Pencarian

1534 Words
Tiga tahun lalu, di Jerman "Aku akan lakukan apapun untuk anda." Ucap Bima Arya Putra sungguh-sungguh. "Apapun?" Pria paruh baya itu hanya memandang Bima dengan tatapan mencemooh, sambil menyulut rokok untuk ketiga kalinya. Bagai dapat durian runtuh sepertinya dia, mungkin suatu saat anak di hadapannya ini akan berguna untuknya. Bima kembali mengangguk, "Buat saya hidup sebagai Saka Arya Putra, dan saya akan melakukan apapun yang anda mau." Itulah kesepakatan yang terjadi antara seorang bocah dengan ketua mafia tiga tahun lalu. Sudah nggak ada lagi yang namanya Bima Arya Putra. Dia sudah hidup sebagai Saka Arya Putra, yang akhirnya bisa kembali ke Indonesia, dan melihat kedua orang tuanya samasekali nggak menangisi kepergian saudara kembarnya itu. Bima, hanya berdiri mematung di dekapan ibunya, yang terus-terusan menciumi pucuk kepalanya, saat jenasah kembarannya dimasukkan dalam liang lahat. "Syukurlah kamu masih selamat, nak. Mama janji akan jagain kamu!" ucap sang mama saat itu, membuat kepalan tangan Bima semakin erat. Iya, nama Bima memang sudah mati, tapi dirinya masih ada. *** PLAKKK Bogeman keras mendarat di rahang Arya Putra. Eza kembali mencekal kerah kemejanya, belum puas memukuli kakak tirinya itu, meski mukanya sudah babak belur penuh luka. "Ini balesannya Bang? Setelah apa yang gue kasih ke kalian?" Eza menggeram kesal, "Ceritain semuanya Bang, sejak kapan lo tahu kalo Saka itu Bima? Dan lo cuma diem aja tanpa kasih kasih tahu gue, kalo dia bergabung dengan Yachio? b******k LO BANG!" PLAKK sekali lagi Eza meninju muka Arya. "Sudah Za, hentikan, Kak Arya bisa meninggal!" seru istri Arya berusaha melerai mereka berdua. Tapi Eza langsung menatapnya tajam, memberi peringatan. Dia keluarkan pistol dari saku celananya. Menarik pelatuk pistol itu, seketika hening ruang keluarga Arya Putra saat terdengar letusan dari revolver berkaliber 32 itu. Anak buah Arya yang sedari tadi berjaga, menurunkan pistol mereka. Eza nggak main-main, hanya sekali saja dia memerintahkan untuk menghancurkan keluarga ini, itu akan terjadi dalam hitungan menit. "Kalo ada yang berani selangkah saja mendekat, gue nggak akan segan-segan habisin kalian!" tandas Eza, kembali beralih ke kakak tirinya. "Maafin gue, Za. Gue nggak bermaksud menghianati keluarga kita. Ini karena, perusahaan induk yang gue pegang hampir bangkrut, dan cuma Saka yang bisa bantu gue." Ucap Arya terbata-bata dalam cekalan Eza. "Sejak kapan lo tahu kalo Saka yang sekarang ini adalah Bima?" "Sejak p*********n SMA Erlangga ke Gajah Mada. Anak kandung Yachio yang melakukan p*********n itu. Saka meminta bantuan untuk menangkapnya dengan gantinya, Yachio akan menopang perusahaan gue." "Mayat yang ditemukan di sungai itu, dia anak Yachio?" Arya mengangguk, Eza melepas cengkramannya setelah memberi sekali lagi satu tonjokan untuk Arya, "Itu karena lo udah nggak jujur sama gue, Bang. Karena ulah lo, nyawa Ali dalam bahaya. Kalo sampai terjadi apa-apa sama Ali, gue akan habisin lo dengan tangan gue sendiri. Dan satu hal lagi, Bima itu juga anak lo, nggak seharusnya lo banding-bandingin mereka berdua. Karena kegoblokan lo itu, lo kehilangan mereka berdua bang, gue harap lo nyesel setelah ini!" "Za, ..." panggil Bumi yang sedari tadi menemani Eza berdiri di sampingnya, menunjukkan ponsel Eza yang berdering menunjukkan nomor yang nggak dikenal. Eza meraih ponsel itu, mengangkatnya. Suara serak pria baruh baya itu terdengar, begitu sambungan telepon terhubung, "Biarkan Saka menyelesaikan urusannya dengan Gedung Tua. Come here, if you want to see your best friend." *** Waktu menunjukkan pukul 6.30 pagi. Murid-murid SMA Gajah Mada yang masih berada di luar sekolah, berlarian saling balap setelah mendengar bel dari lonceng besar dibunyikan. Terkadang mereka heran, kenapa sekolah swasta se elite Gajah Mada memakai lonceng tradisional bukannya bel listrik seperi sekolah lainnya? Astaga meski itu merepotkan sekali, petugas harus menutup telinganya saat memukul lonceng, tapi alhasil bunyi itu berhasil terdengar sampai luar sekolah. Bahkan tukang ojek yang ada di seberang jalan langsung terbangun dan bersiap jalan setiap terdengar lonceng berbunyi di jam pulang. Mereka akan segera standby menarik penumpang. Hari ini pun sama, semua berjalan seperti biasa. Hanya untuk beberapa murid, khususnya kaum hawa, mereka merasa sekolah jadi lebih sepi. Nggak ada teriakan-teriakan heboh Riko dan Iqbal yang selalu berdebat nggak henti. Nggak ada lagi pertandingan basket satu lawan satu antara Saka dengan murid yang ditunjuknya secara asal. Nggak ada lagi keributan di kelas Saka saat pelajaran matematika. Guru muda itu mengajar dengan suasana tenang, tanpa godaan dari Saka. Bahkan tiga bangku kosong di kelasnya, nggak ada yang berani menempati, meski si empunya bangku sedang nggak berada di tempatnya. Lintang menghela napas, menggeleng pada Elang yang sejak tadi mengikutinya. Memberitahu Elang kalau Saka nggak ada di kelas. Elang melarang Lintang untuk menghubungi Saka. Bahkan dia merampas ponsel Lintang dan mematikannya. Gantinya Elang menarik Lintang menuju ruangan yang diduga sebagai tempat Saka mengirim email itu untuknya. "Lab komputer?" Elang menaikkan kedua bahunya, dia menerobos masuk begitu saja meski di dalam sedang ada pelajaran. Menimbulkan kehebohan dan pastinya teriakan histeris dari para siswi yang ada di dalam. Lintang hanya bisa menggerutu mengikuti Elang, mencoba menarik kemeja Elang mengisyaratkannya untuk lebih sopan lagi. Tapi dasar saja Elang, memang sejak dulu nggak pernah tahu aturan, selalu seenaknya. "Anda siapa? Berani-beraninya masuk ke kelas saya!" bentak guru berkepala plontos itu sambil menaikkan kacamatanya yang melorot. Tanpa merasa beban sama sekali, seperti di film-film Elang mengeluarkan kartu namanya, menunjukkan siapa dirinya. Seketika membuat guru itu menelan ludahnya, mengangguk. "Ada yang bisa saya bantu?" kali ini nada bicara guru itu berubah, lebih sopan seolah Elang lah yang memiliki SMA Gajah Mada ini. Siapa yang nggak kenal Elang? Sejak dia bekerja sebagai konsultan gedung di sekolah ini, para guru juga beberapa murid akhirnya tahu siapa Elang itu, cucu salah satu mafia besar di negara ini. Ada beberapa yang sempat menentang kehadiran Elang saat itu. Tapi Ali nggak menggubrisnya. Ali bisa langsung mendepak Elang kalau dia berani sedikit saja membuat masalah di wilayah kekuasaannya, meski pada akhirnya hal itu sama sekali nggak terjadi. Elang memberikan secarik kertas berisi alamat ip yang mengiriminya email saat itu. Lantas menjelaskan bahwa itu berasal dari SMA Gajah Mada. "Komputer mana yang sering digunakan Saka?" tanya Elang. "DISINI!" seru salah satu siswi yang duduk di kursi paling pojok. Dengan sigap dia berdiri, cengar cengir melihat Elang bergegas menghampirinya diikuti Lintang. Elang segera mengecek komputer itu, tangannya dengan cepat mengetik entah apa, memunculkan deretan kata layaknya hacker handal. Butuh waktu sekitar tiga menit sampai Elang membanting mouse, berdecih. Wajahnya nampak kesal, sepertinya dia menemukan sesuatu yang berhubungan dengan Gedung Tua. Karena sekilas tadi Lintang sempat membaca ada tulisan Gedung Tua bahkan beberapa foto bangunan itu nampak muncul beberapa kali, lalu segera Elang hapus. Dia menoleh ke belakang mendapati hampir semua murid juga guru itu sudah mengerubunginya. Matanya beralih ke guru itu, "Bisa kalian nggak berdiri disini? Saya butuh ruang!" tandas Elang geram, seketika membuat kerumunan itu bubar, mereka memilih kembali ke kursi masing-masing, sedang murid yang tadi menunjukkan meja Saka hanya berdiri mematung di samping Elang, hanya beringsut mundur beberapa langkah. Mau duduk dimana dia kalau tempatnya dipakai Elang? "Maaf, maaf, tapi apa yang sebenarnya Pak Elang cari?" tanya guru itu gugup juga setelah Elang menghardiknya. "Bapak tahu dimana Saka? Kenapa Saka nggak masuk?" timpal Lintang, memegang bahu Elang. Tampaknya Lintang tahu kalau Elang sudah mulai emosi, dia berusaha menahan Elang. Jadi Lintang mengambil alih percakapannya dengan sang guru. Lintang nggak mau Elang lepas kendali dan mengamuk disini. "Saka? Saka, Riko, Iqbal, mereka sudah keluar dari SMA Gajah Mada sejak kemarin." "Keluar?" *** Gerimis mulai turun lagi. Sudah menjelang sore tapi Lintang dan Elang belum juga menemui titik terang. Dari Bumi pun belum ada kabar. Elang menghentikan mobilnya di persimpangan hutan menuju SMA Erlangga, dua kilometer dari lokasi Gedung Tua berada. Sebentar mereka beristirahat, Elang baru saja keluar membeli jagung rebus di pinggir jalan. "Kenapa lo b**o banget sih, El!" gumam Lintang menurunkan kaca mobil, mengeluarkan tangannya, membiarkan air hujan membasahi tangan mungilnya itu. Dan Elang yang mendengar itu tersedak seketika. Apa dia nggak salah dengar? Baru kali ini Lintang mengatainya b**o. Elang melotot tajam menuntut penjelasan. "Lin? Lo ngomong apa tadi?" "Lo itu mafia, kenapa nggak bisa nemuin bocah ingusan itu? Sehebat apa Yachio Dragon? Sehebat apa Gedung Tua, sampai mereka menyuruh bocah ingusan itu untuk mengambil alih? Ah, sehebat apa bocah ingusan itu sampai mafia sekelas Yachio Dragon menyuruhnya?" rentetan pertanyaan Lintang, membuat Elang tersenyum, meletakkan jagung rebusnya, nggak jadi memakannya. Hanya Lintang warga biasa yang samasekali nggak takut saat membahas mafia, bahkan pernah bertunangan dengan mafia. "Ceritanya panjang Lin. Dari awal Saka bukan bocah ingusan. Kalo dulu lo juga pernah ngatain gue psikopat, mungkin Saka lah psikopat yang asli. Saka Arya Putra itu bukan namanya." Terang Elang berhasil membuat Lintang menoleh, menatap sepenuhnya. Menarik tangannya masuk, Lintang mulai penasaran. "Dia Bima Arya Putra. Bima punya saudara kembar, yang tiga tahun lalu mengalami kecelakaan. Bima mengambil identitas Saka, dan mematikan dirinya sendiri. Sejak saat itulah dia jadi tangan kanan Yachio Dragon." "Sejak kapan lo tahu itu semua?" Gantian Elang yang menurunkan kaca mobil, kembali mengambil jagungnya. Perut Elang sepertinya benar-benar lapar. Sudah dua hari dia belum makan sama sekali. Elang enggan menjawab pertanyaan Lintang itu. Dia nggak mau Lintang tahu yang sebenarnya terjadi, nggak untuk saat ini. "Terakhir lo bertemu Saka dimana, Lin? Mungkin itu bisa jadi petunjuk." Elang mengalihkan pembicaraan. Untung saja Lintang nggak bertanya lebih lanjut, dia malah menepuk keningnya sendiri karena telah melupakan sesuatu. "Buruan, ada satu tempat. Kita kesana sekarang!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD