Permintaan Terakhir

1406 Words
Pukul 11.00 malam, lima mobil polisi sudah sampai di TKP sejak 30 menit yang lalu. Garis pembatas polisi sudah dipasang sepanjang tepi sungai. Beberapa mobil yang melintas ada yang sengaja berhenti, demi melihat apa yang tengah terjadi. Wahyu meraup mukanya kasar saling pandang dengan Eza yang baru saja selesai menghubungi Ali. Ditemukan mayat di sungai pinggiran kota oleh dua warga yang baru selesai memancing disana. Eza yang dikabari oleh salah satu polisi kenalannya langsung meluncur bersama Wahyu. "Lo yakin?" tanya Wahyu sekali lagi. Eza menunjuk jas hitam yang dipakai mayat itu, "Pin yang dipakai lambang keluarga Yachio Dragon. Gue yakin, kecuali ada orang yang berani mencuri jas mereka atau menjualnya di pasaran." "Mayat diperkirakan meninggal empat jam yang lalu, untuk selanjutnya biar polisi yang menyelidiki, Pak Eza bisa langsung pulang. Saya bisa kena omel kalau ada warga sipil yang masuk area TKP." Polisi kenalan Eza menjelaskan, sedikit takut kalau Eza menolak. Meski Eza hanya warga sipil, tapi perangainya yang buruk tetap menakutkan bahkan untuk seorang polisi. Dan syukurlah Eza hanya mengangguk, mengajak Wahyu untuk kembali ke kantor. Mereka harus segera membahas ini semua dengan Ali. "Ali langsung ke kantor?" tanya Wahyu, sudah menjalankan mobilnya meninggalkan area, menekan klakson menyuruh beberapa warga yang menutupi jalan untuk minggir. "Iya, dia nunggu adek lo dulu baru bisa ninggalin Lintang." "Apa mereka pacaran?" "Gue harap nggak, gue nggak ikhlas kalo mereka pacaran." Eza membuka kaca mobil, mematikan AC mobil, kembali menyulut rokoknya. Keadaan semakin runyam, Eza semakin khawatir saja dengan keadaan Ali saat ini. Mau sampai kapan dia terlibat dengan Gedung Tua. "Sama gue juga." Jawaban Wahyu tentunya langsung membuat Eza menoleh, menaikkan sebelah alisnya. Wahyu yang tahu arti tatapan sahabatnya itu, tersenyum. "Gue tahu lo benci Lintang karena gue. Tapi bukan itu penyebabnya, gue merasa dia nggak sebanding aja sama Bunga. Kalo dipikir-pikir kita sahabat yang jahat ya, sahabat sendiri lagi jatuh cinta nggak direstuin!" tawa mereka pecah seketika, menembus dinginnya malam. Wahyu membelokkan mobilnya menuju jalanan kota. Pagi ini rencananya mereka bertiga akan menyergap markas Yachio Dragon dengan bantuan Erlangga. Hal buruk ini harus segera diakhiri. "Ai sayang banget sama Ali. Kalo ada apa-apa sama Ali, gue nggak tahu gimana menghadapi istri gue itu. Gue nggak mau kehilangan Ai, juga Ali." "Sama gue juga." "Maksud lo?" "Gue nggak mau kehilangan Ai, eh maksud gue Ali." "Awas ya lho macam-macam!" ancam Eza sorot matanya semakin menajam seolah bisa menerkam Wahyu yang sudah cekikian di sebelahnya. Pagi ini agaknya mereka bisa bersantai sedikit, sebelum beberapa jam kemudian, mereka akan kembali mendengar kabar buruk. Awan mendung sepertinya belum mau mereda. "Setelah ini selesai, gimana kalo kita jalan-jalan?" "Oke, tapi tanpa Ai, gue nggak mau Ai jatuh cinta lagi sama lo!" "Emang Ai pernah jatuh cinta sama gue?" "Nggak, nggak pernah!" "Tapi Ai dulu selalu panggil gue Si Mata Bening." "Mata butek gitu, apanya yang bening." "Hei, gue ini salah satu preman di Gajah Mada, gue juga ganteng ya." "Gue yang paling ganteng, cuma gue Eza si aktor tak lekang oleh masa." "Ya ya ya." ***  "Lo tinggal tekan tombol ini, nah seperti ini, lo liat kan?" Ali menekan tombol warna hijau di remote kontrol yang ia pegang. Dalam hitungan detik secara bersamaan dinding besi muncul dari atas di keempat sisi ruangan. Ruangan kamar Ali tertutup sempurna. Ali berjalan menuju salah satu dinding, mengetuknya dua kali. "Gue jamin lo aman disini. Lo tekan tombol warna merah, artinya sistem keamanan dinonaktifkan." Lintang hanya menganga, melihat ruang kamar Ali benar-benar seperti di film-film barat yang ia tonton. Bagaimana bisa ada ruangan semacam ini? "Sistem ini juga Bunga yang membuatnya?" tanya Lintang teringat perkataan Ali beberapa waktu lalu tentang desain rumah ini yang dibuat oleh Bunga. Ali menggeleng, meletakkan remote itu ke tangan Lintang. "Selama ini gue selalu menaruh orang-orang yang gue sayang dalam bahaya. Gue bikin ini untuk melindungi mereka sewaktu-waktu." "Orang-orang yang Bang Al sayang?" tanya Lintang ragu. Apa kali ini Lintang juga akan salah mengartikan? Ali mengangguk yakin kembali tersenyum, "Ai dan sahabat-sahabat gue. Tanpa mereka gue nggak akan bertahan sampai saat ini." "Ah iya, benar." Lintang tersenyum tipis, hampir saja dia besar kepala. Dia pikir dirinya juga termasuk dalam daftar orang tersayangnya Ali. Lintang menghela napas dalam-dalam, mengepalkan tangannya erat ingin sekali memukul kepalanya sendiri untuk segera sadar. Ali hanyalah orang baik, bukan orang yang akan mencintainya. "Bang Al nggak berangkat sekarang?" tanya Lintang berusaha mengalihkan pembicaraan. "Miko belum datang, kemana sih tuh bocah, bentar gue telpon dulu." "Nggak usah Bang, Bang Al berangkat aja. Kan udah ada ini." Lintang menunjukkan remote yang ada di tangannya, "Nanti mereka juga datang, saya nggak apa sendiri. Saya akan tunggu Bang Al." "Lo yakin nggak apa?" Lintang mengangguk pasti. Lintang berjanji ini hari terakhir dia akan merepotkan Ali, setelah besok pagi Ali kembali, Lintang akan pamit. Dia nggak mau melibatkan Ali lebih jauh lagi. Lintang nggak bisa menebak apa yang akan dilakukan Saka terhadap Ali. "Oke, gue pergi. Begitu gue keluar dari kamar, lo tekan tombol hijau, jangan pernah dinonaktifkan sebelum gue balik." "Iya Bang, Bang Al hati-hati." "Iya, gue akan segera balik." *** Dia bukan superman. Dia juga bukan pahlawan kesiangan. Dia hanya seorang pria yang kesepian. Kalau saja dia nggak ingat punya adik yang harus dijaga juga punya sahabat-sahabat yang selalu mendampinginya, pasti dia akan menyusul kekasihnya. Sejak kepergian kekasihnya, dia hanya jadi laki-laki berhati dingin. Benar-benar seperti di film. Bahkan nomor kontak yang ada di ponselnya hanya ada 10 nama, satu adiknya, dua sahabatnya, tiga juniornya sisanya empat adalah pegawai penting yang selalu berurusan dengannya. Hanya ada dua nama perempuan yang sangat penting di hidupnya, Aisyah dan Bunga. Selain itu jangan harap siapapun, bahkan orang tercantik sedunia bisa menggantikan dua nama itu. Iya, seenggaknya itulah yang selama ini dia yakini. Sampai beberapa tahun berlalu dia lupa, pernah ada satu nama yang berhasil mengoyak hidupnya. Satu nama yang berhasil membuatnya bingung, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa senyumnya mendadak merekah saat melihat gadis itu lagi. Kenapa langkahnya terus maju mengikuti gadis itu saat berkeliling sekolah mengingat masa lalu yang buruk? Kenapa laju mobilnya begitu kencang saat tahu keberadaan gadis itu di luar kekuasaannya? Kenapa dia merelakan dirinya sendiri untuk menjaga gadis yang bahkan namanya nggak ada dalam kontak ponsel? Malam ini mobil itu kembali melaju kencang untuk gadis yang beberapa saat lalu dia tinggal. Entah ini benar akan terjadi atau hanya ketakutannya saja, sepertinya ini bena-benar akan menjadi akhir dari segalanya. Sesaat sebelum meninggalkan rumah dia memasukkan kontak gadis itu di ponselnya, yang sebelumnya nggak pernah dia simpan. Mobil itu melaju menuju arah sungai tempat dimana mayat ditemukan. Jalanan malam ini sepi sekali. Hanya beberapa kendaraan yang berpapasan dengannya dengan laju yang sama cepat. Seperti mereka sedang diburu pekerjaan yang harus segera selesai saat itu juga. Mobilnya pun masih sama terus melaju dengan cepat, nalurinya sebagai pembalap saat masih bersekolah, tetap ada tanpa berkurang sedikit pun. Sampai pada akhirnya, tanpa dia bisa menghindar, truk muatan yang datang dari arah berlawanan menghantamnya. Membuat mobil itu terjungkir menabrak tiang listrik. Nggak sampai disitu, beberapa orang berpakaian serba hitam keluar dari truk itu. Masing-masing membawa balok kayu. Salah satunya yang sudah berdiri di samping pintu mobil, memukul kaca mobil lantas membuka paksa pintunya. Menyeretnya keluar lalu membantingnya ke jalanan. Nggak akan ada mobil yang melintas, seolah semuanya memang sudah diatur. Sialnya nggak semua jalan di kota ini terpasang kamera pengawas. Hanya beberapa detik saja, dia sudah dikelilingi orang-orang berbaju hitam itu. Darah segar mengalir dari keningnya. Pandangannya mulai mengabur, tapi dia masih sadar. Masih ada sisa kekuatannya untuk bangkit berdiri, memandangi satu persatu orang-orang yang mengelilinginya. Jangan lupakan kalau dia pernah menjadi preman nomor wahidnya SMA Gajah Mada. Yang pernah mengalami hal semacam ini berkali-kali. Dulu hal semacam ini bukan masalah besar. Tapi entah kenapa malam ini dia merasa akan jadi akhir dari ceritanya. Dia tertawa, memegang kepalanya yang semakin sakit. Sesaat dia memikirkan asetnya yang sudah terkumpul selama ini, cukup kalau dia harus mendadak pensiun dini. Perlahan dia mengepalkan kedua tangan, memasang kuda-kuda. "Gue janji ini yang terakhir kali. Gue nggak akan berkelahi lagi setelah ini. Gue akan habisin lo, Saka Arya Putra atau Tuan Muda Yachio? Ah atau Bima Arya Putra? Kenapa banyak banget orang yang suka ganti nama, heran gue?" "Apa Bang Al nggak bisa lihat keadaannya sekarang? Siapa yang habisin siapa Bang? Tadi siang gue nggak bisa habisin lo di depan Kak Lintang, tapi sekarang gue pikir udah waktunya. Ada permintaan terakhir?" tanya Saka sembari mencabut paksa pecahan kaca yang menancap di lengannya tadi saat menyeret Ali keluar mobil. "Permintaan terakhir?" *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD