"Ini data yang kamu minta!" ucap Naresh menyodorkan laptopnya ke hadapan Ibra.
Bian yang penasaran menggeser duduknya ke samping Ibra. Dia tersenyum menggeleng melihat sederet catatan hitam yang berhasil Naresh dapatkan tentang Agung Prayoga dan Arya Prayoga.
"Pantas saja dulu Agung Prayoga bisa mempersulit mertuaku mendapatkan bukti korupsi Budiman Anggoro, sebelum pensiun ternyata dia juga punya posisi yang tak kalah mentereng." ujar Bian.
Ibra menyandarkan punggungnya, masih diam mengusap brewok tipis yang membuatnya terlihat semakin sangar itu. Sedang laptop Naresh sudah berpindah ke tangan Satria dan Reza.
"Aku yakin masalahnya tidak sesederhana itu. Sedekat apapun hubungan Agung Prayoga dan Budiman Anggoro, dia tidak mungkin mau mengambil resiko sebesar itu dengan membantu Budiman kabur dari tahanan." ucap Ibra.
"Setuju, lagipula kenapa mereka baru muncul sekarang setelah Budiman Anggoro hampir dua tahun dipenjara?" sahut Satria.
"Ada yang aneh menurutku. Arya Prayoga sekarang sedang berusaha membeli saham perusahaan Andra yang dulu kamu ambil alih, Ib. Saham yang kemudian kamu barter dengan saham Power Land," ujar Naresh.
"Apa lihat-lihat?!" umpat Reza kesal karena mereka meliriknya canggung.
Bagaimana tidak canggung, kalau Power Land yang barusan Naresh singgung dulunya merupakan Aditama Group. Perusahaan milik keluarga Reza yang Ibra tumbangkan untuk membalaskan dendam istrinya. Beruntung Reza cepat insaf, hingga tidak menjadi korban tangan kejam Ibra seperti ayahnya.
"Apa hubungan dia dengan Andra? Jangan-jangan Arya Prayoga juga kaum pelangi! Menurutmu gimana Resh?" tanya Bian yang membuat Naresh meradang.
"Mana aku tahu!" sahutnya kesal.
"Kan kamu juga mantan lulusan sana, masa tidak bisa bedakan mana pria yang lurus dan belok?" cecar Bian.
"Mulut sialan!"
Saking jengkelnya dengan mulut nyinyir Bian, Naresh sampai melemparnya dengan kotak tisu. Namun, pria tengil satu itu justru tertawa tergelak. Meski kenyataan memang begitu, tapi itu dulu. Naresh sudah lama insaf kembali ke kodratnya, dia dan istrinya bahkan sudah punya anak laki-laki ganteng yang sekarang berusia dua tahun setengah. Mereka hanya menggeleng, punya teman bermulut nyinyir seperti Bian memang harus punya lebih banyak stok sabar.
"Kenapa kalian tidak berpikir kalau bisa saja ada hubungannya dengan adik perempuan Andra? Jangan lupa, akar perseteruan antara Ibra dengan Andra dulu karena adiknya yang mati overdosis di Mirror!"
Ibra mengangguk setuju dengan apa yang Reza katakan, itu terdengar jauh lebih masuk akal. Dia harus jeli mencari semua celah masalah, kalau ingin teka-teki ini bisa secepatnya terungkap.
"Kamu coba cari tahu soal itu Resh! Pria sinting itu jelas mengincar Freya, jadi kemungkinan kalau dia ada hubungan dengan adik perempuan Andra juga jauh lebih masuk akal." ucap Ibra.
"Beres," sahut Naresh.
"Freya tidak apa-apa kan Ib?" tanya Reza yang sepertinya masih kepikiran setelah melihat mantan adik tirinya itu tadi terlihat shock berat.
"Tidak apa-apa, dia hanya trauma dengan kecelakaannya yang dulu. Sampai sekarang kematian Dini masih menyisakan luka untuk Freya," jawab Ibra.
"Tua bangka sialan! Sudah bau tanah masih saja bikin ulah. Tahu begini tidak perlu mengirimnya ke penjara, tapi sekalian saja kita lempar ke kuburan." dengus Bian kesal.
"Pantau terus Agung Prayoga dan anaknya, siapa tahu kita bisa melacak keberadan Budiman!" ucap Ibra.
"Aku sudah mengirim orang," sahut Reza.
Mereka menoleh ketika mendengar pintu ruang kerja Ibra yang diketuk dari luar. Freya kemudian muncul mengantar bocah cilik cantik yang bergegas masuk dengan mendekap botol susunya dan menyeret selimut kecil.
"Papa …" panggilnya merajuk dengan wajah cemberut lucu. Ibra melambaikan tangan meminta putrinya mendekat.
"Langit sudah tidur dari tadi, tapi dia bilang mau bobok sama papa." ucap Freya ke Ibra, lalu kembali menutup pintu membiarkan anak perempuannya mencari bapaknya.
"Jangan aleman kamu, Ndut!" goda Satria sengaja mencomot selimut kesayangan Jingga saat bocah itu lewat di depannya.
"Papa …" serunya mulai menangis sambil duduk di lantai, tangan mungilnya menunjuk ke arah selimut yang direbut omnya.
"Jangan mulai lagi kamu, Sat!" ucap Ibra bergegas bangun menggendong anaknya, lalu menyambar selimut di tangan iparnya itu.
"Sudah, ayo bobok!"
Ibra kembali duduk dengan memangku Jingga yang mulai meminum s**u sambil mendekap erat selimut kesayangannya. Mereka tersenyum gemas, siapa sangka pria bengis haus darah seperti Ibra ternyata juga punya sisi lembut yang luar biasa saat di rumah. Sesayang itu Ibra ke anak istrinya, jadi wajar kalau dia tidak pernah memberi ampun siapapun yang berani mengusik keluarganya.
"Jadi saham perusahaan Andra sekarang sudah berpindah tangan ke Arya Prayoga?" tanya Ibra.
"Hanya sebagian, tidak semua pemegang saham mau melepas sahamnya, meski Arya Prayoga menawarkan harga yang lebih tinggi." jelas Naresh.
"Aneh! Kemana saja dia dulu saat Ibra mengobrak-abrik usaha Andra sampai kemudian jatuh bangkrut. Sekarang dia tiba-tiba muncul seperti pahlawan kesiangan dan sengaja membuat gaduh, padahal Andra dan adiknya sudah mati semua." gerutu Reza.
"Kamu dulu juga dekat dengan Andra kan Sat?" sahut Bian, tapi Satria hanya mengedikkan bahunya.
"Teman nongkrong, cuma sebatas itu." jelas Satria.
Selanjutnya Ibra diam menyimak, hanya sesekali menimpali obrolan mereka. Dengan hati-hati dia melepas botol s**u yang sudah kosong itu, lalu menepuk-nepuk pelan meninabobokan anaknya yang mulai tertidur.
Dia tidak pernah berhenti tersenyum saat menatap kedua anak kembarnya. Ibra dan Freya punya darah keturunan, jadi tidak mengherankan kalau Langit dan Jingga yang sekarang berusia satu tahun itu punya wajah di atas rata-rata.
***
Nyatanya ulah musuh mereka tidak berhenti sampai disitu. Keesokan harinya ganti studio foto milik Freya jadi sasaran amukan preman. Bangunan megah tiga lantai itu hancur berantakan seperti kapal pecah. Freya tidak bodoh, dia jelas tahu siapa dalang di baliknya.
"Maaf ya Bang, gara-gara mereka kaki Bang Ibel jadi terluka." ucapnya dengan wajah yang dipenuhi rasa bersalah.
Tadi begitu mendapat telpon dari Ibel, dia langsung bergegas berangkat ke Seven. Bukan masalah berapa kerugian yang harus dia tanggung, tapi Freya khawatir setengah mati akan keselamatan para pegawainya.
"Bukan salahmu, kenapa juga kamu harus minta maaf Frey." sahut Ibel tersenyum, tidak sampai hati melihat rekan kerja sekaligus bosnya itu sejak datang tadi berkali-kali meminta maaf.
"Untung saja yang lain tidak ada yang terluka, kalau tidak aku tidak tahu lagi harus bagaimana." ujar Freya.
"Tapi semua barang hancur Frey, total kerugiannya pasti tidak terhitung. Apalagi kamera dan peralatan kita juga belum lama diganti baru," gumam Ibel menatap sedih barang-barang mereka yang hancur tak bersisa.
"Tidak masalah, yang penting kalian selamat." sahut Freya.
"Sebenarnya mereka itu siapa? Aku heran, kita tidak pernah cekcok dengan pengunjung. Kenapa tiba-tiba ada preman yang datang membuat keributan disini?"
Freya hanya tersenyum mengedikkan bahunya, mana mungkin dia mengatakan yang sebenarnya ke Ibel. Setelah kejadian baku tembak di puncak kemarin, sekarang ganti studionya yang jadi sasaran. Freya bahkan tidak berani menebak esok apalagi yang akan jadi target mereka, selain dirinya juga kedua anak kembarnya tentu saja.
"Yang …"
Mereka menoleh, Ibra tergopoh masuk menghampiri istrinya yang duduk bersama Ibel di sofa yang sudah rusak parah tersayat-sayat senjata tajam.
"Maaf Bel, kamu bahkan sampai terluka begini." ucap Ibra begitu melihat kaki pria itu bengkak dan terbalut perban.
"Tidak apa-apa, tapi studionya hancur." sahut Ibel.
"Kamu beritahu yang lain untuk libur dulu, aku akan meminta orang untuk membereskan tempat ini." ujar Ibra.
"Ok," Ibel mengangguk, lalu berjalan terseok menghampiri pegawai mereka yang masih tampak shock.
"Sialan!" Ibra mengumpat keras melihat keadaan disana, sedang istrinya tampak diam menahan marah.
"Mereka benar-benar keterlaluan! Bisa-bisanya membuat onar disini, padahal mereka pasti tahu aku yang dicari tidak berada di tempat ini." ucap Freya kesal.
"Kamu tahu mereka sedang mengincarmu, kenapa malah sembrono langsung kesini Yang? Bagaimana kalau ternyata ini hanya pancingan dan mereka sengaja menunggumu di luar sana?!"
Mungkin karena terlalu khawatir, jadi suara Ibra terdengar lebih keras seperti membentak. Freya mendengus kesal, matanya tampak menatap suaminya marah.
"Ini studioku, aku bertanggung jawab penuh pada keselamatan semua pegawaiku di sini Bang! Mana mungkin aku diam saja di rumah, sedang tempatku dihancurkan orang tidak dikenal dan pegawaiku ada yang terluka?!" balas Freya kesal.
Dia menepis tangan suaminya yang berusaha meraihnya. Sejak kemarin mood nya sudah berantakan, ditambah sekarang studionya hancur dan rekan kerjanya terluka. Masih belum cukup, suaminya juga mulai membentak dan menyalahkannya.
"Aku bisa mengurusnya, terlalu bahaya kalau kamu datang kesini." jelas Ibra.
"Jangan perlakukan aku seperti orang bodoh yang tidak berguna! Aku tidak selemah itu, lagipula ada Rita dan Kris yang selalu mengawalku. Apa itu belum cukup? Aku bosan dikurung di rumah terus," ucap Freya ketus, lalu beranjak pergi begitu saja.
"Tunggu Yang!" seru Ibra mengejar istrinya yang melangkah cepat menuju ke halaman dimana mobilnya diparkir.
"Freya!"
Sayang sebelum dia sempat meraih pintu mobil istrinya, kendaraan mereka sudah melaju pergi meninggalkan studio. Ibra mengumpat keras, masalahnya sudah menggunung dan sekarang masih ditambah istrinya yang ngambek.
Dia tahu Freya merasa tertekan dengan kondisi mereka yang terus berada di bawah ancaman, tapi Ibra juga tidak punya pilihan selain over protektif demi keselamatan anak istrinya.