Banyak sekali yang ingin Vanessa ungkapkan. Terlalu banyak sampai tidak tahu dari mana harus memulai. Namun, jika harus memilih satu dari sekian banyak itu, Vanessa akan memilih satu yang paling ingin dia sampaikan.
Namun, sampai sekarang, kesempatan itu tidak pernah ada. Pasca peristiwa itu, dia menghindari Dirga. Setelah dirinya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Dirga mengusap rambut seruni dengan lembut. Tidak melepaskan genggamannya dari tangan perempuan itu. Dirga dan Seruni, dua nama yang sempat menjadi alasan dirinya menangis. Tangis yang membuat dadanya sesak dipenuhi pilu.
Ketika melihat itu, Vanessa dengan sengaja mendekati mereka. Diam. Membisu di hadapan dua sejoli yang sedang bermesraan di tempat favoritnya. Tempatnya bercengkerama seru dengan si laki-laki, melepas penar setelah seharian dicekoki materi.
Dadanya berdenyut hebat. Tangannya mengepal, menyalurkan kekuatan pada diri sendiri, agar tidak menangis di hadapan laki-laki berengsek dan selingkuhannya.
Waktu itu, ketika Dirga menyadari kehadirannya, mereka hanya saling menatap. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap. Lalu, Vanessa berbalik.
Saat itulah, Vanessa mendengar Dirga memanggilnya. Dia berhenti. Namun, bukan untuk berbalik, melainkan memberi gesture selamat tinggal.
Pertemuan-pertemuannya dengan Dirga setelah itu merupakan ketidaksengajaan. Vanessa sebisa mungkin menjauh. Dia tidak ingin berbicara dengan seorang b******n.
Seolah semesta senang membuatnya tersiksa, beberapa tahun lalu, dia dipertemukan lagi dengan perempuan itu. Sebagai pacar Mario.
Sulit baginya untul menyembunyikan rasa tidak suka dan penuh amarah terhadap perempuan itu. Dia terang-terangan bersikap sinis. Permohonanan Mario untuk memaafkan Seruni pun tidak digubrisnya.
"Abang nggak tahu gimana sakitnya hati aku ngelihat cewek itu mesra-mesraan sama cowok b******k itu. Abang nggak berhak ngatur Eca, supaya Eca mau berbaik hati sama dia. Nggak berhak, Bang," cecarnya waktu itu.
Setelah itu, tidak ada lagi yang mengungkit sikap sinisnya terhadap Seruni.
Lamunan Vanessa buyar ketika suara berat seorang laki-laki menyapa indra pendengarnya.
Perempuan itu mendongak. Saat itulah, dia sadar bahwa saat ini, dirinya sedang berada di keramaian mall. Tadi, dia dengan sengaja menghabiskan waktu istirahat di sini. Sendirian.
Setelah berpisah dengan Raditya dan Cassandra, Vanessa tidak memiliki teman untuk diajak makan bersama. Selama ini, dia merasa cukup hanya berteman dengan Cassandra. Sama sekali tidak memiliki keinginan untuk dekat dengan rekan kerja yang lain.
Vanessa bersiap pergi, namun ditahan oleh laki-laki itu.
"Sebentar aja, Nes."
Vanessa mendengar nada permohonan yang tulus di sana. Membuatnya bimbang, haruskah berbicara dengan laki-laki ini?
***
Vanessa bersedekap. Bertumpang kaki. Menatap laki-laki di hadapannya dengan penuh pertanyaan.
Pertanyaan yang tadi sempat memenuhi kepalanya. Tanya yang ingin dia lontarkan jika diberi kesempatan. Akan tetapi, ketika berhadapan seperti ini, tetap tidak ada yang bisa keluar dari mulutnya.
Alhasil, perempuan itu hanya diam sambil menunggu.
"Apa kabar?"
Vanessa mendelik, lalu tersenyum sini. "Nggak usah basa-basi, Bang. Nessa tahu, kok, Bang Dirga mantau Nessa lewat Bang Mario."
Laki-laki itu, Dirga, berdeham. Dia mengenal Mario dengan baik. Seharusnya, persoalan Mario yang tidak bisa menjaga rahasia itu, sudah di luar kepala. Di antara Mada, Mario, dan Vanessa, hanya Mario yang mulutnya ember. Tidak bisa dipercaya untuk memegang rahasia pribadi seseorang.
Apalagi jika rahasia itu menyangkut anggota keluarganya.
"Nenes masih marah sama abang?"
Pertanyaan Dirga membuat alis Vanessa naik sebelah. Tatapannya, menghakimi. "Yakin, itu yang abang tanyain?"
Dirga tidak mengerti. Merasa serba salah. Pertanyaan seperti apa yang seharusnya dia lontarkan jika berada dalam kondisi seperti ini? Dua kali mengajukan pertanyaan, keduanya direspons dengan sinis dan tatapan penuh penghakiman.
Sabar, ujarnya dalam hati. Dia harus bersabar, karena wajar seorang Vanessa menaruh dendam yang luar biasa terhadapnya. Bahkan sebagai pihak yang bersalah, Dirga kesulitan untuk memaafkan dirinya sendiri. Meskipun alasannya demi kebaikan Vanessa, tetap saja, laki-laki itu telah menyakitinya.
"Abang minta maaf."
"Maaf buat apa?"
Keduanya saling beradu tatap. Dengan ekspresi yang berbeda. Satu pihak menatap penuh rindu, pihak lain dipenuhi pertanyaan yang entah kapan bisa diungkapkan.
"Buat kejadian beberapa tahun silam," jawab Dirga.
Lagi-lagi, Vanessa menaikkan sebelah alisnya, menatap Dirga penuh sarkasme. Sejak kejadian itu, dirinya memang tidak pernah mendengar permintaan maaf secara langsung dari laki-laki itu. Dengan sengaja memblokir seluruh akses, agar seorang Dirgantara yang telah menyakiti sedemikian rupa, tidak bisa menghubunginya.
Dia hanya mendengar permintaan maaf laki-laki itu melalui Mario atau Mada. Maaf yang tidak pernah digubrisnya. Saat itu, hati dan kepalanya sudah tertutup oleh fakta bahwa Dirga mendua. Membagi cinta dan perhatiannya pada perempuan lain.
"Kenapa?" tanya Vanessa. Raut mukanya datar. Sorot mata yang menatap lurus pada Dirga pun sulit diartikan.
"Kenapa ... apanya?"
"Kenapa dulu duain aku, Bang?"
Sesak itu kembali menghantam dadanya. Ingatan akan peristiwa delapan tahun silam, tumpang tindih dengan pengkhianatan yang dilakukan Radit tidak lama ini. Menyakitkan sekali, ketika dirinya mencintai kedua orang itu, dalam waktu yang berbeda, tetapi berakhir dengan alasan yang sama.
Kehadiran orang ketiga. Cinta yang terbagi.
Bagaimana dia bisa menghadapi masa depannya? Apa yang harus dia lakukan agar tidak terkungkung pada krisis kepercayaan setelah dua kali dipermainkan?
Dirga tidak segera menjawab. Apa pun yang dia lakukan di masa lalu, sungguh semata demi kebaikan Vanessa seorang. Setelah hubungan mereka berakhir, Dirga sendiri tersiksa oleh perasaan bersalah. Belum lagi rindu yang menggelung, tidak bisa dia tuntaskan. Akan tetapi, menjawab sama persis dengan pemikirannya waktu itu, bukankah terdengar seperti alasan? Agar Vanessa mau memberinya kesempatan?
"Abang sayang banget sama Nenes."
"Nggak ngejawab pertanyaan aku, tuh."
Dirga terdiam. Vanessa yang saat ini berhadapan denganya, sangat berbeda Vanessa yang dulu menyukainya. Ceria dan sangat ramah. Selalu menatapanya dengan penuh rasa kagum dan kasih sayang.
"Kalau dijawab, kamu akan berpikir itu cuma alasan, Nes."
"Belum apa-apa, kok, udah berpikiran negatif? Abang pikir, aku masih remaja yang nggak bisa mencerna penjelasan orang? Begitu?"
"Nggak, Nes. Bukan gitu. Abang cuma takut. Kesalahan Abang besar banget. Takutnya, kamu belum bisa mendengar apa pun penjelasan Abang."
Vanessa diam. Ketakutan Dirga cukup beralasan. Dirinya memang sengaja menutup akses, dan tidak ingin mendengar apa pun alasan yang akan diberikan laki-laki itu. Namun, apa pun yang laki-laki itu ungkapkan sekarang, tak akan mengubah kenyataan bahwa keduanya memang berpisah dengan alasan karena hadirnya orang ketiga. Dan Dirga, menjadi pihak yang menyakiti seorang Tri Vanessa Asmawarman.
"Ya, udah. Sekarang, jawab pertanyaanku."
Dirga menarik napas panjang. Ditatapnya lurus-lurus netra hitam seorang Tri Vanessa. Perempuan ini benar-benar telah tumbuh dengan baik. Menjadi dewasa dengan segala pemikiran dsn kekuatan hatinya. Sayang sekali, dirinya tidak bisa menjadi saksi bagi perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidup Vanessa.