasa jadi penjahatnya kan? Tentang Ali biar Eza yang akan urus, dia yang paling tahu harus melakukan apa untuk Ali. Gue yakin Eza bisa menemukannya. Ali bukan orang yang mudah kalah, B." "Jadi langkah selanjutnya?" "Kita harus tangkap tuan muda Yachio sekarang juga. Sebelumnya, lo jemput Lintang, bawa dia ke tempat yang aman." Titah Elang beranjak berdiri. Tapi langkahnya terhenti saat mendapati seseorang sudah ada di depan ruangannya, berdiri menatapnya. Matanya sembab, jelas sekali dia kelelahan juga. Elang hapal betul keadaannya jika seperti ini, tangan mungilnya yang terus gemetar. Napasnya yang naik turun, berpegangan pada handle pintu untuk menyangga tubuhnya itu. "Nggak perlu El, gue udah ada disini. Kita harus cari Saka kan?" "Lintang?" "Sekarang El, ayo kita cari Saka sekarang, gue mohon, ya? Bang Al pasti masih hidup." "Lintang ..." panggil Elang lagi, sungguh ingin sekali Elang merengkuh tubuh mungil itu menenangkannya. Tapi apa? Di pikiran Lintang saat ini hanya ada Ali, bahkan dia memohon sambil menangis? Untuk Ali? Elang menunduk sebentar, menarik napas dalam-dalam, lantas kembali menatap Lintang. "Gue akan cari dia Lin, lo tunggu aja disini. Gue nggak bisa libatin lo." "Nggak EL, gue harus ikut. Yang dimau Saka itu gue, kalo gue ikut semuanya akan cepat selesai." "Nggak Lin, ini bahaya. Gue akan minta bantuan Eza." "Gue udah bertemu Eza tadi. Gue udah bilang sama dia, kalau Saka lah tuan muda Yachio, dia langsung bergegas pergi. Ada lo El, gue nggak akan dalam bahaya." "B ...," panggil Elang tanpa sedikit pun mengalihkan tatapannya dari Lintang. Sepertinya Elang harus berbesar hati sekarang. Dia harus merelakan Lintang untuk Ali kah? Dan juga merelakan semua yang sudah dia miliki? Kali ini mungkin Elang akan benar-benar jadi orang baik. Karena ini pertama kalinya, dia melakukan sesuatu untuk orang lain. Bumi melangkah mendekat, "Mulai sekarang bantu Eza. Dalam waktu 24 jam gue mau ini selesai, apapun yang terjadi." "Dan lo?" tanya Bumi mengerutkan kening saat mendapati Elang menyeringai tersenyum padanya. "Gue? Gue mau kencan dulu for last time. Sorry, sepertinya gue nggak akan menikah dalam waktu dekat." Ada yang hilang lantas kembali muncul. Ada yang datang lantas kembali pergi. Ada yang memiliki lantas kembali melepas. Keegoisan seseorang nyatanya hanya bisa bertahan sesaat. Saat hati lebih dulu maju melawan logika, apa yang bisa mereka lakukan? Kalau saja mereka nggak saling bertemu, kalau saja mereka tetap duduk tanpa meraih tangan itu. Mungkin Lintang akan tetap jadi karyawan biasa kalau saat itu dia nggak menyapa Kakek Erlangga. Mungkin Elang akan tetap jadi egois yang hanya memikirkan tentang Gedung Tua, kalau saat itu dia nggak menerima panggilan Lintang untuk menjemput Kakek Erlangga. Mungkin Ali nggak akan pernah lagi mempedulikan orang lain selain orang-orang terdekatnya kalau dia membatalkan kerjasamanya dengan perusahaan dimana Lintang bekerja. Dan mungkin Saka juga nggak akan jatuh cinta kalau saat itu dia menghiraukan Lintang yang sedang mengambil foto di gedung belakang sekolah. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD