Bab.2 Titik Terang

1359 Words
Ibra membuka pintu dengan cepat setelah merogoh sesuatu dari bawah jok depannya. Senjata di tangannya membidik mobil hitam di depan sana. Suara letusan terdengar menggelegar, disusul derit keras rem mobil mereka yang kehilangan kendali. Sayangnya sebelum dia sempat melepaskan peluru kedua yang mengarah ke ban satunya lagi, satu mobil lain tiba-tiba melaju dari arah belakang menghalangi targetnya. Ibra tidak bodoh, jelas mereka masih satu komplotan hingga membuatnya harus kehilangan kesempatan membekuk Budiman Angoro yang sudah mulai berani menampakkan batang hidungnya. "Jangan gila kamu, Ib!" seru Bian merampas senjata di tangan Ibra. "Sial!" teriak Ibra marah, tangannya menggebrak keras atap mobilnya dengan mata berkilat nanar. "Aku sudah bilang, jangan gegabah meladeni mereka sekarang. Kamu hanya akan membuat Freya semakin ketakutan, bodoh!" Ibra mengusap wajahnya kasar, nafasnya masih memburu dihantam amarah karena hampir membuat istrinya kembali celaka. Apalagi melihat Budiman Anggoro yang menyeringai menantang, dia menyesal setengah mati kenapa dulu tidak sekalian melempar pria tua itu ke neraka. "Mobil ban kita pecah, saya akan menggantinya sebentar." ucap Kris. Bian menepuk bahu Ibra pelan, berusaha menenangkan sahabatnya yang masih gemetar menahan emosi. Sedangkan Reza berdiri menatap awas jalanan sepi di sana, berjaga-jaga kalau akan ada yang datang lagi membuat ulah. Ibra baru saja hendak membuka pintu untuk melihat keadaan istrinya, ketika mendengar peringatan dari Reza. "Awas!" ucap Reza waspada ketika ada mobil sport merah yang menyusul berhenti di belakang mobil mereka. Mereka berbalik, Rita berdiri di luar pintu samping Freya. Sosok pria yang kemudian keluar dari sana membuat Ibra mendengus keras. Terlalu banyak kebetulan, kemunculan Arya Prayoga semakin menguatkan dugaan Ibra kalau pria ini memang sengaja ingin bermain-main dengannya. "Wah, ada apa ini? Butuh bantuan?" ucapnya sambil melirik Kris yang hendak mengganti ban mobil mereka. "Seharusnya aku yang bertanya, kebetulan macam apa lagi sampai kamu datang di saat seperti ini? Membuntuti kami sepertinya lebih menarik untukmu, daripada menikmati pesta di villa." sindir Ibra dengan tatapan sinisnya, tapi pria itu justru tertawa terkekeh. "Wah, fitnah itu namanya. Ini jalan umum Bung, apanya yang salah kalau aku juga lewat sini?" balasnya menyebalkan. "Fitnah atau bukan, aku pasti akan cari tahu semua. Menjauhlah dari apa yang bukan menjadi urusanmu! Hanya pencuri yang biasanya datang diam-diam lewat belakang. Kenali dulu tuan rumahnya, sebelum terlanjur masuk dan keluar tinggal nama." ucap Ibra penuh peringatan. "Siapa tahu saja bukan pencuri, tapi orang yang mau menagih hutang. Coba ingat-ingat lagi, mungkin kamu punya hutang yang belum dibayar." Bian yang berdiri menyandar mobil di samping Ibra menatap Arya Prayoga lekat. Pantas saja baru sekali bertemu Ibra langsung dibuat meradang, mulut pria ini memang tidak kalah tajamnya. "Tidak semua tangan yang kotor selalu bisa dicuci bersih, tanganmu adalah salah satunya. Aku heran, apa istri cantikmu tidak jijik disentuh tanganmu yang belepotan darah? Atau malah jangan-jangan dia tidak tahu orang seperti apa yang menjadi teman tidurnya?" imbuhnya dengan senyum mengejek. "Kita tidak pernah punya urusan, jadi jangan coba-coba membuat masalah denganku sialan!" ucap Ibra geram. Bian buru-buru mencekal lengan Ibra yang hendak menerjang maju menghajar mulut kurang ajar pria itu. Arya Prayoga tampak tersenyum puas melihat Ibra yang mulai tersulut, bahkan dia sama sekali tidak gentar saat Reza merangkulnya dengan pisau kecil menekan pinggangnya. "Jangan seperti banci yang hanya berani memancing keributan di depan perempuan yang sedang ketakutan. Aku tahu kamu sengaja karena sekarang ada Freya di sini. Ibra mungkin masih akan berpikir dua kali untuk menghajar mulut kurang ajarmu, tapi tidak denganku!" ucap Reza datar, tangannya semakin menekan ujung pisaunya ke pinggang pria itu. Arya Prayoga tertawa, matanya tertuju pada sosok Freya yang masih berada di dalam mobil dengan dua bodyguard berdiri awas di kedua sisi pintu. "Pakai otakmu, jangan asal mengancam tanpa melihat tempat dan situasi! Kalau aku mau, bukan hal yang sulit untuk membuat kalian terkubur di dasar jurang bawah sana!" ancamnya. "Coba saja! Kita lihat siapa yang akan lebih dulu berangkat ke neraka!" gertak Ibra. Arya Prayoga menepis kasar tangan Reza yang merangkul bahunya, lalu dengan tenang merapikan kembali jas hitam yang dia kenakan. Matanya menatap Ibra tajam, seringai di bibirnya tampak buas menantang. "Jaga istri cantikmu baik-baik! Kasihan kalau sampai nanti anak kembarmu yang masih kecil tidak punya mama," ucapnya sebelum kemudian berbalik dan melangkah masuk ke mobilnya. "b******k sialan!" umpat Ibra marah, tangannya yang terkepal tampak gemetar. Mobil sport warna merah itu melaju kencang meninggalkan suara menggerung keras. Hanya beberapa saat setelahnya beberapa mobil meluncur mengiring di belakang Arya Prayoga. Ternyata pria itu tadi tidak cuma menggertak, dia benar-benar membawa anak buah yang tidak sedikit jumlahnya. Bian dan Reza hanya saling lirik melihat Ibra yang masih berdiri mematung. Dia menggeram marah, lalu menendang keras ban mobil mereka yang pecah terkena tembakan. Arya Prayoga, bahkan mereka tidak saling kenal tapi pria itu begitu berani menyulut masalah dengannya. "Kamu telepon Naresh, Yan. Suruh dia nanti malam menemuiku di rumah. Freya sepertinya shock, tidak mungkin mau tinggal keluar.'' ucap Ibra. "Ok," sahut Bian. Ibra menghela nafas panjang menatap istrinya yang duduk menyandar dengan mata terpejam rapat. Mamanya pasti akan mengamuk kalau tahu menantu kesayangannya kembali terusik. Rita beranjak menjauh saat Ibra mendekat ke arah pintu samping istrinya. Setelah mengetuk kaca jendela, Ibra membuka pintu dan mengusap kepala Freya lembut. "Yang …" Freya membuka matanya perlahan, d**a Ibra mencelos melihat sisa basah di netra istrinya. Sambil menunduk diraihnya tangan Freya yang masih tampak gemetar. Dia tahu, kejadian tadi pasti membangkitkan ingatannya pada kecelakaan tragis yang menimpanya dan juga telah merenggut nyawa Dini. "Jangan takut! Selama masih ada aku, tidak akan ada yang bisa menyakitimu." ucapnya menggenggam hangat tangan istrinya yang berkeringat dingin. "Aku hanya berpikir, kalau sampai kita celaka bagaimana dengan Langit dan Jingga." gumamnya lirih dengan suara parau menahan tangis. "Itu tidak akan terjadi. Kalau dulu aku bisa melemparnya ke penjara, maka sekarang aku juga lebih dari mampu untuk membuatnya kembali membusuk di sana." sahut Ibra. Freya menatap lekat suaminya, orang biasa tidak mungkin menyimpan senjata. Dia bukannya tidak tahu, kalau pria yang telah memberinya sepasang anak kembar ini punya sisi gelap yang selalu disembunyikan darinya. Kematian Yoga Aditama, Sonia dan juga Ega dengan cara yang begitu tragis jelas tidak mungkin hanya sebuah kebetulan. Toh meski sejak awal Freya sudah punya jawabannya, dia memilih menghapus semua dari ingatannya. Mau seperti apapun suaminya, baginya Ibra adalah pria terbaik yang telah rela melakukan segalanya demi dia. "Masih takut?" tanya Ibra melihat istrinya yang malah diam menatapnya lekat. "Tidak, kan ada Abang." jawabnya mencoba tersenyum. Ibra kemudian menggandengnya keluar, lalu melepas jasnya untuk dipakaikan ke istrinya. Hawa sore di daerah puncak semakin dingin, sedang Freya mengenakan gaun lengan pendeknya. "Kita tunggu sebentar, Kris harus mengganti dulu ban mobil yang pecah." Freya mengangguk, lalu mengikuti langkah Ibra yang membawanya duduk di sebongkah batu besar. Bian tampak mondar-mandir dengan ponsel menempel di telinga, wajahnya tampak serius entah dengan siapa dia sedang bicara. Ibra mendecih melihat Reza yang berjongkok dengan wajah merengut mengamati mobil kesayangannya yang sedikit ringsek bagian depannya. "Sialan! Aku bahkan baru membelinya sebulan yang lalu," umpatnya kesal. "Kenapa marah? Kan kamu sendiri yang menabrakkannya?" sahut Ibra tanpa sedikitpun rasa bersalah. "Sudah ditolong tidak tahu terima kasih," gerutu Reza dengan tatapan jengkelnya. "Aku tidak minta," balas Ibra enteng. "Terima kasih ya Za, nanti mobilnya aku yang benerin." ucap Freya kalem. "Tidak apa-apa, Frey. Cuma mobil, besok aku bisa beli lagi kok." sahutnya tersenyum menggeleng membuat Ibra meradang. "Dasar cari muka!" cibir Ibra ketus, tapi Reza sama sekali tidak menggubris. "Aku sudah tanya ayah mertuaku siapa Agung Prayoga," ucap Bian yang mendekat setelah selesai menghubungi mertuanya. ''Siapa?" tanya Ibra penasaran. "Dia masih punya hubungan kerabat jauh dengan Budiman Anggoro. Agung Prayoga juga lah yang menghalangi usaha ayah mertuaku saat berusaha membantumu mendapatkan bukti korupsi Budiman Anggoro." jelas Bian. "Apa itu berarti dia juga yang sudah membantu Budiman kabur?" sela Reza. "Sepertinya iya, kalau tidak mana mungkin bisa begitu kebetulan tua bangka itu muncul hampir bersamaan dengan anak Agung Prayoga di sini." ujar Bian. Ibra masih dengan diamnya, otaknya sibuk mencerna apa yang baru bian sampaikan. Sepertinya dia mulai menemukan titik terang dalang di balik kaburnya Budiman Anggoro. Tinggal minta Naresh mengupas habis tentang Agung Prayoga dan anaknya, maka selanjutnya bukan hal sulit lagi untuk membekuk Budiman Anggoro. Tentu saja dia tidak akan mengembalikan koruptor itu ke penjara, tapi melemparnya ke neraka menyusul anak perempuannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD