Bagian 6

1022 Words
Vanessa tersenyum simpul. Netra hitam legamnya menyapu sekeliling. Taman di komplek perumahannya sangat dekat dari rumah. Hanya bejarak beberapa meter saja. Namun, entah berapa lama sejak dirinya mengunjungi tempat ini, dan terasa masih sama. Begitu rimbun dan menyejukkan. Yang dia ingat, taman ini adalah tempat favoritnya di masa lalu. Benar, di masa lalu. Setelah segalanya kacau, tempat ini tidak lagi menjadi favoritnya. Dia tidak suka mengingat kenangan menyedihkan yang membuat hidupnya berantakan dan kacau. Dia menjadi benci terhadap tempat yang pernah menjadi favoritnya ini. Pohon palem yang mengelilingi lapangan basket merangkap lapangan badminton itu selalu menjadi kesukaannya setiap kali datang ke taman. Entah punya magic apa pohon itu, pandangan Vanessa dibuat tidak bisa beralih darinya. Selain pohon palem, tanaman hias yang berwarna-warni di setiap sudut taman juga sangat memanjakan matanya. Seharusnya, dia lebih sering datang ke sini. Pemandangan kota yang terlihat dari kantornya tidak sebanding dengan sejuknya taman. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam. Keputusan Mada untuk mengirimnya ke sebuah kota yang tidak pernah ia sambangi, membayanginya secara konstan. Vanessa mengakui bahwa dirinya tidak profesional ketika berurusan dengan Raditya. Menggunakan wewenangnya sebagai anak bungsu keluarga Asmawarman, agar Raditya dan Cassandra mendapat pelajaran, karena telah mencederai perasaan dan kepercayaannya. Memang tidak seharusnya dia lakukan, tetapi hatinya yang patah telah merestui. Memberikan pembenaran bahwa mereka berdua pantas memdapatkan ganjaran itu. Waktu terus berlalu, tapi perasaannya belum kunjung membaik. Bayang-bayang kebersamaannya dengan Raditya sulit untuk dilenyapkan. Bahkan ketika logikanya meminta untuk menghapus laki-laki itu dari kenangannya, bayangan itu semakin kuat menghantui. Kian jelas bagai kaset film yang diputar berulang-ulang. Kepalanya tertunduk. Jemarinya saling bertautan. Perempuan itu dilanda sesak yang mengerikan. Jantungnya terasa seperti diperas kuat-kuat hingga terasa sangat sakit. Perasaan-perasaan yang selama ini dia berikan kepada Raditya, kepercayaan yang dia taman sepenuh hati, telah dilindas habis oleh roda yang bernama pengkhianatan. Vanessa mengingat saat pertama kali dirinya mengenal Raditya dan Cassandra. Dua tahun sebelum bertemu Raditya, Cassandra lebih dulu datang ke dalam hidupnya. Sebagai panitia volunteer pada rangkaian dies natalis kampus untuk pertama kalinya, Vanessa sama sekali tidak memiliki teman. Dari jurusannya, hanya dia yang ikut kepanitiaan ini. Sebenarnya, Vanessa lebih suka mengikuti seminar daripada menjadi panitia. Akan tetapi, Gun, sang ayah, menuntutnya untuk mengikuti organisasi. Setidaknya menjadi relawan. Katanya, hal itu akan berguna ketika terjun ke perusahaan. Vanessa mengikuti saja saran sang ayah, karena cita-citanya di masa depan memang menjadi bagian dari gurita bisnis keluarga. Belajar dari pengalaman yang menujukkan bahwa dirinya tidak pernah diizinkan untuk memilih, maka dia memutuskan untuk menjadikan sesuatu yang telah disediakan itu sebagai pilihannya. Cassandra waktu itu menghampirinya yang duduk sendiri di ruangan rapat BEM universitas. Dengan wajah penuh keceriaan, wanita itu mengulurkan tangan. Memperkenalkan diri sebagai panitia tetap. Dengan kata lain, Cassandra adalah anggota BEM. Sejak saat itu, Vanessa dan Cassandra seolah tidak terpisahkan. Padahal, mereka berada di fakultas yang berbeda. Banyak kesamaan yang membuat keduanya dekat. Seperti suka sekali belajar hal-hal berbau bisnis, mencari relasi baru, dan selera fashion yang juga sama. Soal makanan, tidak perlu ditanya. Kedua perempuan itu mempunyai selera yang mirip, sehingga tidak kesulitan setiap kali memilih tempat makan. Vanessa sangat menyukai steak dengan level kematangan medium, sedangkan Cassandra menyukai segala hal berbau pasta. Kesukaan mereka lebih sering berada di restoran yang sama, sehingga tidak menjadi masalah sama sekali. Sebelum kejadian itu, Cassandra adalah teman yang baik. Selalu ada kala Vanessa memerlukan teman untuk bercerita. Teman melakukan hal-hal yang mereka sukai. Oleh karena itulah, Vanessa menganggapnya teman sejati. Dua tahun kemudian, Vanessa terlibat dalam proyek penelitian salah seorang dosen. Bersama dua mahasiswa lainnya. Mereka adalah Raditya dan Soraya. Dia mengenal kedua orang itu sebagai teman seangkatan. Namun, baru setelah menjalani penelitian ini mereka menjadi dekat. Terutama Vanessa dan Raditya. Raditya tidak pernah absen mengantar pulang meskipun Vanessa membawa mobil sendiri. Laki-laki itu akan mengambil alih kendali mobil, lalu kembali ke kampus dengan taksi, untuk mengambil motornya setelah memastikan Vanesa masuk ke rumah. Proses itu berlanjut sampai akhirnya Raditya menyatakan cinta padanya. Hubungan yang kemudian berjalan dilandasi cinta dan kepercayaan. Setidaknya, dulu Vanessa mempercayai itu. Bahwa hubungan asmaranya akan berakhir seperti kisah-kisah romantis dalam n****+. Menikah. Benar. Vanessa tersenyum sinis. Hubungan mereka memang berakhir dengan pernikahan, tetapi bukan antara dirinya dan Raditya, melainkam Raditya dan Cassandra. Cassandra yang selalu menjadi tempatnya bersandar. Berbagi kenangan layaknya saudara. Air mata yang mengaliri wajahnya saat ini, menjadi bukti betapa Vanessa tersakiti oleh kejadian itu. Bagaimana tidak? Vanessa sungguh-sungguh tulus saat mengatakan dirinya sangat menyayangi Cassandra. Juga Raditya. Dia pikir, kedekatan mereka memang karena dirinya. Karena Raditya adalah kekasihnya. Dia pikir, kedekatan mereka sebagai bentuk persahabatan yang terjalin sejak mereka duduk di bangku kuliah. Sayangnya, ketulusan yang dia dapat, dimentahkan begitu saja. Mereka bermain di belakangnya. Bahkan mungkin, dua sejoli itu tertawa atas ketidak tahuannya tentang pengkhianatan tersebut. Dirinya dianggap bodoh dan d***u. Masalahnya, mereka melakukan itu selama hampir setengah usia hubungannya dengan Raditya. Artinya, Raditya Munawar telah berkhianat dengan seorang Cassandra yang sangat dia percaya selama bertahun-tahun. Dada Vanessa terasa semakin sesak. Napasnya tersengal-sengal, sedangkan tangannya terkepal kuat di depan d**a untuk menghalau rasa sakit yang kian mendera. Dalam tangis, di merutuk kepada diri sendiri. Tidak seharusnya dia datang ke sini kalau hanya untuk membangkitkan luka yang sudah sejak lama ingin dia hilangkan. Luka yang sialnya, dialami untuk kedua kali. Luka yang membuatnya benar-benar muak pada sosok mana pun yang dilabeli sebagai laki-laki. Hal itu menjadi lucu, karena dia dikelilingi oleh laki-laki yang sangat mencintainya. Aku nggak boleh ke sini lagi. Cewek itu bergumam sendiri dengan terbata-bata akibat isak tangis yang tak kunjung mereda. Sesungguhnya, Vanessa datang ke tempat ini hanya untuk mencari tahu apakah hatinya telah benar-benar sembuh. Namun, rupanya, jawaban itu dia dapatkan dengan instan. Dan Vanessa sangat menyesali kebodohannya ini. Dengan susah payah, Tri Vanessa Asmawarman berusaha menghentikan tangis. Lalu, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Dibuangnya napas dengan perlahan, dan dia lakukan secara berulang-ulang kali. Raditya dan Cassandra, pasangan pengkhianat Vanessa menyebutnya, telah mengambil sebagian besar energi positif yang dia miliki. Saat ini, dia harus tertatih untuk mengumpulkan kembali kepingan-kepingan dirinya yang telah hancur. Tidak. Dia tidak boleh berlarut-larut dalam kondisi seperti ini. Dia harus bangkit, dan menunjukkan kepada pasangan pengkhianat itu, bahwa tanpa mereka pun, dia bisa menjalani hidup dengan baik. Sangat baik, malah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD