Taktik 2

2307 Words
"KENAPA LO NGGAK BILANG?!" Bentak Ali murka membanting pintu kamar utamanya sendiri mendapati Lintang sudah nggak ada di rumah. Langkahnya memburu keluar rumah. Ali pikir Lintang akan mendengarnya untuk tetap berada di dalam kamar. Eza yang tahu sahabatnya murka itu cuma bisa menggaruk tekuk lehernya ikut masuk dalam mobil Bumi, tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kan gue tadi baru bilang!" "Lo nggak bilang kalo Lintang tahu ledakan mobil gue b**o!" "Gue fokus nolongin lo b**o! Lo yang utama buat gue, bukan cewek itu!" Ali meraup mukanya kasar, menyuruh Bumi untuk segera menjalankan mobilnya menuju Gedung Tua. Kalau apa yang diucapkan Tuan Yachio benar, berarti Lintang sedang dalam bahaya, kemungkinan besar Lintang sudah diculik Saka. Lantas dimana Elang? Ali menoleh ke arah Bumi yang tengah fokus menyetir nggak bicara sama sekali sejak bertemu di gudang Yachio Dragon. "Elang kemana? Kalo Lintang datang ke Gedung Tua, berarti dia sama Elang kan?" "Mungkin." Jawab Bumi pendek. Mobil belok ke jalanan hutan menuju gedung tua, kurang 5 km lagi mereka sampai. "Dimana Elang sekarang?" "Ponselnya nggak aktif sejak kemarin, Lintang juga. Mobil Elang pergi sejak kemarin dan belum balik lagi. Penjaga lihat dia pergi sama Lintang." "Lo nggak pasang pelacak gitu di mobilnya?" Eza menimpali kali ini, tengah duduk di belakang sambil mengecek dokumen kantornya. Bagaimana pun juga dia harus tetap bekerja kan? Multitasking banget ya calon bapak muda itu? Bumi hanya meliriknya sekilas dari kaca spion mobil. "Terakhir gue lacak mobilnya ada di depan gedung sekolah tua yang pernah dibangun Kakek Erlangga, tapi pas gue suruh penjaga kesana mobil itu udah nggak ada, bahkan alat pelacak yang gue pasang mati." Kurang satu kilometer lagi mereka sampai, Ali membuka kaca mobil melongok keluar. Langit mendung, pasti sebentar lagi hujan. Apa yang sebenarnya dia lakukan selama ini. Kalau tahu masalahnya akan jadi serumit ini, dia akan memilih untuk nggak bertemu Lintang lagi. Ali merasa seolah semua karenanya, kalau saja Lintang nggak datang ke sekolah, pasti dia nggak akan bertemu Saka. "Jadi lo diem aja tahu Bos lo hilang. Bukannya kalian mafia? Lo nggak berniat melakukan pencarian gitu?" Sahut Eza lagi yang sumpah menyebalkan sekali. Entah apa yang membuat Eza sebenci itu dengan keluarga Erlangga. Mungkin karena dari dulu mereka musuhan? Entahlah emosi Eza memang selalu menggebu. Ali yang tahu tabiat temannya itu, hanya menoleh ke belakang sekilas, memberi Eza peringatan untuk diam. "Elang menyuruh kami menunggu. Kali ini tujuan utama Elang adalah nyawa Lintang selamat. Borderline personality disorder itu penyakit yang diderita Saka Arya Putra. Elang nggak mau mengambil resiko dengan mengerahkan anak buahnya untuk menangkap Saka. Elang udah berusaha menghentikan Lintang, but you know why? Elang kalah telak dari lo, Al." Jelas Bumi menghentikan mobilnya di depan Gedung Tua. Iya, mereka telah sampai. Sesaat mereka saling diam, bahkan Eza sampai melongo membalikkan tabletnya, terkejut bukan main ternyata Bumi bisa ngomong sepanjang itu. "Maksud lo apa ngomong gitu?" tanya Ali nggak mengerti. Bumi tersenyum tipis, merasa lucu dengan pertanyaan Ali. Gimana bisa seorang mantan preman bahkan nggak tahu? Bumi menatap Ali masih dengan senyumnya, dia berpikir sepertinya benar memang Ali itu laki-laki yang nggak punya hati. Dia kaku seperti robot. "Lintang yang ngotot menemui Saka, karena dia khawatir sama lo. Dia mau tolong lo. Gimana bisa Elang menghentikan Lintang saat yang ada di pikirannya cuma lo." Benar saja, hujan turun begitu derasnya. Ali sampai heran kenapa setiap ada kejadian penting di Gedung Tua, hujan selalu turun. Perlahan Ali melepas seat belt nya, nggak menanggapi ucapan Bumi. Dia turun dari mobil begitu saja masuk ke dalam. Dan seperti biasa, Eza mengikutinya. Tapi langkahnya terhenti saat mendadak Ali balik badan. "Udah gue bilang lo nggak boleh turun ke lapangan lagi." Ujar Ali datar. "Tapi gue harus jag¾" "Lo lupa gue siapa? Sampai disini biar gue yang turun tangan. Lo cukup pulang ke rumah dan bilang ke Ai, gue baik-baik saja." Eza masih nggak terima, dia ingin mengelak tapi mulutnya mendadak bungkam saat pintu utama Gedung Tua terbuka. Sudah ada Wahyu disana berdiri di samping Ali, merangkul bahu Ali, tersenyum lebar. "Gue juga preman, gue lebih tua dari kalian, lo nggak bisa percaya gue bisa jaga Ali?" suara Wahyu menginterupsi keterpukauan Eza. Eza terkesiap seketika sadar dengan apa yang tengah terjadi. Lagi-lagi Wahyu melakukannya tanpa sepengetahuan Eza. "Gue punya banyak temen Za, jangan lo pikir gue cuma punya lo. Dan jangan lo pikir gue bakal mengatasinya sendiri. Gue bukan malaikat, gue juga manusia butuh bantuan." Ali menimpali, kali ini senyumnya merekah. Perlahan kekhawatirannya luntur, dia nggak sendiri. Ada banyak yang mendukungnya. Ali yakin dia bisa menyelamatkan Lintang. "Kalian, bener bener ..." "Bantuan lo cukup sampai disini. Selanjutnya biar kita yang tangani. Siap Al?" Kali ini Bumi ikut menimpali, mengisyaratkan penjaganya untuk mengantar Eza pulang. Belum Eza menjawab dua pengaja Gedung Tua sudah berdiri di depannya, meminta Eza untuk naik mobil kembali. Meski mukanya kesal, Eza tetap balik badan dan kembali masuk mobil. Langkahnya berhenti sebentar sebelum membuka pintu mobil, menoleh ke arah dua sahabatnya itu. Ada gurat kesedihan di mata Ali, ini sama persis seperti dulu waktu mereka tengah berusaha menyelamatkan Aisyah, kasus penculikan lagi. Bukannya nggak percaya Ali ataupun Wahyu, tapi entah kenapa firasat Eza mengatakan masalah ini nggak akan berakhir dengan baik. "Gue kasih kalian waktu sampai besok malam. Lebih dari itu gue akan turun tangan." ucap Eza sebelum meninggalkan Gedung Tua. "Thanks Za!" *** Gedung Tua didirikan sekitar 50 tahun lalu. Bangunan ini terletak di dalam hutan, lebih tepatnya berada di dalam mulut goa yang tersembunyi. Nggak banyak warga yang tahu keberadaannya. Hanya mereka yang bekerja disana yang bisa memasuki Gedung Tua. Karena sejak selesainya pembangunan, Kakek Erlangga begitu ketat dengan keamanan. Luas bangunannya sendiri mencapai 400 meter persegi dengan tinggi sekitar 120 meter. Dan terdiri dari empat lantai. Ruangan utamanya dipakai untuk arena tinju. Sedangkan beberapa ruang lain, dulunya dipakai untuk berbagai transaksi bisnis keluarga Erlangga baik legal maupun ilegal. Karena dibangun dimulut goa, banyak lorong-lorong tersembunyi disana. Bahkan Kakek Erlangga merancang desain bangunannya sendiri. Salah satu ruang terpenting yang keamanannya dijaga sangat ketat adalah ruang bawah tanah dimana semua brankas aset milik keluarga Erlangga disimpan. Ada puluhan brankas yang tersimpan disana. Selain memakai sensor iris mata untuk membuka pintu ruangan, di dalamnya juga terdapat laser ruangan. Dan laser ruangan itu nggak pernah dimatikan selama 24 jam. Hanya Kakek Erlangga, Elang dan Bumi yang bisa membuka ruangan itu. Jadi kemungkinan kecil, orang bisa keluar hidup-hidup dari sana tanpa bantuan ketiga orang itu. Di cctv pun nggak terekam seseorang yang masuk ke ruangan. Kalau mencurigai rekaman cctv yang mungkin sudah dihapus untuk menghilangkan jejak, itu juga mustahil. Karena rekaman cctv nggak ada yang hilang samasekali ataupun rusak. Alarm tanda ruangan dibobol pun nggak berbunyi. "Orang itu nggak pernah masuk ataupun keluar dari ruangan ini." Ali menarik kesimpulan. Saat ini mereka tengah berada di ruangan brankas. Ali lah yang mengajak mereka. Dia sudah punya rencana. "Lo bawa yang gue minta?" tanya Ali menatap Bumi yang sudah mengangguk, memaparkan cetak biru denah Gedung Tua. "Udah dapat kabar dari Miko?" kali ini Ali menanyai Wahyu. Wahyu mengangguk mantap, menunjukkan tabletnya. Beberapa jam lalu sebelum Ali datang, Miko sudah mengiriminya pesan email. "Gedung sekolah yang lo kasih tahu ke gue, beneran itu markas Saka. Ada ruang bawah tanah disana. Tapi karena sekarang gedung itu sudah dirobohkan, kita nggak bisa masuk kesana. Butuh waktu lama buat menyingkirkan material runtuhannya." Jelas Wahyu berhenti sejenak, "Terakhir Miko kasih kabar ada dua orang yang diseret masuk, dia belum tahu siapa." "Pasti Elang sama Lintang." Bumi menimpali. Ali kembali memperhatikan cetak biru itu mencari sesuatu, senyum seketika terbit saat menemukan apa yang dia cari. Ali mengetuk area yang salah satu area pada cetak biru denah Gedung Tua. "Disini, ini denah brankasnya kan?" tanyanya tanpa meminta jawaban, dia kembali melihat-lihat sekitar ruangan. Ada sekitar 50 brankas yang disusun memanjang di ketiga sisi dinding. Ali mengelilinginya satu persatu, mengetuk setiap brankas. Sampai diujung, langkahnya terhenti. Beralih menatap Wahyu dan Bumi, mengisyaratkan mereka untuk mendekat. Dan sepertinya mereka tahu apa maksud Ali. Bumi mengerutkan kening nggak percaya, bagaimana dia bisa nggak tahu tentang hal ini. "Nggak mungkin." Gumam Bumi ikut mengetuk pintu brankas paling ujung dekat pintu utama ruangan. "Itu faktanya B," Ali menggidikkan bahu kembali ke meja tempat cetak biru denah Gedung Tua. "Jangan bilang kalo ..." ucap Wahyu terpotong, Ali mengangguk mengiyakan. Baginya ini juga kali pertama dia melihat keseluruhan denah Gedung Tua. Bahkan meski Ali sempat menjadi pemilik Gedung Tua, dia nggak pernah pergi ke ruangan lain, selain ruang pribadi kakek Erlangga. Gedung ini terlalu besar untuk ditelusuri, dan memang Ali nggak pernah berniat untuk melakukannya. Ali kembali menunjuk denah bagian ruang bawah tanah, "Lo lihat ini, ini simbol pintu kan? And see!" Ali beralih menunjuk pintu brankas yang ada di ujung tadi. "Gedung tua ini terhubung dengan Gedung Sekolah yang Kakek Erlangga bangun. Beberapa lorong di goa mungkin dimanfaatkan Kakek untuk menghubungkan keduanya, untuk tempat pertahanan Keluarga Erlangga." "Hal yang nggak Elang tahu, tapi Saka tahu?" tanya Bumi penasaran. "Yang bantu Kakek membangun ruang bawah tanah ini Yachio kan? Bukan Saka, tapi putra kandung Yachio. Putra Kandung Yachio yang mengambil brankas itu dari sini." Lanjut Ali menjelaskan. "Dan Saka tahu tentang hilangnya brankas itu, dia tahu kalau putra kandung Yachio lah pelakunya, itu yang membuat Saka membunuhnya." Kali ini Wahyu ikut menyimpulkan. "Lalu Saka mengambil alih markas. Kalau Saka tahu tempat ini terhubung dengan Gedung Sekolah, pasti dia nggak akan tinggal diam. Dia belum tahu soal ini. Al, Bum, gue punya ide." *** "Gue udah bilang kan gue akan berhenti setelah semuanya selesai. Tapi ini belum selesai Saka, gue harus berkelahi sekali lagi. Jangan lupa, gue senior lo, mantan preman nomor wahid SMA Gajah Mada. Lo bukan tandingan gue, bocah ingusan." Ali berdiri tepat di belakang Saka, sudah mengarahkan senapannya tepat di belakang kepala Saka. Seketika semua terhenyak. Dengan cepat sebelum anak buah Saka menyadari keberadaan mereka, Wahyu, Bumi, Miko, Angga, Aji dan Marcel sudah serentak juga mengarahkan senapannya ke lawan. "Bang Al ...," suara Lintang menggema ke seluruh penjuru ruang bawah tanah ini. Tangannya kembali lemas, matanya berkaca-kaca, degup jantungnya semakin nggak karuan. Antara takut juga bahagia karena ternyata Ali masih hidup. Dan sekarang Ali tengah menyelamatkannya. "Hai, Lin. Are you okay?" Ali menggeser sedikit tubuhnya untuk bisa melihat Lintang yang berdiri di depan Saka, pelan Ali melepas masker yang ia kenakan. Senyum tipisnya terbit, membuat Lintang semakin nggak bisa menahan tangisnya. Lintang mengangguk. "Gue nggak terlambat?" tanya Ali lagi. Kekhawatirannya sekali lagi meluap, dia masih bisa melihat gadis itu. Ali pastikan untuk membawa Lintang keluar dari sini. Lintang menggeleng, tangisnya semakin pecah. Sesenggukan dia, buru-buru Lintang mengusap sudut matanya. "Gimana bisa Bang?" Akhirnya Saka menginterupsi juga, tangannya sudah turun, pistol yang Saka bawa sudah nggak mengarah lagi ke Lintang. Melihat itu, Ali segera merampas paksa pistol itu, memasukkannya ke saku celana, dan mengisyaratkan Lintang untuk menghampirinya. "Gue bukan bos mereka, jadi suruh anak buah lo untuk nggak melakukan gerakan yang bisa membahayakan nyawa bosnya. Bisa itu dulu lo turuti?" Helaan napas Saka terdengar berat, nggak ada pilihan lain, dia hanya menuruti Ali. Menyuruh semua anak buahnya untuk menurunkan senjata. Perlahan Saka memutar tubuhnya menghadap Ali, yang di belakangnya sudah ada Lintang disana. Berdiri memegangi ujung baju Ali, langsung menunduk saat Saka menatap matanya. Saka tersenyum kecut, semenakutkannya kah dia, sampai Lintang nggak mau menatapnya? Ah bodoh sekali Saka, dia tersadar lantas mengumpat. Gimana nggak takut kalau beberapa detik yang lalu Lintang hampir tewas di tangannya. "Sebelum jadi penjahat kelas kakap, seharusnya lo belajar dulu dari gue, Ka. Apa lo nggak tahu kalau ruangan ini terhubung dengan ruang bawah tanah milik Gedung Tua?" Tepat sekali, Saka terkejut. Dia samasekali nggak mengetahuinya. Dia nggak tahu bagaimana carannya anak kandung Yachio bisa mendapatkan tempat ini dan juga brankas itu. Tangannya mengepal, geram dia, rahangnya mengatup keras. Suasana hati Saka semakin buruk, "Jadi gue kena tipu lagi?" "Lo bisa tanya sendiri ke orangnya, hemm ..." Ali melempar jauh senapannya ke sembarang arah. Gantinya dia memakai pistol milik Saka yang tadi dia ambil sembari tangannya meraih tangan Lintang yang sejak tadi menggenggam ujung bajunya. "Maksud gue lo bisa tanya ke anak kandung Yachio. Gimana?" "Lo mau tembak gue Bang?" tanya Saka balik, raut muka yang tadinya tegang mendadak berubah santai, kedua ujung bibirnya terangkat, dengan sorot matanya yang sulit diartikan. Nggak khawatir samasekali saat pistol yang dibawa Ali mengarah kepadanya. "Iya, kalo nggak ada pilihan." "Apa tawaran lo, Bang?" "Serahin diri lo, Ka. Ini belum terlambat." Sejak kecil dunia Saka sudah suram. Nggak ada tangan hangat yang menggandengnya, nggak ada pelukan hangat yang menenangkannya. Seolah dunia setuju untuk menjatuhkannya berkali-kali. Meski dia berusaha untuk menjadi baik pun, itu seperti tindakan sia-sia. Nggak ada satu pun orang yang melihatnya sebagai manusia. Semua orang menganggapnya rendah, begitu topengnya terlepas. Saka tertawa, tawanya semakin kencang memenuhi ruangan membuat Ali semakin mengeratkan genggamannya pada Lintang. "Sial banget sih, padahal kurang dikit lagi, eh lo main muncul aja sih, Bang. Gimana ya?" Saka merapatkan bibirnya, menaruh kedua tangannya ke belakang seolah sedang berpikir, menimang-nimang apa yang seharusnya dia lakukan. "Gue nggak akan segan buat tembak lo, Ka. Lo kenal gue." Ali memperingatkan lagi. Saka hanya mengangguk, tersenyum lebar lalu menelengkan kepalanya demi melihat Lintang yang berdiri di belakang Ali, "Kak, lo nggak akan tinggalin gue kan?" Nggak ada jawaban, Lintang tetap bungkam. Suasana semakin menegang meski Saka hanya terlihat main-main. Ali cs samasekali nggak mengendurkan kewaspadaan. "Hemmm, gini Bang. Kak Lintang kan udah tanda tangan pengalihan kepemilikan Gedung Tua, dan gue nggak punya waktu banyak, ah iya hampir lupa. Gue juga udah masuk jebakan batman ini sih, mestinya gue nyerah aja kan? Lo juga pasti bakal tembak mati gue. Jadi oke fine gue nyerah, tapi sebelum itu gue mau kasih lo hadiah dulu boleh?" lagi-lagi Saka tersenyum lebar, mengerlingkan matanya. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, dan dengan sangat cepat Saka melemparkanya ke arah kanan. Dalam hitungan detik kepulan asap putih memenuhi ruang bawah tanah. "Tangkap gue dulu, baru lo bisa tembak gue, Bang." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD