Seumur-umur baru kali ini Ibra merasa tertampar dan dipermalukan habis-habisan. Bagaimana tidak, setelah penembakan ban mobilnya di puncak, kemarin siang studio milik istrinya diobrak-abrik dan sekarang mereka dengan berani mengacak-acak hotelnya. Dia seperti pria bodoh yang selama dua hari ini terus kecolongan dan membiarkan mereka menginjak-injak harga dirinya.
Matanya menatap nanar lobi Abraham hotel yang sudah berantakan dan kotor oleh siraman cat merah. Luar biasa nyali lawannya kali ini, bahkan berani menyulut api di tempatnya. Sayang caranya terlalu pengecut, Ibra akan dengan senang hati menghadapi mereka jika datang langsung dan menantangnya secara jantan.
"Bang Ibra lihat sendiri kan?! Sialan mereka! Beraninya hanya seperti banci main keroyokan saat yang punya rumah sedang tidak ada," umpat Dirga dengan wajah memerah menahan marah.
"Tidak ada yang terluka kan?" tanya Ibra, pandangannya menelisik kerusakan di setiap sudut dan para pegawainya yang sibuk membereskan sisa kerusuhan di sana.
"Tidak ada," jawab Enda menggeleng.
Ibra menghela nafas kasar, sejak berhasil kabur dari tahanan Budiman Anggoro sengaja mengajaknya bermain petak umpet. Dia terus bersembunyi, lalu tanpa diduga tiba-tiba keluar memukul dari belakang saat dirinya lengah.
Reza yang sedang sibuk bicara entah dengan siapa di telponnya sempat tersenyum mengangkat jempolnya. Ibra berharap informasi dari Naresh kemarin bisa membawa hasil dari gerak Xena dan para anak buahnya malam ini.
"Mana rekaman CCTV nya? Aku ingin memastikan apa tua bangka itu juga ada di antara pembuat rusuh," tanya Ibra ke Dirga, adik satu-satunya yang sekarang mengurus hotel ini setelah papa mereka pindah ke resortnya yang Bali.
"Ada di ruanganku," jawab Dirga.
"Jangan mengatakan apapun ke mama, dia pasti akan mengamuk kalau tahu studio Freya dan hotel kita diobrak-abrik seperti ini!" ucap Ibra.
"Xena dan yang lain kemana? Kenapa tadi saat aku hubungi mereka bilang tidak bisa kesini?" tanya Dirga merengut kesal.
"Mereka punya tugas yang lebih penting," sahut Ibra.
Reza mendekat dengan wajah sumringah, melihat itu Ibra semakin yakin rencana yang mereka susun semalam membuahkan hasil.
"Sudah dapat, tua bangka itu benar-benar berada di sana." ucap Reza.
"Tua bangka? Maksudnya kalian sudah menemukan Budiman Anggoro?" tanya Enda melotot kaget.
Dirga dan Enda tampak lega begitu melihat Reza mengangguk. Ibra menyeringai, setelah memburunya sekian bulan akhirnya dia bisa mendapatkan penjahat tua itu.
"Bisa jadi Budiman Anggoro mengawasi langsung anak buahnya menyerang studio Freya dan hotel ini, karena Erwin bilang dia baru saja kembali ke tempat persembunyiannya." ucap Reza.
"Kita bisa cek di CCTV," sahut Ibra.
Mereka sudah mau beranjak naik ke lantai atas, namun kemunculan seseorang yang baru saja keluar dari lift itu benar-benar membuat Ibra meradang. Orang bodoh juga tidak mungkin akan percaya kalau keberadaan Arya Prayoga di sini adalah kebetulan. Dia tidak sendiri, seorang wanita berpakaian kurang bahan tampak berdiri di sampingnya.
"Wah, sepertinya aku sudah melewatkan sesuatu. Payah! Hotel semewah ini ternyata bukan cuma fasilitasnya yang mengecewakan, tapi keamanannya juga perlu dipertanyakan." cibirnya.
"Jangan asal bicara kamu!" bentak Dirga, Ibra menarik lengan adiknya yang hendak menarik kerah kemeja pria itu.
"Apa ini juga sebuah kebetulan?! Apa maumu sebenarnya datang kesini?" ucap Ibra, tapi Arya Prayoga justru tertawa terkekeh sambil merangkul wanita di sampingnya.
"Aku hanya penasaran ingin mencoba senyaman apa hotel yang katanya berkelas ini, tapi nyatanya mengerikan seperti tempat jagal. Pantas saja tempat tidurnya bau anyir darah, karena yang punya juga preman berdasi." cemoohnya enteng.
Ibra menatapnya datar, memilih untuk tidak tersulut omongan Arya Prayoga yang sengaja ingin memancing kemarahannya. Keberadaan pria ini di hotelnya saat terjadi kerusuhan jelas sudah direncanakan. Entah niatnya ingin mengejek dan mempermalukan dirinya, tapi itu cukup membuktikan kalau dia memang terlibat dengan kerusuhan ini.
"Ternyata kamu sama pengecutnya dengan Andra yang hanya berani meminjam tangan orang lain untuk memukul," cibir Ibra dengan senyum remehnya.
Mendengar nama Andra wajah tenang Arya Prayoga seketika memerah. Mungkin dia tidak menduga kalau Ibra mulai mencium hubungannya dengan pria yang sudah tinggal nama itu.
"Kalau bukan pencuri yang masuk rumah orang lewat pintu belakang, berarti banci yang tidak punya nyali untuk datang secara jantan." sindir Ibra.
"Jangan asal menuduh hanya karena kamu tidak becus mengatasi masalahmu! Bukankah sudah resiko punya tangan kotor sepertimu jika diburu banyak orang yang ingin menuntut balas." sahut Arya Prayoga.
Dia melempar senyum sinis sebelum kemudian beranjak dari sana, namun baru beberapa langkah kakinya kembali berhenti begitu mendengar peringatan dari Ibra.
"Aku bukan tipe orang yang tidak tahu terima kasih. Kiriman hadiah darimu pasti akan aku balas dengan yang lebih istimewa lagi!"
Ibra menyeringai melihat pria itu menatapnya dengan senyum remehnya yang menantang. Arya Prayoga sepertinya belum mengenal baik siapa Ibra. Pria yang tidak suka banyak bicara, tapi sekalinya terusik tidak pernah mengenal kata ampun.
"Aku tunggu! Seistimewa apa itu?!" tantangnya, lalu berbalik dan melangkah pergi.
"Sialan! Jadi dia orang di balik Budiman Anggoro," gumam Dirga.
Ibra meraih ponselnya yang berdering, masih dengan mata menatap nyalang punggung Arya Prayoga yang semakin menjauh dia mengangkat panggilan dari Xena.
"Mau langsung dikarungi atau kamu datang kesini?" tanya Xena.
"Aku kesana sekarang," ucap Ibra.
Reza tertawa terkekeh, saking jengkelnya sudah dibuat pusing oleh kelakuan Budiman Anggoro selama dua hari ini sampai Ibra mau datang sendiri menyeret pria tua itu.
"Kalian cek CCTV nya, aku dan Reza ada urusan lain!" ucap Ibra langsung nyelonong pergi dengan diikuti Reza yang bersiul senang.
Bodoh kalau Budiman kira bisa lebih lama bersembunyi dari kejaran Ibra. Sejak awal dia tahu seperti apa sepak terjang Ibra di dunia hitam, kembali mengusiknya sama saja dia sudah menggali lubang kuburnya sendiri.
***
Villa dua lantai tak jauh dari area pantai itu tampak lengang. Ibra kembali menghisap rokok di jepitan jarinya yang tinggal separuh, lalu membuangnya begitu saja. Matanya berbinar senang melihat Erwin yang melambaikan tangan begitu berhasil melumpuhkan beberapa anak buah Budiman yang sedang berjaga.
"Mau langsung kamu bereskan?" tanya Reza.
"Keenakan dia kalau langsung mati," jawabnya enteng sambil bergegas turun dari mobilnya.
Reza menyusul keluar, mengikuti langkah Ibra yang tampak ringan masuk ke dalam villa. Xena menunjuk ke pintu sebuah kamar yang tertutup rapat.
Ibra meraih belati kecil dari sakunya, hanya butuh beberapa detik untuk dia mencongkel pintu yang terkunci dari dalam itu. Tanpa suara dia melangkah mendekat ke tempat tidur dimana Budiman Anggoro sedang tertidur pulas.
Ujung runcing belati itu kemudian menempel di leher Budiman. Mata pria itu sontak terbelalak lebar, darah merembes keluar dari luka gores di lehernya begitu dia mencoba untuk bangun.
"Waktumu sudah habis, saatnya bangun dari mimpi pak tua." ucap Ibra dengan seringai buasnya.
''b******k sialan!" umpat Budiman meringis kesakitan.
Dia mendongak tak berkutik, bergerak sedikit saja sudah pasti ujung runcing belati itu akan semakin dalam menggores lehernya.
"Tikus tua sepertimu masih ingin bermain-main denganku, padahal aku sudah berbaik hati membiarkanmu membusuk di penjara." ucap Ibra.
"Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang setelah kamu membunuh anakku!" balasnya dengan mata berkilat marah.
"Tapi nyatanya hanya dua hari setelah kamu keluar dari persembunyian dan membuat ulah, aku sudah bisa memburumu. Kamu sama bodohnya dengan anakmu yang tidak waras itu, mau saja diperalat oleh Agung Prayoga dan anaknya."
"Apa pedulimu?!" desisnya dengan suara gemetar.
"Aku sama sekali tidak peduli, siapapun itu yang sudah berani mengusikku pasti akan tahu akibatnya. Sebentar lagi keinginanmu bertemu Riana akan terkabul. Aku baik kan?" ucap Ibra tersenyum lebar melihat wajah kaku dan pucat pasi pria tua di hadapannya itu.
"Awas!"
Xena berteriak begitu melihat tangan Budiman merogoh senjata dari bawah bantalnya, namun yang ada justru pria tua itu memekik kesakitan setelah belati Ibra lebih dulu menancap di tangannya. Reza segera menyingkirkan senjata yang jatuh di atas selimut itu, sedang Ibra menatap datar Budiman yang meringkuk menatap tangannya yang berlumuran darah.
"Itu belum seberapa dibanding istriku yang sudah kamu buat ketakutan. Tanganmu akan membayar lunas apa yang sudah kamu hancurkan. Tunggu sampai aku punya waktu, akan aku dongengkan bagaimana anak kesayanganmu itu mati di tanganku!" ucap Ibra, lalu mencabut kasar belatinya yang menancap di tangan Budiman Anggoro.
Pria itu meringkuk dengan jerit kesakitannya yang terdengar pilu. Ibra hanya menatapnya sekilas, sebelum kemudian beranjak keluar dari sana.
"Seret dia ke gudang dan bakar tempat ini!"