Ibra menyapa ramah beberapa rekan bisnisnya di acara jamuan makan yang digelar di villa daerah puncak. Tangannya tak pernah lepas merangkul pinggang istrinya yang berdiri anggun di sampingnya.
Freya tidak menyukai pesta, tapi sesekali dia tetap datang mendampingi suaminya yang sejak dua tahun terakhir menduduki kursi pimpinan utama LinZone. Tanggung jawab yang seharusnya dia pikul sebagai putri tunggal Jonathan Lin, namun kemudian diambil alih oleh suaminya karena dirinya tak mungkin sanggup.
"Bang Abi dan Sasha mana?" tanya Ibra ketika menghampiri kedua sahabatnya, Bian dan Reza yang juga ada di sana.
"Barusan pamit pulang setelah ditelpon orang rumah, bayinya panas dan muntah-muntah lagi." jawab Bian.
"Juna memang dari kemarin sudah rewel, makanya Sasha tadi hampir urung ikut Bang Abi datang kesini." sahut Freya.
Mata Ibra menyapu setiap sudut ruang, menelisik awas setiap tamu sekedar untuk memastikan tidak ada ancaman yang mengintai istrinya. Itu yang selalu dia lakukan semenjak Budiman Anggoro kabur dari penjara dan berkeliaran di luar sana untuk menuntut balas.
"Sudah ada kabar?" tanya Reza.
"Belum," jawab Ibra menggeleng.
"Setidaknya sampai sekarang dia tidak membuat ulah," ucap Bian sembari menyesap teguk terakhir minuman di gelasnya.
"Justru itu yang perlu kita waspadai, karena bukan tidak mungkin tua sialan itu sedang menunggu kita lengah dan tiba-tiba datang menghantam. Aku tidak mau kecolongan lagi seperti dulu," sahut Ibra dengan wajah masamnya.
"Anak istrimu sudah mendapatkan pengawalan dari bodyguard pilihan Ib, apalagi yang kamu takutkan?" ujar Bian menggeleng.
Ibra mendengus, genggaman tangannya semakin erat seolah takut terlepas. Cukup sekali dia lengah hingga membuat istrinya sekarat koma jadi sasaran balas dendam. Bukan hanya itu, dia juga harus kehilangan anak buahnya yang meregang nyawa ketika berusaha melindungi istrinya.
"Yang perlu kita perhitungkan bukan cuma Budiman Anggoro, tapi orang yang berada di belakangnya. Kalau dia bisa semudah itu membantu Budiman kabur, sudah pasti bukan orang yang bisa kita sepelekan."
Reza mengangguk setuju, apa yang dikatakan Ibra memang ada benarnya. Ada yang lebih berbahaya dari gunung es di tengah lautan, bongkahan kasat mata di bawahnya bisa jadi lebih mematikan. Selama Budiman Anggoro belum bisa disingkirkan dan menemukan dalang di baliknya, sudah sepantasnya mereka lebih waspada.
"Mau kemana?" tanya Ibra saat istrinya beranjak bangun dari kursinya.
"Ambil minum sebentar," jawab Freya mengedikkan dagunya ke deretan meja yang dipenuhi makanan dan minuman.
Freya menghela nafas, mendengar obrolan mereka semakin membuat perasaannya tidak tenang. Siapa sangka hidupnya yang mulai tenang, kini terusik dan didera ketakutan lagi.
Pandangannya tertuju pada jus jeruk yang tersisa satu gelas disana. Tepat saat dia hendak meraihnya, seseorang di sampingnya lebih dulu mengambilnya.
"Wah, sepertinya kita sehati." kelakar pria asing itu.
Freya menoleh, lalu menggeleng pelan saat pria itu mengulurkan jus jeruk yang kini sudah berpindah di tangannya.
"Tidak usah, saya bisa ambil minuman lain." tolaknya, tapi pria itu masih bersikeras memberikan gelas minumannya.
"Lady first, malu kalau saya harus berebut dengan wanita, apalagi secantik Anda." ucapnya dengan tatapan lekat dan senyum yang justru membuat Freya semakin merasa tidak nyaman.
"Terima kasih untuk minumannya," sahut Ibra yang tiba-tiba datang dan meraih gelas dari tangan pria itu sambil merangkul pinggang istrinya.
"Anda …"
"Ibra Abraham, ini istri saya Freya Lin." ucapnya datar.
"Freya Lin? Oh, jadi ini anak tunggal Jonathan Lin yang pernah hilang itu rupanya." celetuknya semakin membuat Ibra meradang. Ucapannya benar-benar terdengar tidak sopan.
"Maaf, tadi kami hanya kebetulan menginginkan minuman yang sama dan kebetulan juga hanya menyisakan satu gelas." jelasnya.
"Kebetulan?" sahut Ibra menatap tak suka.
"Sudah," tegur Freya mengusap pelan tangan suaminya yang semakin erat merangkulnya.
"Perkenalkan saya Arya Prayoga," ucap pria itu mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.
Ibra menyeringai, mengangkat tangannya yang memegang gelas minuman, lalu merangkul istrinya pergi begitu saja. Kebetulan katanya? Padahal mereka bertiga yang sejak awal mengawasi Freya, melihat jelas pria itu sengaja menghampirinya.
"Abang kenapa judes begitu? Nanti dikira kita sombong," ucap Freya saat mereka sudah kembali ke mejanya.
"Lemotmu memang sudah tidak ketulungan, Frey. Pantas saja Ibra ketar-ketir, kamu jadi orang jangan terlalu polos." cibir Bian tersenyum menggeleng melihat Ibra yang sudah dibuat gemas oleh istrinya.
"Pria tadi kan cuma memberikan minum dan memperkenalkan diri, tapi Bang Ibra malah galaknya minta ampun." sahut Freya.
"Cello saja lebih pintar menilai orang daripada kamu, Yang. Mulutnya terlalu lancang untuk ukuran orang asing yang bahkan baru kali ini bersapa," ucap Ibra kesal. Matanya masih tertuju pada pria yang kini tampak sedang mengobrol dengan tuan rumah.
"Dia anak sulung Agung Prayoga yang baru beberapa bulan lalu menggantikan ayahnya memimpin perusahaan," sahut Reza.
"Agung Prayoga?" ulang Bian dengan dahi mengernyit tajam, lalu menoleh menatap awas ke pria itu.
"Iya, kenapa?" tanya Reza.
"Aku seperti pernah mendengar mertuaku menyinggung nama Agung Prayoga, tapi lupa soal apa. Nanti coba aku tanya lagi sepulang dari sini," gumam Bian mengernyit masih berusaha menggali ingatannya.
Ibra kembali melempar pandangannya, tepat saat pria itu menatapnya dengan seringai aneh sebelum kemudian menghilang di antara kerumunan tamu undangan. Matanya terlalu jeli untuk menangkap maksud tersembunyi di balik sebuah kebetulan saat pria itu mendekati istrinya.
"Freya …"
Mereka menoleh, Freya tersenyum senang begitu melihat Elina teman sekolahnya dulu menghampiri meja mereka. Hanya saja keberadaan pria yang datang bersama Elina itu membuat Freya seketika merasa jengah.
"Tumben kamu mau datang ke acara seperti ini?" tanya Freya menyambut pelukan hangat Elina, sedang suami temannya itu tampak berdiri canggung di belakangnya.
"Karena digelarnya di puncak, aku pikir acaranya pasti lebih menyenangkan." jawab Elina.
"Apa kabarnya Nisya, Pak Hanung?" celetuk Bian sontak membuat pria itu gelagapan.
"Yan!" tegur Ibra menggeleng.
"Nisya? Kalian kenal sekretaris suamiku?" tanya Elina penasaran.
"Kami pernah bertemu saat peresmian resort saudara Ibra di Bali, El." sahut pria itu dengan tatapan was-wasnya.
Freya meliriknya sinis, sedang Bian dan Reza tertawa mengejek. Bagaimana pria bernama Hanung Pratama itu tidak pucat pasi, karena mereka menangkap basah perselingkuhannya dengan sang sekretaris saat peresmian resort Ibra di Bali. Hal itu juga yang kemudian membuat orang tua Ibra menolak mentah-mentah tawaran kerjasama dari Hanung Pratama.
"Bagaimana kabar Si Kembar, Frey? Sudah berapa bulan sekarang?" tanya Elina.
"Kembar sehat, mereka sudah berusia satu tahun sekarang. Kapan-kapan datanglah ke rumah, ada banyak hal menarik yang bisa obrolkan." ucap Freya sambil melirik suami Elina yang semakin tampak gusar.
"Boleh, nanti aku hubungi lagi." sahut Elina.
Mereka tidak bisa menyembunyikan tawa gelinya saat pria itu buru-buru menggandeng istrinya pergi dari sana. Dia terus kelicatan tidak tenang seperti maling yang takut ketahuan.
"Ayo pulang, nanti anak-anak rewel!" ajak Freya ke suaminya.
Bukan hanya Ibra, tapi Bian dan Reza juga memilih ikut berpamitan ke tuan rumah. Hari sudah menjelang sore saat mereka melangkah keluar dari villa tempat acara digelar. Lagi, mata Ibra mendapati pria itu berdiri di balkon lantai dua. Menatap mereka lekat dengan seringai aneh di ujung bibirnya.
Ibra menggandeng istrinya masuk ke bangku belakang mobilnya. Dua orang yang duduk di bangku penumpang dan di belakang kemudi adalah bodyguard yang selalu mengawal kemanapun Freya pergi, Rita dan Kris.
"Jalan!" titahnya.
Mobil mereka mulai melaju pelan meninggalkan halaman luas villa, diikuti mobil yang dikemudikan oleh Reza bersama Bian. Ibra masih sempat menoleh, menatap sosok Arya Prayoga yang beranjak masuk dengan ponsel menempel di telinganya.
"Lihat apa?" tanya Freya.
"Tidak ada, lain kali lebih baik menghindar kalau bertemu lagi dengan pria yang tadi." ucap Ibra yang ditanggapi anggukan kepala oleh Freya.
"Kalian dengar kan? Lebih waspada lagi kalau melihat keberadaannya!" ujar Ibra ke dua pengawal istrinya.
"Baik Pak,"jawab mereka hampir bersamaan.
Freya menoleh, menatap lepas pemandangan indah di luar sana. Entah sampai kapan dia dan anak-anaknya harus terkekang dalam keadaan yang selalu menegangkan. Dia bahkan tidak kenal Budiman Anggoro, mantan pejabat yang dulu berseteru dengan suaminya dan berujung dengan dijebloskannya pria itu ke penjara atas kasus korupsi. Sialnya lagi ketika Budiman kabur dari tahanan, dia dan anaknya yang justru jadi target balas dendamnya.
"Maaf, jangan marah kalau sekarang kalian terpaksa harus terkekang dan lebih banyak berdiam diri di rumah." ucap Ibra saat melihat istrinya yang betah terdiam dengan wajah keruhnya.
"Tidak apa-apa," sahut Freya tersenyum kaku.
"Sabar dulu, paling tidak sampai kami bisa menyeret pria tua itu kembali ke penjara."
Freya mengangguk, Ibra merangkul istrinya hangat. Sampai detik ini Freya masih tidak tahu menahu akar masalah perseteruannya dengan Budiman Anggoroyang sebenarnya, selain keterlibatannya menjebloskan mantan mertua Aksa itu ke penjara. Mana mungkin Ibra berterus terang ke istrinya kalau Budiman Anggoro juga menuntut balas atas kematian Riana, anak perempuannya yang sakit jiwa dan sudah mati dia bunuh.
"Ada yang mengikuti," ucap Kris mulai waspada mengemudikan mobilnya.
Mereka menoleh ke belakang, satu mobil hitam tampak sedang berusaha menyalip mobil Reza yang melaju tepat di belakang mereka. Ibra mengangkat ponselnya yang mulai berdering, sedang satu tangannya merengkuh tubuh istrinya merapat.
"Awas hati-hati, Ib! Ada yang datang di belakang!" ucap Bian.
''Aku tahu," sahut Ibra.
"Berhenti dulu di tempat yang aman, kami akan coba menghalaunya. Ada Freya, jangan gegabah menghadapinya sekarang!" ujar Bian.
"Pinggirkan mobilnya, kita berhenti dulu!" titah Ibra.
"Awas Ib!" teriak Bian
Sayangnya sebelum Kris sempat menuruti perintah tuannya, mobil mereka mulai oleng setelah terdengar suara tembakan. Freya menjerit ketakutan, ingatannya seperti terlempar saat dulu mobil yang dia tumpangi mengalami kecelakaan hingga menyebabkan salah satu bodyguard nya meregang nyawa.
"Ibra!"
Suara teriakan Bian masih terdengar dari ponsel yang kini terlempar jatuh di atas jok, sedang Ibra melepas sabuk pengamannya dan memeluk istrinya erat.
"Sialan!" umpat Ibra marah.
Suara benturan terdengar keras, mobil mereka kembali oleng saat ditabrak dari arah belakang. Beruntung Kris dengan cepat berhasil mengendalikan mobilnya dan menepi ke pinggir. Namun, Freya kembali menjerit dengan tubuh gemetar saat terdengar suara tabrakan yang lebih keras dari yang tadi. Kali ini Reza yang sengaja menabrak mobil hitam itu untuk menghalaunya pergi.
Ibra menegakkan punggungnya, matanya masih bisa menangkap jelas pria tua yang duduk di bangku belakang mobil hitam itu menatapnya tajam, sambil menyeringai melambaikan tangannya yang memegang senjata. Dia, Budiman Anggoro.