Pengorbanan

1660 Words
Kedalaman dari goa Gedung Tua mencapai sekitar 500 meter, dengan beberapa lorong yang saling terhubung. Tapi ada satu lorong rahasia yang menghubungkan antara Gedung Tua dengan Gedung Sekolah tempat persembunyian Saka. Diameter lorong itu cukup lebar untuk dilalui dua orang tanpa harus kesusahan, hanya saja jalan sepanjang lorong itu berlumpur karena memang jarang dijamah. Dan banyak reruntuhan bebatuan berada di sepanjang lorong. Tempatnya gelap tanpa penerangan seperti lorong lainnya yang dibangun keluarga Erlangga. Ujung dari lorong ini adalah pintu belakang Gedung Tua yang bisa langsung menuju hutan. Dan disinilah saat ini Saka berada, melarikan diri dari kejaran Ali dengan melompat ke sumur yang notabene adalah jalan pintas untuk keluar dari sana. Saka terus berlari, meski belum pernah melewatinya, dia sudah memperkirakan akan berakhir dimana ujung lorong ini. Dia hanya terus merangsek maju dengan beberapa kali terjatuh karena gelap. Tinggal beberapa meter lagi Saka sampai di ujung, tapi langkahnya terhenti seketika begitu mendengar suara letusan pistol menghantam langit-langit goa, membuat reruntuhan di sektiarnya. Derap langkah sepatu bercampur dengan genangan lumpur terdengar begitu jelas dari belakang Saka. Sepertinya ini akan berakhir sedikit lama dari dugaan Saka. Perlahan Saka berbalik, samar-samar dia melihat seseorang sudah berdiri di hadapannya, Ali Ferdiansyah. Ingatan Ali begitu bagus, hanya lima belas menit mempelajari cetak biru denah Gedung Tua, dia dengan mudah mengetahui dimana letak pintu rahasianya. Beberapa saat setelah Saka kabur, Ali langsung tahu kemana Saka pergi. Nggak butuh waktu lama untuk mengejarnya, karena Ali hanya perlu kembali melewati pintu rahasia penghubung Gedung Tua dengan Gedung Sekolah dan menuju lorong lain yang lebih mungkin dekat dengan Saka. Ali mengarahkan senter ponselnya ke arah Saka. Terlihat wajah Saka yang sudah lusuh dengan beberapa luka akibat dia terjatuh beberapa kali saat melewati lorong ini. "Mau berapa lama lagi? Ini udah berakhir, Ka." Suara Ali menggema. "Kenapa lo harus kejar gue Bang, yang lo mau Kak Lintang aman kan? Gue nggak akan sakiti dia." "Lo hampir tembak dia." "Jadi apa mau lo, Bang?" Mau Ali? Jelas, Ali mau semua ini berakhir. Ali mau Lintang aman, nggak ada lagi bahaya yang mendatanginya. Ali mau Lintang bisa hidup normal seperti yang lain. Dan sesaat Ali mau Saka lenyap dari dunia ini untuk selamanya. Ali tersenyum kesal, mengusap mukanya. Dia benar-benar sudah muak dengan semua drama ini. Ali bukannya malaikat yang bisa memaafkan seseorang begitu saja. Dia bukan pria baik yang mau percaya dengan orang yang sudah menipunya. Ali nggak sesempurna wajahnya, sifat dinginnya memang asli, itulah kenapa dia jadi preman nomor wahidnya Gajah Mada. Nggak ada yang namanya preman punya hati malaikat. Tetapi kalau menuruti keinginannya saat ini, dia harusnya sudah menembak Saka di tempat, itulah jalan pintas termudah menghentikan kegilaan ini. Tapi Ali hanya menghela napasnya, mendekat ke arah Saka setelah menaruh pistol yang ia bawa di bawah. "Serahin diri lo, Ka. Ini belum terlambat." Saka mengangguk, mengerti apa yang Ali maksud. Entah apa yang ada di pikirannya, jelas kali ini lagi-lagi Ali tertipu. Saka menunjukkan raut muka menyesal, mengeluarkan surat-surat yang tadi Lintang tandatangani dari balik jaket yang ia kenakan lalu mengulurkannya pada Ali. Inilah alasan kenapa preman nggak seharusnya mempercayai penipu. Inilah alasan kenapa Ali selalu bersifat dingin dengan semuanya, karena di saat dia mulai kembali percaya, di saat dia menggunakan hatinya, di saat itulah masalah baru muncul lagi. Ali sudah mematikan lampu senter dari ponselnya, nggak ada lagi penerangan. Dan itu jadi kesempatan Saka mengeluarkan pistol lain yang ada di saku jaketnya untuk menembak kaki kanan Ali. Ali terjatuh dalam sekali tembakan, tepat saat mobil yang Saka tunggu sudah ada di mulut lorong. "Maaf, Bang. Nggak seharusnya lo goyah. Sekali lo nggak percaya sama gue, seharusnya jangan berubah." Ucap Saka sebelum naik mobil meninggalkan Ali. "b******k!" Ali mengumpat, berusaha berdiri, jelas nggak mungkin dia lari mengejar mobil itu. Ali menekan nomor yang ada di ponselnya, dan sekali lagi dia merutuk karena mendadak ponselnya mati, lowbat. Dia akan terus kesetanan seperti itu kalau nggak ada mobil yang tiba-tiba juga berhenti tepat di depannya, kaca mobil itu menurun, menunjukkan muka tengil nggak berdosa. Ali benci mengakuinya, kalau dia begitu lega mobil itu datang tepat waktu. Dan segera melaju mengikuti Saka setelah Ali masuk ke dalam. Sang sopir tanpa merasa bersalah menyuruh Ali untuk mengenakan seatbelt nya. "Lo nggak pernah dengerin gue." Ucap Ali tertahan karena rasa sakit di kakinya, darah terus keluar. "Sejak kapan seorang Eza dengerin omongan lo, Al. Nih, lo harus hajar itu anak sebelum tepar kan?" Eza melempar robekan kain yang entah bagaimana bisa ada di dalam mobilnya, mungkin nanti dia akan menanyai istrinya. Dia menyuruh Ali untuk mengikat kakinya, menutup luka kakinya yang terus mengeluarkan darah. "Ai tahu?"  Eza melirik sekilas, kembali fokus dengan target yang ada di depannya. Jarak mobil mereka nggak terlalu jauh. Kalau sesuai dugaan Eza sanggup menghentikannya. Jauh di arah barat hutan cuma ada jurang, nggak mungkin kan Saka mau bunuh diri? "Tahu, dia paling tahu tingkah abangnya." Ali melotot seketika, ingin sekali memukul kepala sahabatnya itu. Tapi tangannya urung, gantinya Ali cuma mengepal meninju dasbor yang ada di hadapannya. "Gue nggak pernah kasih tahu, Al. Kemarin Ai datang ke rumah lo, dan lihat rekaman cctv di rumah lo. Dan see? Itulah kenapa gue ada disini. Dia nggak mau abangnya kenapa-kenapa karena cewek itu." Mobil Eza hampir saja tergelincir, hujan membuat jalanan hutan yang sudah sulit menjadi semakin berbahaya saja. Eza belum juga bisa menghentikan mobil yang ditumpangi Saka. Mobil Saka terus melaju tak beraturan, sesekali juga hampir terperosok tapi berhasil dikendalikan. Tapi inilah keahlian seorang Eza pemilik salah satu sirkuit balap di Bandung, itulah sebabnya meski kesal Ali membiarkan Eza mengendarainya. Eza lah raja jalanan yang sebenarnya. Ada celah sedikit di sebelah kanan saat mereka memasuki jalan menanjak tajam. Eza merangsek maju dengan kecapatan tinggi setelah menyuruh Ali untuk berpegangan kuat, lalu membanting mobilnya ke kiri, menyuruh Ali membuka kaca mobil, "Sekarang!" perintahnya, dan seketika nggak butuh waktu lama mobil yang ditumpangi Saka terpelanting begitu Ali menembak roda depan sebelah kanan mobil Saka. Eza menginjak rem dalam, suara decit roda, menghentikan mobil beberapa senti sebelum jatuh ke jurang. Sungguh, hampir saja mobil Eza terperosok. Tanpa menunggu waktu lama Eza dan Ali segera turun, mereka menyeret Saka dan pengemudi mobilnya yang ternyata adalah Iqbal untuk keluar sebelum mobil yang mereka tumpangi meledak. "Za," panggil Ali saat menyeret Saka yang sudah terkapar. "Hem, " "Lo nggak datang sendiri kan kesini? Lo bawa bantuan kan?" Ragu-ragu Ali melihat sekitar, menyadari kalau ternyata mereka berada di tengah hutan, dan nggak ada siapapun. Ini bukan di film-film yang dalam hitungan menit setelah menangkap musuh langsung happy ending kan? Ali menelan ludah, menyadari bahwa untuk beberapa detik yang lalu dia seperti orang t***l. Sontak Eza tertawa, membantu Ali memindahkan mereka ke tepi jalan. Mobil sudah terbakar kepulan asap pasti terlihat dari jauh. Bantuan akan segera datang. "Gue bukan malaikat, Al. Gue manusia biasa juga, gue juga butuh bantuan buat tolong lo. Wait for 5 minutes." Tembakan Ali pada satu roda mobil yang mereka tumpangi membuatnya hilang kendali dan terbalik. Beruntung Saka dan Iqbal masih bisa terselamatkan mesti tubuh mereka saat ini penuh luka. Sekali lagi, Ali menggunakan hatinya. Seharusnya dia biarkan saja Saka meledak bersama mobil sialan itu, dan masalah akan benar-benar berakhir, tapi Ali nggak melakukannya. Dia berjongkok menatap dingin Saka yang mendadak memberinya pertanyaan. "Kenapa lo nggak bunuh gue, Bang?" Saat ini sudah jam empat pagi, matahari perlahan menampakkan dirinya di tengah-tengah awan mendung. Hawa dingin semakin menyeruak di tengah gerimis yang nggak kunjung reda sejak semalam. Ali merasa ini seperti perjalanan yang panjang di waktu yang singkat.  "Kenapa gue harus bunuh lo?" Eza yang mendengar itu hanya bisa tersenyum, dia menepuk bahu Ali seolah ingin memberinya semangat. Eza lah yang paling tahu keadaan Ali. Eza mengerti kenapa Ali seperti itu. "Karena Ali sama kayak lo, Ka. Dia mirip sama lo, asal lo tahu itu." Belum Saka menjawab, beberapa mobil polisi diikuti mobil milik Wahyu dan ambulans telah sampai. Pagi ini semuanya benar-benar akan berakhir. Atas perintah Wahyu, komplotan Yachio yang berusaha kabur ke Singapura berhasil diringkus polisi. Semua tempat kejadian sudah diamankan. Sebelum menuju markas persembunyian Saka, Wahyu sudah memberi polisi alat pelacak untuk menunjukkan keberadaannya.  Saka dan Iqbal dibantu polisi menuju mobil ambulans yang berada di sebelah mobil Wahyu, dimana Lintang tengah berdiri disana. Lintang memang sengaja menunggu Saka, ada yang ingin dia sampaikan.  "Saka ...," panggil Lintang. Nggak pernah sedetik pun Lintang benar-benar membenci Saka. Buatnya, Saka tetap bocah ingusan yang ia lihat di gedung belakang sekolah SMA Gajah Mada. Lintang sangat berharap sekali, Saka bisa kembali seperti dulu. "Lo takut sama gue, Kak?" tanya Saka, bibirnya tersenyum miris, kenyataan orang yang dia sayangi takut pada dirinya, itu membuatnya terluka. Tapi Lintang menggeleng, balas tersenyum. "Gue percaya ada kesempatan kedua buat lo, Ka. Gue mau bertemu Saka yang dulu. Lo cowok baik, Ka. Gue tahu itu." "Gue hampir bunuh lo, Kak." "Lo nggak akan lakuin itu, gue tahu itu." "Kenapa? Apa karena gue mengidap penyakit jiwa? Lo kasihan sama gue, Kak?" Lagi-lagi Lintang menggeleng, air matanya kembali membasahi pipi. Kali ini bukan karena takut Saka akan mengancam nyawanya. Dia menyesal karena sebagian besar perbuatan Saka ini terjadi karena dirinya. Iya, Lintang menganggap ini semua terjadi karena keberadaannya. "Gue nggak pernah benci sama lo, Ka. Lo harus percaya itu, lo harus kuat!" Apa perbedaan antara mengasihani dengan peduli? Bagaimana kalau kepedulian Lintang kali ini disalah artikan Saka sebagai rasa mengasihani karena penyakit yang dideritanya? Apa yang terjadi jika emosi Saka kembali terpancing, dan lagi-lagi karena Lintang. Bagaimana kalau pada akhirnya Saka tetap nggak memahami hal itu?  "Apa lo masih tetap nggak akan benci gue, setelah gue melakukan ini, Kak?" tanya Saka, seringainya kembali muncul. Polisi membantu Iqbal untuk naik ke mobil ambulans, membuat Saka sedikit leluasa untuk balik badan menatap Ali yang tengah berbincang dengan Eza dan Wahyu. Pistol yang Saka bawa, luput dari pengawasan polisi tapi nggak dengan Lintang. "Lo mau ngapain, Ka?" tanya Lintang ragu, was-was menatap pistol yang ada di tangan Saka. "Cuma butuh beberapa detik, Kak. Apa yang bakal lo lakukan? Apa lo tetap nggak akan benci sama gue?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD