Bagian 7

1092 Words
Bahu perempuan itu bergetar. Rambut panjangnya tergerai hingga menutupi wajah, tetapi dia dapat mengenalinya dengan sangat baik. Jemarinya mengepal kuat dalam saku celana olahraga. Hatinya kebas. Pemandangan ini tidak pernah ingin dilihatnya seumur hidup. Satu yang selalu dia inginkan dari perempuan itu adalah tawa bahagianya. Sendirian ataupun bersama orang lain. Keduanya tidak masalah selama perempuan itu tidak bersedih. "Kamu seharusnya bahagia." Mata laki-laki itu berkaca-kaca. Seolah dapat ikut merasakan pedih yang diderita si perempuan. Kaki-kaki panjangnya pun tidak sanggup lagi bertahan. Dengan langkah perlahan dan pasti, dia mendekati perempuan itu. Jantungnya berdetak tidak karuan. Gugup sekaligus takut. Namun, perasaan-perasaan semacam itu dia enyahkan. Tujuannya hanya satu: membuat si perempuan berhenti menangis. Begitu jarak antara dirinya dan si perempuan lebih dekat, laki-laki itu berhenti. Kedua tangannya masih berada dalam saku celana--saling mengepal. Perdebatan pun terjadi. Dia ingin menyapa, tapi tidak berani membayangkan reaksinya. Dia takut. Amat sangat takut perempuan itu akan memandang sinis, lalu memakinya. Pada akhirnya, laki-laki itu mengulurkan tangan, lalu menepuk bahu si perempuan pelan-pelan. Melalui telapak tangannya, dia tahu bahwa perempuan itu tetkejut. "Nes." Laki-laki itu bersumpah dalam hati, mengumpat dengan kasar. Wajah bersimbah air mata si perempuan membangkitkan memori yang telah lama berusaha dia kubur. Menguaknya ke permukaan seolah-olah itu bukan apa-apa. Kedua netra yang membulat, lalu meredup dalam sekejap membuat dadanya sesak. Perempuan itu merapikan penampilannya. Mengusap wajah dengan handuk yang menggantung di leher. Tidak peduli bahwa handuk tersebut sudah kotor oleh debu taman dan jalanan, lalu akan menimbulkan jerawar di wajahnya. Dia hanya tidak peduli. Tidak ingin menunjukkan kesengsaraannya di hadapan laki-laki ini. Sejujurnya, dia sangat terkejut. Sama sekali tidak menyangka mereka akan bertemu di sini. "Ada apa?" Tidak ada emosi apa pun dalam kalimat tanyanya. Datar. Seolah keberadaan laki-laki itu sama sekali tanpa kejutan. "Aku lihat kamu dari kejauhan. Mau nyapa aja." "Oh." Vanessa mengangguk. "Halo, Bang." "Apa kabar?" Vanessa mendengkus. Jelas sekali laki-laki itu melihatnya sedang menangis. "Basi. Bang Dirga bisa tanya kabar Vanessa ke Bang Mada." Perempuan itu mengambil tumblr di sampingnya, lalu berdiri. Ditatapnya sekali lagi laki-laki itu. "Permisi." "Nes!" Vanessa berhenti. Tidak. Bukan untuk menggubris panggilannya. Perempuan itu mengangkat tangan kanan yang tidak membawa apa pun, memberi gesture selamat tinggal. Sama seperti delapan tahun lalu. Gesture dan tempat yang sama, di waktu yang berbeda. *** Dirga mengetuk-ngetukkan jemarinya yang diletakkan di atas meja. Pertemuan dengan Vanessa tadi pagi masih menghantui bahkan hingga dirinya menyambangi kantor Mada. Kondisi Vanessa yang menurutnya memprihatinkan, juga sikap perempuan itu yang tampak masih menghindarinya. Laki-laki itu mengingat dengan jelas bagaimana gesture yang disampaikan Vanessa tadi, sangat mirip dengan kejadian beberapa tahun silam. Ketika Vanessa melihatnya bermesraan dengan Seruni. "Udah lama?" Dirga terhenyak sedikit. Melamunkan Vanessa membuat lupa akan keberadaannya saat ini. Vanessa selalu menjadi titik fokusnya, tidak pernah berubah meski waktu telah banyak berlalu. "Baru, sih. Sibuk banget, lo?" Pratamada mengedikkan bahu. "Rapat rutin aja. Mingguan." Dirga mengangguk. Jika tidak sedang dalam perjalanan dinas atau kondisi khusus, Mada tidak pernah absen dalam rapat rutin. Dia selalu ingin mengamati perusahaan dengan baik, dengan mata kepalanya sendiri. "So," Dirga menjatuhkan punggung pada sandaran kursi, "I'll take it." Mada ngangkat kedua alis, kebingungan. "Your offer." "Ah! I know, you will." Dirga mendecih. Mada terlalu mengenalnya. Bahkan melebihi dirinya sendiri. "Kapan gue bisa mulai?" tanya Dirga, mengabaikan senyum penuh kemenangan Mada. "Bulan depan, sih. Lo duluan ke sana. Buat adjustment." "Nenes?" "Eca masih ada kerjaan di hotel. Kayaknya, sebulan setelah lo, dia baru ke sana." Dirga terdiam. Dia sempat berpikir bahwa keberangkatannya ke Sukabumi akan bareng dengan Vanessa. Selama memikirkan itu, hatinya dipenuhi kebahagiaan. Juga tekad yang kuat untuk mendapatkan kembali pintu maaf dan hati perempuan yang pernah disakitinya itu. "Kenapa, lo?" Mada membuyarkan lamunannya. Dirga menggeleng. Lalu, menghela napas secara perlahan. "Kalau gue deketin Nenes lagi, lo setuju, nggak?" Akhirnya, pertanyaan yang ingin dia ucapkan, terlontar juga. Alih-alih menjawab, Mada justru terbahak-bahak. Suaranya, Dirga yakin, dapat terdengar hingga ke luar. Dan itu membuatnya ingin melempar mulut sang sahabat yang terbuka lebar akibat tawa. "Hilang, udah, wibawa lo." Mada bersusah payah untuk menghentikan tawanya. "Sebentar," ujarnya. Lalu, tertawa lagi. Wajahnya bahkan sudah memerah. Entah bagaimana, pertanyaan Dirga tersebut sangat lucu menurutnya. Vanessa sudah dewasa. Dia tidak memerlukan izin kedua kakaknya, atau bahkan orang tuanya, untuk dekat dengan laki-laki mana pun. Selama tidak berniat buruk, Mada tidak akan mengintervensi hubungan sang adik dengan siapa pun. Akhirnya, Dirga diam saja. Dia akan menunggu Mada berhenti tertawa. Sebenarnya, laki-laki itu tidak mengerti di mana letak kelucuan pertanyaannya. Pertanyaan yang sudah bercokol dalam waktu lama di kepalanya. Perlu keberanian dan tekad yang kuat untuk melontarkan itu kepada laki-laki yang merupakan kakak tertua Vanessa. Bagaimana pun, Dirga harus mengantongi izin dari orang yang dihormati Vanessa, agar usahanya tidak memiliki hambatan lain. Selain dari Vanessa itu sendiri. Menurutnya, rintangan paling berat adalah menaklukkan hati perempuan itu. Tidak mudah meminta izin pada Mada, apalagi meluluhkan kerasnya pintu maaf dari Vanessa. "Gue bukan abang yang ngelarang adiknya dekat sama siapa pun, Dirga. Lu tahu itu," ujar Mada setelah berhasil menghentikan tawa. "Tapi, lu tahu masa lalu gue." "Terus, kenapa?" Detik ini, Dirga tidak mengenal sosok Mada yang duduk di hadapannya. Semasa kuliah, dia menjadi saksi betapa protektif seorang Pratamada terhadap adik perempuannya. Berkongsi dengan Mario, Mada akan melakukan apa pun untuk menghindarkan Vanessa dari laki-laki yang berniat mendekatinya. Seolah mengerti pikiran Dirga, Mada pun berucap, "Kalau lo ngira gue masih kayak waktu kuliah, lu salah. Dulu, gue ngelakuin itu semua, karena Vanessa masih underage. Gue nggak mau dia bergaul ama orang yang salah." Dirga mengingat bagaimana kerasnya Mada dan Mario mengatur supaya Vanessa tidak terlalu dekat dengan laki-laki. Mulai dari teman sekolah dan bimbel perempuan itu, sampai anak-anak dari teman orang tua mereka yang tertarik pada putri keluarga Asmawarman itu, setelah menghadiri pertemuan bisnis. Mada bahkan berani memprovokasi salah satu anak dari investor Asmawarman Group, yang nekat menjebak Vanessa. Saat itu, Mada dan Dirga sudah berubungan dekat layaknya saudara. Mada terlalu fokus pada orang-orang dari luar lingkungannya, sehingga tidak menyadari bahwa yang berpotensi menjadi pacar seorang Tri Vanessa adalah dirinya. Dirgantara. Teman dekatnya. Mada sempat marah-marah ketika mengetahui hubungan sang adik dengan sahabatnya. Akan tetapi, dia mencoba menaruh kepercayaan terhadap Dirga. Percaya bahwa sang sahabat tidak akan membawa adiknya pada hal-hal yang bertentangan dengan norma keluarga. Dan, hal itu terbukti. Vanessa menjadi lebih rajin belajar, punya motivasi yang kuat untuk lulus dengan nilai memuaskan. Sampai pada tahap penuh ambisi. "Jadi?" Kedua alis Dirga terangkat, menunggu jawaban pasti dari Mada. "Go ahead!" Bibir penuhnya tersungging begitu lebar. Rona bahagia jelas terpancar dari wajahnya. Mada tahu, Dirga menyadari risiko mendekati Vanessa kembali. Dia juga percaya, sang sahabat tidak akan menyakiti adiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD