Pamit

1673 Words
Sudah hampir satu jam Ali berdiri, mengamati Tiara yang juga tetap duduk di tepi jendela kamar rawat inapnya. Setahun diculik pasti mengganggu jiwanya. Apalagi dia masih seorang murid. Nggak ada yang tahu apa yang terjadi dengannya selama penculikan. Sejak dibawa ke rumah sakit, dia hanya diam, nggak merespon pertanyaan dari dokter maupun polisi. Tapi setiap mendengar nama Yachio Dragon disebut, Tiara langsung teriak histeris. "Itu semacam trauma?" tanya Eza memecah keheningan, membawa dua cangkir kopi dari kantin rumah sakit. "Setahun lalu, apa ada hal yang lo belum kasih tahu ke gue? Tentang Saka yang melihat Tiara?" tanya Ali balik menghiraukan pertanyaan Eza. Eza nampak berpikir, lantas menggeleng. Dia rasa yang Saka ceritakan sudah ia beritahukan semua pada Ali. "Lo percaya?" tanya Ali lagi. Eza menaikkan alisnya sebelah, merasa ada yang aneh dengan pertanyaan Ali, "Maksud lo?" "Ada bukti semua ucapan Saka itu?" "Saka masuk rumah sakit, ditangkap polisi, lo tahu itu semua." Ali mengusap mukanya gusar, yang dikatakan Eza benar. Eza lah yang meminta bantuan Ali untuk membebaskan Saka. Bahkan Ali juga ikut memeriksa kondisi Saka saat itu di rumah sakit. "Za, gimana caranya kita tahu siapa tuan muda yachio itu? Lo yakin yang bantu Kakek Erlangga membuat ruang bawah tanah itu, Yachio Dragon?" "Brankas itu jelas buatan Yachio Dragon, sepertinya dulu ada perjanjian antara Erlangga dengan mereka. Dan pihak Erlangga membatalkannya sepihak. So, mungkin mereka marah, next berusaha merebut Gedung Tua dari Erlangga." Eza menarik kesimpulannya. Tadi dia menghubungi Ali untuk memberitahu bahwa sudah menemukan siapa yang membuat brankas itu. Tapi Ali malah mengajaknya bertemu di rumah sakit. Eza hanya menggeleng, nggak tahu jalan pikiran sahabatnya itu. Apa ada hubungan antara Yachio Dragon dengan Tiara? Bahkan Saka, keponakannya? "Yachio Dragon dengan mudah bebas dari tuduhan penculikan Tiara. Bahkan mereka mengkambing hitamkan mafia kelas teri, lo tahu Za ini salah. Tapi gimana caranya menembus Yachio Dragon. Keberadaan markas besarnya aja lo nggak tahu. Ah, dan Elang pun yang pernah menyerang mereka juga nggak tahu." "Wait, gue perlu tanya satu hal sama lo." Ali hanya menoleh. "Kenapa lo meragukan Saka?" Sejenak Ali diam, menghela napasnya. Memasukkan tangan kirinya ke saku celana, kembali menatap Tiara yang sekarang sudah pindah ke ranjang pasien, memainkan ujung rambutnya sambil menatap langit-langit kamar. "Gue boleh minta bantuan lagi, Za?" "Apa?" "Gue butuh tahu, apa yang dilakukan Saka selama di Jerman saat itu sampai kembali kesini." "Lo serius meragukan dia?" tanya Eza semakin nggak percaya. Memang dia nggak terlalu sering bertemu Saka, tapi Saka itu keluarganya. Kalau Ali mencurigai Saka itu artinya dia juga mencurigai dirinya kan? Ali yang bisa membaca raut wajah Eza, hanya terkekeh, menepuk bahu Eza pelan, "Tenang aja, gue percaya sama lo, Za. Kalo gue nggak percaya sama lo, gila aja gue nikahin Ai sama musuh? Please, selidiki aja ya, bisa kan?" Belum sempat Eza menjawab, Ali sudah berpamitan untuk pergi lebih dulu setelah membuka aplikasi pelacak, mendapati Lintang sudah nggak berada di sekolah. "Gue cabut dulu, Lintang nggak di sekolah." "Lo seriusan pakai aplikasi pelacak buat jagain dia?" "Gue nggak bisa percaya sama siapapun, Za." "Termasuk gue?" "Lo belahan jiwa gue, mana mungkin gue nggak percaya?" Ali terkekeh lagi sebelum benar-benar masuk lift turun ke lantai basemen. Eza cuma bisa mengumpat, merutuki kebodohan sahabatnya itu. Masih saja terus menjaga Lintang. Padahal Lintanglah yang dulu membantu Wahyu untuk balas dendam saat itu. Setiap kali Eza membahasnya, Ali pasti langsung marah, mengumpat dan bertanya balik, "Lo bisa maafin Wahyu, kenapa lo nggak bisa maafin Lintang?". Dan Eza pun cuma bisa terdiam, benar juga. Dia bahkan sudah jadi sahabatnya Wahyu sekarang. Tapi kenapa dia nggak bisa menerima Lintang? "Karena sekarang lo sedang mempertaruhkan nyawa buat dia, Al. Gue khawatir!" gumam Eza lirih melihat pintu lift tertutup, kemudian memilih untuk naik ke lantai atas rumah sakit. Menghabiskan dulu sepuntung rokok sebelum kembali ke rumah menemui istrinya. Eza hanya nggak mau kehilangan Ali nantinya, itu sama saja dia juga akan kehilangan Aisyah kan? *** Ali menghentikan mobilnya di depan gedung sekolah yang sudah nggak terpakai. Sepi disana, hanya ada ilalang tinggi yang memenuhi halaman gedung. Untuk apa Lintang ada disini? Kembali Ali menghubungi Lintang, dan baru panggilan yang kesepuluh, Lintang menjawab. "Lo nggak di sekolah? Gue di depan gedung sekarang, ngapain lo disini? Apa perlu gue susul?" tut tut tut, sambungan telepon langsung terputus begitu Lintang menjawab pertanyaan Ali. Meski Lintang sudah mengatakan kalau dia disini karena urusan pekerjaan, apa Ali percaya begitu saja? Jelas-jelas Ali melihat jejak roda sepeda motor saling tindih menuju dalam gedung, ditindas jejak sepatu ukuran kecil dan pasti itu sepatu Lintang. Kemarin malam hujan deras, terlihat dari jalan yang becek, bisa disimpulkan itu jejak yang baru saja ada beberapa jam lalu. Jadi dengan siapa Lintang di dalam? Ali mengurungkan niatnya untuk ikut masuk karena Lintang sudah terlihat keluar berlari menuju ke arahnya. Wajah tersenyum yang sengaja dipaksakan, tangan Lintang gemetar saat Ali memegang kedua bahunya. "Lo sendirian? Kenapa nggak bilang? Gue kan bisa antar!" Lintang tersenyum tipis mengangguk, Ali tahu Lintang sedang berbohong. "Bang Al tahu darimana saya disini?" "Kan gue udah pasang aplikasi pelacak di ponsel lo, gue langsung kesini begitu tahu lo nggak ada di sekolah. Inget ya, lo itu dalam bahaya. Jangan pergi sendiri. Lo bisa hubungi Miko kalo emang terpaksa." "Kenapa sekarang Bang Al titipin saya ke Miko? Bukan Saka lagi?" tanya Lintang. Ali diam sejenak, belum saatnya Lintang tahu kenapa dia nggak lagi meminta bantuan Saka, seenggaknya sampai apa yang dia pikirkan terbukti benar. Ali tersenyum mengelus pucuk kepala Lintang. "Kata lo dia bocah ingusan, gue nggak boleh percaya sama bocah ingusan kan? Bentar, bentar ada telpon!" Telepon dari kantor pusat yang artinya itu telepon dari Eza. Segera Ali menjauh dari Lintang, nggak mau sampai Lintang mendengarkan. Sejak awal Ali nggak pernah mempercayai Saka. Tentang kasus penculikan Tiara, Ali rasa itu sedikit janggal. Tapi saat itu Ali nggak punya bukti untuk menyangkal pernyataan Saka yang notabene hanya murid SMA. Apalagi dia adalah keponakannya Eza. Itulah alasan kenapa Ali meminta Eza untuk menyekolahkan Saka di SMA Gajah Mada. Supaya dia bisa mengawasi gerak gerik Saka. Tapi selama itu nggak ada yang mencurigakan dengan Saka. Dia bersikap sewajarnya sebagai murid, yang pintar dan juga sebagai pentolan sekolah. Sampai pada akhirnya Lintang muncul, Elang muncul dan serangan dari SMA Erlangga, menjadikan Ali semakin waspada. Apalagi setelah Tiara ditemukan, kecurigaan Ali terhadap Saka semakin besar. Beberapa hari setelah serangan dari Erlangga, Ali sengaja menemui Tiara. Dan ternyata kondisinya sangat memprihatinkan. Selain kata Yachio Dragon yang ditakuti Tiara, dia sempat berteriak histeris saat Ali sengaja menunjukkan foto diri Saka. Bahkan Tiara sampai merobek foto itu. "Oke, gue akan menemui mereka. Malam ini gue berangkat." Ali memutus sambungan telepon dan kembali menghampiri Lintang. "Mau balik sekarang? Atau masih ada urusan di dalam?" Lintang menggeleng, menggandeng lengan Ali untuk segera masuk mobil. Nggak membiarkan sedikit pun Ali untuk menoleh ke arah gedung lagi. "Kita pulang sekarang ya Bang, saya capek, Bang Al juga kan, yuk." *** Lintang sangat bersyukur karena Ali nggak banyak bertanya. Mereka hanya diam selama perjalan pulang, bergelut dengan pikiran masing-masing. Lintang masih ngeri dengan kejadian tadi di gedung. Apa yang akan terjadi kalau Saka benar-benar menembakkan pistol itu ke arah Ali? Lintang menghela napas panjang, membuka setengah jendela kaca mobil membiarkan angin sore menerpa wajahnya. "Lo tahu nggak Lin, kenapa gue suruh lo tidur di kamar gue?" tanya Ali memecah keheningan. Mobil berhenti di perempatan lampu merah jalan raya. Kurang lima belas menit lagi, mereka sampai. "Kenapa bang?" "Rumah gue satu-satunya hunian di kompleks yang mempunyai tingkat keamanan paling tinggi. Khususnya kamar gue." "Serius?" Lintang langsung menoleh, takjub dengan pernyataan Ali, sejenak lupa dengan ketegangan yang beberapa jam lalu terjadi. Ali mengangguk tersenyum, "Kalo lo mengaktifkan fungsi keamanan di kamar gue, nggak ada siapapun yang bisa masuk kesana, kecuali dibuka dari dalam. Bahkan untuk meledakkan kamar gue, perlu 10 bom atau setara dengan gempa pada tsunami. Jadi tembakan sebanyak apapun nggak akan bisa menembus dinding kamar gue juga." Lintang semakin membelalakan matanya terkejut, nggak percaya. Demi mendengar cerita Ali, dia sampai berputar menghadap Ali yang sudah melajukan mobilnya, lampu berganti hijau. "Jadi kenapa Bang Al suruh saya tidur disana? Dan biarin saya tahu semua itu? Bang Al percaya sama saya?" tanya Lintang lirih, kembali Lintang merasa bersalah. Lintang tahu pasti, Ali melakukan itu untuk menjaganya. Tapi kalau sampai memberikan tempat dengan keamanan super ketat, artinya nyawanya benar dalam bahaya? Dan Ali sedang bertukar tempat dengannya kan? Ali diam tersenyum jahil, selanjutnya jawaban Ali membuat Lintang refleks memukul lengannya itu. "Gue nggak tahu apa yang terjadi kalo ada cewek menginap di rumah. Gue takut ngapa ngapain lo, Lin. Gue juga cowok normal, bahaya kan kalo malam-malam naluri gue mendadak jadi tinggi." "BANG ALLLLL! Dasar m***m!" teriak Lintang histeris, karena pukulannya membuat Ali jadi menepikan mobilnya mendadak. Hampir saja dia menabrak pejalan kaki yang menyebrang. "Lintang bahaya! Kok lo pukul gue!" "Abis Bang Al, omongannya!" omel Lintang, mukanya kembali cemberut. Kenapa sih setiap momen yang mengharukan Ali selalu merusaknya? Kenapa seorang Ali isi otaknya sama saja dengan laki-laki lainnya? Ah, Lintang mengangguk akhirnya menyadari kalau Ali bukan malaikat. Dia juga laki-laki normal yang otaknya kadang sedikit gesrek. "Itu fakta Lin, gue normal. Dan gue masih single, cewek cowok berduaan, yang ketiganya pasti setan kan?" "Terserahlah Bang." "Udah ngambeknya, gue mau ngomong serius nih." Ganti Ali yang memutar tubuhnya menghadap Lintang. "Apa?" "Malam ini, setelah lo masuk kamar, jangan keluar ya." "Bang Al!" Lintang sudah mendelik memberi peringatan. "Gue serius Lin, jangan keluar. Gue akan kasih akses lo buat mengaktifkan tingkat keamanan di kamar gue. Jangan pernah keluar sebelum besok pagi gue balik." Baru sorot mata Lintang melembut, kali ini Lintang percaya Ali sedang bicara serius. "Bang Al mau pergi?" Ali mengangguk. "Kemana?" "Ada janji sama klien." "Malam malam?" Kembali Ali mengangguk. "Besok pagi udah balik?" "Iya, besok pagi gue pastiin udah berdiri di depan pintu kamar." "Janji?" "Janji. Miko, Angga sama Aji akan jagain di bawah, lo nggak perlu khawatir." "Bang Al harus pulang besok pagi." "Iya. Gue pamit ya." Lintang mengangguk, tanpa tahu apa yang akan terjadi. Dan tanpa tahu kalau besok pagi bisa jadi Lintang akan menyesali anggukan kepalanya saat ini. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD