Little Thief's POV
"Jika kau berencana untuk membunuhku, kau bisa bilang dari awal. Jadi aku tidak perlu repot-repot dandan se-rapi ini."
Ucapanku mungkin terdengar tangguh. Tapi kenyataannya, aku bisa merasakan ketiakku mulai lengket dengan keringat begitu mobil yang dikendarai sang iblis memasuki kawasan perhutanan.
Jalanan ini sepi. Tidak beraspal. Hanya punya satu jalur yang dikelilingi pepohonan tinggi. Sejauh mata memandang, aku belum menemukan kendaraan lain yang melintas.
Lokasi yang sempurna untuk pembunuhan.
Azrael Leviathan Pereira bisa saja menipu publik dengan menjelma menjadi sosok politisi tampan yang duduk di kursi Parlemen. Tapi aku sudah melihat langsung dengan mata kepalaku sendiri, betapa dingin caranya mengambil nyawa seseorang.
Aku tidak berharap Azael membalas ucapanku, karena selama 20 menit kami berkendara, iblis itu memutuskan untuk mengacuhkan aku—kemungkinan besar karena kejadian canggung di dalam kamarku.
Tapi di luar prediksi, Azrael memberiku lirikan tajam, "Aku tidak jadi membunuhmu jika kau bisa duduk tenang dan tidak berisik.
Tidak jadi? Apa maksudnya tidak jadi? Apa dia awalnya berencana lalu tiba-tiba mengampunkan jiwaku?
Aku ingat betapa menjengkelkan ketika iblis itu tidak memberikan aku respon selama 20 menit penuh kami di dalam mobil—seolah aku hanya boneka yang duduk di kursi penumpang. Tapi ketika Azrael mulai membuka mulut, aku lupa aku lebih benci setiap ucapan yang keluar dari mulutnya.
Semoga iblis itu bisu selamanya.
"Kau lebih menyenangkan ketika sedang mencoba memasukkan jarimu ke dalam diriku." Aku mengatakan itu sangat-sangat pelan. Mengira, tidak mungkin Azael bisa mendengarku.
Tapi wajah kerasnya mendadak tegang—bahkan tulang pipinya sedikit memerah, "Shut up, Kiera."
Oh, sial. Sekarang aku tahu kenapa dia menggunakan namaku. Dia hanya melakukan itu ketika benar-benar marah.
Tapi, tunggu sebentar—apa aku baru saja membuat Azrael Leviathan Pereira merona? Aku?
Wow. Kekuatan super yang tak sadar kumiliki.
Kejadian langka itu membuatku tersenyum selama 3 detik penuh. Tapi lalu, aku teringat iblis macam apa Azrael ini. Bisa jadi senyum tiga detik itu adalah senyum terakhir dalam hidupku.
Jadi aku menuruti ucapannya. Mengunci bibir rapat-rapat sembari mencoba untuk tidak bergidik setiap kali tatapanku menangkap pemandangan pohon besar—yang terlihat sempurna untuk malaikat pencabut nyawa di sebelahku jika dia memang berencana mengirimku bertemu Tuhan.
Sialan. Range Rover besar ini mulai membuatku sesak nafas.
"Bolehkan aku menurunkan kaca?"
"Tidak." Iblis itu menjawab begitu cepat, bahkan tanpa sekali pun menoleh ke arahku.
"Tapi aku tidak sanggup menghirup udara yang sama denganmu."
Aku tahu aku bisa mati karena ini—menantang malaikat maut. Tapi begitu juga jika aku tidak segera mendapatkan udara segar. Tenggorokanku mulai terasa mencekik dan aku tidak bisa bernafas. Lebih baik mati karena peluru yang bersarang di kepala dari pada mati karena kehabisan nafas.
Kaca jendela di kedua sisi mobil bergerak turun, "Apa kau bisa diam sekarang?"
"Oh, Thank God!"
Baru lah saat itu, aku bisa bernafas. Menghirup oksigen yang berbau tanah dan daun segar. Angin musim semi berhembus dingin, meniupi wajah dan rambutku yang terikat ponytail.
"Terima kasih padaku, Little Thief. Bukan pada Tuhan." Ada keangkuhan dalam suara beratnya. Begitu juga pada sepasang mata hitam metalik yang mengawasiku dari sudut.
"Teruslah bermimpi, Yang Mulia."
Aku memilih menjulurkan kepalaku ke luar kaca untuk menikmati pemandangan pepohonan yang tidak lagi terlihat menyeramkan, dari pada harus melihat wajah iblis itu lebih lama.
"Aku tidak perlu bermimpi. Jika aku ingin, aku bisa membuatmu memuja diriku alih-alih Tuhan-mu, Little Thief." Sahutnya, dengan nada yang terdengar menggelikan.
Oh, sekarang iblis ini ingin berdebat? Bukannya tadi dia ingin aku diam?
Dan apa maksudnya bisa membuat aku memuja dirinya? Dia sudah gila?
"Apa pun katamu, Yang Mulia."
Aku punya banyak amunisi untuk menyerang balik, tapi aku memilih untuk menyimpan energi. Beradu mulut dengan Azrael tidak pernah pernah berakhir baik untukku—nyawa adikku adalah taruhan. Dan aku tidak ingin memberi iblis itu kepuasan untuk membuatku kesal.
Suara percikan api terdengar familiar di belakangku. Tak lama kemudian, udara segar terkontaminasi dengan aroma nikotin yang memabukkan.
Aku menoleh, menemukan Azrael menyetir dengan satu tangan, sedangkan yang satunya digunakan untuk menggenggam batang rokok menyala yang terhimpit di antara bibirnya. Asap beracun mengembus—sebagian berhembus ke luar jendela, sisanya menerpa wajahku.
Oh, sialan.
Mulutku mendadak dipenuhi saliva—rasanya asam. Aku tidak ingat kapan terakhir kali batang beracun itu memenuhi paru-paru. Yang kutau, aku rela membunuh untuk merasakannya lagi.
Aku meneguk ludah, "Apa kau tetap tidak akan membagi rokokmu denganku?"
"Kau tahu apa syaratnya, Little Thief." Sudut bibirnya naik sebelah, terlihat licik dan menggiurkan di saat bersamaan.
Tanpa perlu menyuarakan, aku bisa mendengar kata-kata itu: 'Minta baik-baik.'
Masalahnya, aku mungkin rela membunuh, tapi aku tidak yakin apa aku siap untuk membunuh harga diriku sendiri.
Azrael menyesap rokok dengan satu tarikan panjang. Asap putih keluar dari antara bibirnya, seperti air terjun, mengalir menuju hidung, dan menghilang. Kemudian bersamaan, berhembus keluar.
Sialan. Cara paling nikmat untuk menikmati sebatang rokok.
"Please..." Sebelum aku sempat berpikir, kata-kata itu keluar dari bibirku yang bergetar, "...berikan aku satu batang rokok, Azrael."
Seringai di bibirnya membentuk sempurna—licik dan menggiurkan. Alih-alih meraih kotak rokok, Azrael mengulurkan rokoknya yang tersisa setengah untukku.
"Kau serius?" Aku terlalu kesal untuk repot-repot menutupi tatapan tajam dan nada tinggi, "Aku mau yang baru!"
"Kau tidak akan menghabiskan satu batang rokok sendirian ketika akan bertemu dengan orang tuaku, little thief." Jemarinya bergoyang, membuat asap menghembus langsung ke wajahku, "Berbagi denganku atau aku akan menghabiskan sendiri."
Aku mengerti tujuannya—Azrael tidak ingin orang tuanya mencium aroma rokok dariku. Tapi aku tidak mengerti kenapa harus berbagi alih-alih membakar satu yang baru, lalu buang ketika sudah setengah?
"Bukannya dengan begini kita seperti ciuman secara tidak langsung, Yang Mulia?" Sahutku penuh sarkas, tapi tetap menerima ulurannya.
Azrael memandangku seperti kepalaku mulai tumbuh antena, "Kau menyedihkan."
Memilih mengabaikan hinaan itu, aku menyesap rokok dalam-dalam. Menikmati setiap tendangan nikotin yang memasuki paru-paru—berusaha tidak memikirkan rasa bibirnya.
God, kenapa rokok ini lebih nikmat dari terakhir kali aku mengingatnya?
Aku menyesap sekali lagi, membawa asapnya ke hidungku—mengikuti cara Azrael. Nikotin menghantam paru-paru dan otakku bersamaan. Oh, perasaan paling menyenangkan.
Jemari besar Azrael terulur, "Terlalu menikmati rasa bibirku, huh?"
Senyum yang tanpa sadar terbentuk di bibirku, lenyap seketika. Entah iblis apa yang merasuki, aku menggigit ujung rokok, meninggalkan bekas saliva dan bercak lipstick.
Dengan senyum kemenangan, aku menyerahkan rokok kembali padanya, "Please, enjoy my kiss, Your Highness."
Aku berharap dia merasa jijik. Tapi alih-alih, mata hitam itu mengunci tatapanku. Sudut bibirnya merekah, membentuk seringai licik. Tanpa keraguan, Azrael menyambut uluranku.
Dengan sebelah tangan pada kemudi, Azrael menyesap rokok itu dengan tarikan panjang sambil memejamkan mata—seolah dia sangat-sangat menikmatinya. Asap berhembus panjang dan perlahan dari antara bibir merahnya.
"Kau lebih manis dari yang kubayangkan, Little Thief." Azrael menjilat bibirnya, sembari menjulurkan seperempat rokok kembali padaku. "Kau boleh menghabiskannya."
Aku harusnya merasa jijik. Aku harusnya merasa mual. Aku harusnya… merasakan apa saja kecuali merasakan tubuhku mendadak terbakar hingga angin musim semi yang dingin tidak cukup untuk memadamkannya.
Aku terdiam, tidak punya amunisi untuk menyerang balik. Leherku lengket karena keringat. Aku meneguk saliva yang bergumul di mulutku, sebelum menerima ulurannya.
Hisapan terakhir dari rokok itu, rasanya seperti surga.
Tuhan, maafkan aku.
***
"Ingat semua instruksi yang sudah kuberikan."
Range Rover yang dikendarai Azrael melambat ketika memasuki pekarang Mansion yang berada di akhir jalan, sebelum berhenti di sebelah Mercedes Benz G-Class berwarna hitam. Walaupun berlokasi di kawasan terpencil, Mansion itu dibangun begitu megah tepat di pinggir jurang yang mengarah langsung ke hamparan Samudra.
Jiwa miskinku masih terlalu terpukau dengan pemandangan itu—tidak yakin pada mobil Off-road di sebelah atau kediaman megah bergaya Victoria di depan—ketika kotak kecil dari bahan beludru mendarat di pangkuanku. Azrael sudah keluar dari mobil ketika aku menoleh padanya untuk meminta penjelasan.
Nafasku tercekat di tenggorokan ketika aku membuka untuk melihat isi di dalamnya. Sebuah cincin dari mutiara Ruby berbentuk kristal salju duduk manis di dasar kotak. Cincin ini pemenangnya. Aku tidak bisa melepaskan tatapanku dari kilauan dan keindahannya.
Pintu di sebelahku terbuka, "Pakai itu di jari manismu." Ujar Azrael, dengan nada bosan. "Anggap saja cincin tunangan, hanya untuk menipu media."
"Apa kau memilih cincin ini sendiri?" Aku bertanya tanpa berpikir, mengutarakan isi pikiran—yang setelah kupikirkan sedikit lebih lama, terdengar sangat konyol.
Azrael bahkan menatapku seperti aku makhluk melata, "Aku terlalu sibuk untuk hal bodoh semacam itu."
Perkataan tajam dan ekspresi menjijikan di wajah Azrael harusnya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan konyolku. Tapi rasanya, sedikit mengganjal. Cincin Ruby itu seperti memanggil namaku.
Aku tidak bisa menahan senyum ketika mengenakan cincin itu jari manis. "Well, siapa pun yang memilihnya, orang itu punya selera yang bagus."
Azrael mengulurkan jemari, "Tentu saja."
Aku menggamit jemarinya, menggunakan sebagai pegangan ketika meloncat dari bumper Range Rover yang tinggi. Baru ketika aku berhasil mendarat di sebelahnya, aku memproses ucapannya.
"Katamu, bukan kau yang memilih cincinnya."
"Memang bukan." Azrael menggamit jemariku dan membawaku berjalan di sebelahnya, "Kita akan masuk, jadi jangan banyak tanya."
Tidak seperti ucapannya, Azrael terlihat sedikit tegang. Beberapa kali, jemarinya bergerak gelisah di rambutnya yang sedikit berantakan oleh angin.
Aku berjinjit untuk berbisik, "Kau punya selera yang bagus, Mr. Pereira."
Tiga detik penuh mata hitamnya mendelik tajam padaku. Yang kubalas dengan senyum kemenangan sambil mendongakkan dagu angkuh. Iblis itu tidak mengatakan apa-apa lagi.
Azrael berhenti di depan pintu megah, "Senyum." Perintahnya.
Aku memamerkan senyum paling lebar, "Sudah!"
Wajahnya mengerut masam, "Senyum yang anggun, bukan seperti monyet."
Oh, this motherfuc—
Sebelum aku sempat menyelesaikan sumpah serapah di dalam hati, jemari Azrael berpindah ke pinggulku. Aku terlonjak ketika merasakan jarinya menusuk titik geli yang membuat tubuhku menggeliat.
Dari sela-sela tawaku yang terbahak, aku memukul pundaknya, "Azrael, stop!"
Iblis itu menurut, "Nah, seperti itu." Senyum kecil merekah di sudut bibirnya.
Mendadak, tenggorokanku jadi kering, "Kau ngapain, sih?"
Azrael bergeser untuk menghadapku sepenuhnya, "Kau harus terlihat pantas untuk berdiri di sebelahku, little thief."
Jemarinya menjulur hendak menyentuh wajahku. Anehnya, aku tidak bergeser kali ini. Membiarkan iblis itu menyibak beberapa helai rambutku yang terlepas ke belakang telinga. Berakhir menggenggam daguku, sebelum ibu jarinya menyapu bibir bawahku.
Aku meneguk ludah, ketika tatapannya berlabuh di bibirku, "Kalau tidak?"
Musim semi agak panas tahun ini.
Mata hitamnya mengunci tatapanku, "Ayahku akan membunuhmu."