Bab.4 Serangan Susulan

1382 Words
"Kalian bertengkar? Freya tidak keluar dari kamarnya sejak pulang dari Seven tadi sore," tanya Jonathan saat berpapasan dengan menantunya yang baru pulang dari kantor. Ibra meringis, semakin merasa tidak enak hati karena setelah membuat anak istrinya terseret dalam masalahnya, sekarang studio Freya dan pegawainya pun ikut jadi korban. "Saya hanya minta Freya untuk tidak bertindak gegabah, Pa. Tadi siang dia langsung datang ke Seven, padahal bisa saja mereka membuat onar di sana karena ingin memancing Freya keluar. Mungkin karena terlalu khawatir, saya malah tidak sengaja membentaknya." jelas Ibra jujur mengakui kesalahannya di depan sang mertua. Jonathan tampak mengangguk mengerti tanpa berniat menyalahkan menantunya. Biarpun tinggal satu atap, tapi dia dan istrinya tidak pernah ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Hanya saja sebagai ayah tidak mungkin dia berdiam diri melihat anaknya yang pulang dengan wajah murung, apalagi kemudian Freya mengurung diri di dalam kamar. "Kalau ada masalah bicarakan baik-baik. Akhir-akhir ini perasaan Freya lebih sensitif, jadi kamu juga harus lebih sabar menghadapi dia yang gampang marah." ucap Jonathan. "Saya tahu, Pa." sahut Ibra mengangguk. Jonathan menepuk pelan bahu menantunya sebelum kemudian kembali ke kamarnya. Suasana rumah yang menyisakan temaram, tampak lengang karena waktu sudah hampir menyentuh tengah malam. Perlahan Ibra membuka pintu kamarnya dan dengan hati-hati menutupnya kembali. Senyum di bibirnya merekah lebar begitu melihat anak dan istrinya yang tertidur lelap di atas ranjang. Hingga beberapa saat lamanya dia bahkan masih betah berdiri menyandar menatap mereka lekat. Setelah melalui kisah pahit penuh air mata dan darah, mana mungkin dia akan kembali membiarkan mereka mengusik kebahagiaan hidup keluarganya. Tidak masalah kalau kali ini dia harus mengotori lagi tangannya dengan darah, karena seujung rambut pun Ibra tidak akan membiarkan mereka menyentuh anak dan istrinya. Freya menggeliat bangun begitu anak laki-lakinya terjaga dan merengek minta s**u. Dia sempat terkejut mendapati suaminya yang sedang berdiri menyandar dan menatap ke arahnya. "Biar aku yang buatkan susunya," ucap Ibra bergegas keluar. Freya buru-buru menggendong Langit supaya tidak membangunkan Jingga. Biasanya si kembar tidur bersama baby sitter nya di kamar sebelah. Hanya saja sejak Budiman Anggoro kabur dan hidup mereka mulai terancam, Freya yang selalu merasa tidak tenang kemudian lebih memilih membawa mereka tidur bersamanya. "Kamu tidur saja lagi, Langit aku yang urus." ucap Ibra yang datang dengan sebotol s**u untuk anaknya, tapi Freya tampak menggeleng. "Tidak usah, Abang mandi saja sana!" sahutnya mengambil botol di tangan suaminya, lalu kembali membaringkan Langit di samping Jingga. Freya tahu suaminya pasti capek setelah lembur sampai selarut ini, mana mungkin dia tega membiarkannya ikut mengurus anak. Ditatapnya Langit yang dengan mata terpejam sedang menyedot botol susunya, lalu beralih ke Jingga yang masih lelap dalam mimpinya. Dia tidak tahu harus sampai kapan terkekang dalam ketakutan seperti ini. Perlahan Freya melepas botol s**u anaknya yang sudah kosong, lalu meletakkannya di nakas samping tempat tidur. Ibra yang baru selesai mandi mencium pipi kedua anaknya penuh sayang, kemudian menyusul berbaring di belakang istrinya dan memeluknya. "Kamu masih marah?" "Masih," jawab Freya ketus. Dia berusaha bergeser menjauh, tapi pria menyebalkan itu justru semakin erat memeluknya. "Maaf, tadi aku terlalu khawatir kamu kenapa-napa sampai tidak sadar sudah membentak. Jangan marah lagi ya Yang?" ucap Ibra berusaha membujuk istrinya yang sedang merajuk. Freya merengut kesal, perasaannya sama hancurnya dengan studio foto miliknya yang hari ini jadi sasaran balas dendam Budiman Anggoro. Dia juga merasa bersalah sudah membuat Ibel dan pegawainya yang tidak tahu apa-apa ikut terseret dalam masalah ini. "Yang … maaf." gumam Ibra mencium dan mengendus ceruk leher istrinya. Melihat Freya yang masih saja betah membungkam, Ibra kembali memutar otak mencari cara untuk mendapatkan maaf. Menyelesaikan masalah di tempat tidur baginya jauh lebih mudah, karena biasanya istrinya lebih gampang dibujuk. "Ya sudah kalau begitu kamu ganti bentak aku sini, Yang! Tapi janji setelahnya jangan marah lagi, ya?" ucap Ibra. Benar saja, Freya kemudian berbalik dan mendusel masuk ke pelukan suaminya. Ibra mengulum senyum mendekap istrinya erat. "Maaf, aku juga tidak menyangka mereka akan bertindak sejauh itu dengan menyerang Seven dan melukai rekanmu. Aku sudah menyuruh orang untuk membereskan semuanya. Seminggu lagi dijamin pasti beres dan mereka sudah bisa bekerja lagi," ujar Ibra. "Bagiku Seven itu sangat berharga, karena aku dan mama bekerja mati-matian untuk bisa membangunnya. Sumpah, rasanya sakit banget melihat semua hancur berantakan tak bersisa. Apalagi sampai Bang Ibel juga ikut terluka," ungkap Freya. "Kami sedang berusaha keras memburunya, semoga bisa secepatnya menemukan keberadaan Budiman Anggoro. Lain kali tolong jangan gegabah keluar meski ada Rita dan Kris, Yang." ucap Ibra. "Maaf," gumam Freya lirih. Ibra menunduk, mencium kening istrinya lembut. Tadi siang dia sudah hampir jantungan saat ditelpon oleh Rita yang memberitahu kalau Freya ngotot minta diantar ke Seven. "Sabar dulu, aku tahu kamu merasa tertekan dengan keadaan kita sekarang. Kalau kamu gegabah dan sampai terpancing, masalahnya akan menjadi lebih rumit lagi Yang." ujar Ibra "Mereka seperti orang gila yang tidak punya perasaan, aku cuma takut kalau sampai anak-anak kenapa-napa." ucap Freya dengan suara serak menahan tangisnya. Tidak, bahkan sekedar membayangkan pun dia tidak sanggup kalau seandainya Langit dan Jingga tersentuh oleh mereka. Freya sanggup kehilangan apapun asal bukan anak, suami, keluarga dan orang-orang terdekatnya. Cukup sekali dia merasakan sakit saat harus kehilangan Dini, entah apa jadinya kalau semua harus terulang lagi nantinya. "Tidak akan, selama ada aku siapapun itu tidak akan pernah bisa menyakiti kalian." sahut Ibra. Freya mulai memejamkan matanya, wangi sabun yang tercium dari tubuh suaminya selalu terasa lebih wangi di hidungnya. Seberapapun keras mereka mencoba menjatuhkan mentalnya, dia tidak akan berlutut menyerah. Karena Freya tahu, menjadi istri seorang Ibra Abraham tidak akan pernah mudah. Budiman Anggoro bisa jadi bukan orang terakhir yang datang menuntut balas ke suaminya. "Yang …" "Hm …" "Kamu sudah tidak marah kan?" tanya Ibra. "Masih," jawab Freya asal. "Marah kok main peluk?" goda Ibra. Kakinya dengan cepat mengunci tubuh istrinya yang sudah mau berbalik membelakanginya lagi. Freya hanya bisa mendengus kesal diperlakukan seperti guling oleh suaminya. "Lepas!" "Tidur Yang!" sahut Ibra tersenyum menang. "Aku mau ke toilet!" protes Freya. "Bohong banget," balas Ibra mulai memejamkan matanya. Freya yang sudah terlanjur gemas kemudian menggigit lengan suaminya. Bukannya bebas, tapi pria itu terlonjak bangun dan menyeretnya ke arah sofa. "Aku beneran kebelet mau ke toilet, Bang!" seru Freya yang tahu apa isi kepala suaminya. "Temani aku melemaskan otot dulu di sofa,'' ucap Ibra. "Nanti anak-anak bangun!" sahut Freya setengah berbisik. "Makanya jangan berisik, Yang!" "Ck, Abang sebenarnya mau apa?" "Nggak usah sok lemot, tentu saja bikin adiknya Langit dan Jingga!" jawab Ibra melirik istrinya yang cemberut. Tiba-tiba Freya menepis cekalan tangan suaminya, tapi sebelum sempat dia berbalik kembali ke tempat tidur suaminya sudah mengangkat tubuhnya dan membantingnya di atas sofa. *** Ibra yang baru sebentar terlelap terpaksa bangun karena ponselnya terus bergetar. Hal pertama yang dia lakukan adalah menyingkirkan kaki Jingga yang nangkring di wajahnya, lalu meraih ponselnya. Matanya mengernyit tajam mencoba melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Seketika berbagai pikiran buruk berkelebat di kepalanya begitu tahu Dirga yang menghubunginya. "Ada apa?" tanyanya lirih, khawatir akan membangunkan anaknya. "Bang Ibra bisa ke hotel sekarang?" Merasa ada yang tidak beres Ibra segera bangun, adiknya tidak mungkin akan menghubunginya selarut ini kalau memang masalahnya tidak benar-benar genting. Dia beranjak menjauh setelah meletakkan bantal di tepian tempat tidur supaya anaknya tidak terjatuh. "Ada masalah apa di hotel, Ga?" tanya Ibra berdiri di depan jendela, menatap luar yang tampak gelap gulita. "Mereka menyerang hotel, Bang. Bagian lobi hancur berantakan dan disiram pakai cat merah disana sini." ujar Dirga dengan suara gemetar. "Sialan!" Tanpa sadar Ibra mengumpat keras, tangannya terkepal menahan amarahnya yang meluap. Mereka semakin berani menantangnya. Setelah kejadian di puncak, penyerangan studio Freya dan sekarang ganti hotelnya yang jadi sasaran target. "Kamu bersama siapa disana?" "Enda dan Bang Reza." jawab Dirga. "Aku kesana sekarang," ucap Ibra mengakhiri pembicaraan mereka, lalu segera mengganti pakaiannya. "Yang …" panggil Ibra pelan sambil mengusap kepala istrinya yang tidur lelap " Frey …" panggilnya lagi, kali ini mata Freya perlahan terbuka. "Hm?" gumamnya mengernyit bingung. "Dirga barusan telpon ada masalah di hotel, jadi aku harus kesana sekarang juga." pamit Ibra. Freya tersentak bangun, kantuknya seketika hilang berganti cemas menatap suaminya yang bahkan sudah bersiap berangkat. "Apa mereka berulah lagi?" tebaknya. "Iya, aku berangkat sekarang." ucap Ibra mencium istrinya sebelum melangkah keluar. "Hati-hati Bang!" Ibra mengangguk, lalu bergegas keluar menuju ke garasi. Dia bersumpah akan membuat Budiman Anggoro dan orang-orang yang membantunya itu menyesal telah berani bermain api dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD