8. Dinner at Pereira's (2): "So sensitive, huh?"

1081 Words
Little Thief's POV Puji Tuhan Azrael hanya menggertak saat mengatakan akan mandi bersama. Iblis itu keluar setelah membuat pipiku bersemu. Dan membawa akal sehatku bersamanya—sisi kelam dari diriku yang berharap ucapannya tidak hanya sekedar gertakan saja. Maksudku, aku hanya gadis normal. Tidak ada perdebatan tentang ketampanan Azrael Leviathan Pereira. Jika seluruh warga San Myshuno melakukan pengambilan suara, mereka akan setuju. Sehingga, sulit sekali untuk menahan diri agar tidak menyentuh diriku saat berada di kamar mandi dan membayangkan wajah tampannya. Atau tatapan kelaparan di mata hitamnya ketika wajahnya mengulangi diriku, atau caranya menggenggam rahang— "Kau sudah selesai?" Celetuk suara di seberang pintu—suara malaikat pencabut nyawa. Sial! Sudah 2 jam berlalu?! "Lima belas menit lagi!" Teriakku panik. Aku bahkan belum selesai mengeringkan rambutku. Terlalu berlama-lama membaluri lotion di kulit kaki—sambil TIDAK memikirkan yang aneh-aneh! “Jangan mencoba terlalu keras untuk tampil cantik untukku, little thief. Itu akan menghabiskan waktu yang sangat, sangat, sangat lama.” Ugh! Satu menit berhargaku habis untuk mendengarkan ocehan konyol menyebalkan itu. Apa kalian pernah dirasuki kekuatan super saat sedang terburu-buru? Mendadak, aku punya keahlian itu: entah hal ajaib apa yang terjadi, aku berhasil mengeringkan rambutku lebih cepat dari biasanya. Karena gaun yang kukenakan sudah cukup mewah, aku hanya akan menata rambut menjadi ponytail sederhana. Menambal concealer pada area gelap di bawah mata. Memoles lipstick merah. Make-up and hairdo is finnished. Sekarang adalah bagian paling sulit: mengenakan gaun ketat berwarna merah menyala dengan bahan beludru yang punya resleting rendah. Sebelum mengenakan gaunnya pun aku sudah tahu, tidak mungkin bagiku untuk mengenakan gaun ini sendiri tanpa bantuan. Aku sedang mencoba meraih resleting ketika aku mendengarkan suara kenop pintu. "Lima belas menit-mu sudah berakhir, little thief." Ucap suara berat di luar pintu, "Aku akan masuk." "No—" Aku hendak berteriak, tapi suaraku tertahan di tenggorokan begitu Azrael Leviathan Pereira memasuki ruangan. Oh, Tuhan, beri aku kekuatan. Ketampanan Azrael malam ini adalah sebuah kejahatan. Jika aku seorang penegak hukum, aku akan melarang iblis itu untuk mengenakan tuxedo hitam seumur hidupnya. Dia akan membuat seluruh gadis sesak karena tidak bisa bernafas! Kain sutra memeluk tubuh kekarnya dengan sempurna. Dua kancing teratas kemeja hitam berbahan satin di dalamnya adalah yang paling parah. Apa dia sengaja memamerkan sedikit kulit dadanya untuk membuatku tidak bisa berkata-kata? Kalau iya, well... dia berhasil. "Air liurmu mau menetes, little thief.” Wajahnya keras, berbeda dengan nada suaranya yang menggoda. Iblis itu bersandar di kusen pintu sembari melipat tangan—menonjolkan otot bisep yang meronta ingin keluar. Ugh, aku menarik semua perkataanku. "Karena jijik." Aku memutar mataku, kembali bergelut dengan resleting gaun cantik sialan ini, "Aku belum selesai. Kau bisa kembali lagi dalam lima menit." "Kau tampak kesulitan." Azrael menutup pintu di belakangnya sebelum berjalan masuk, "Perlu bantuan, little thief?" Setiap langkah yang ia ambil mendekatiku, hawa panas semakin menyengat. Terlebih karena aku sadar, aku tidak mengunakan dalaman apa pun di balik gaunku yang sama sekali tidak mampu menyembunyikan punggungku. Gaun merah beludru ini jatuh hingga ke tumit, namun memiliki belahan kaki hingga mencapai setengah paha. Tipe gaun yang akan memeluk tubuhmu jika kau menarik resletingnya. Sehingga, memakai dalaman hanya akan menjiplak garis kain yang memalukan. Aku menghadap Azrael sepenuhnya untuk menyembunyikan punggungku, "Apa syaratnya? Kau tidak mungkin punya hati nurani untuk membantuku dengan suka rela." Azrael berhenti di depanku, "Kau tahu apa syaratnya, little thief. Kau gadis pintar.” Aku benci diriku sendiri karena justru sangat menyukai keangkuhan di wajah kerasnya. Tapi aku tidak akan memberinya kepuasan untuk mengetahui itu. "Lebih baik aku minta tolong pada Jack dari pada harus memohon padamu. Apa kau bisa panggilkan dia ke sini?" Rahangnya mengatup keras, "Jangan menguji kesabaranku, Kiera." Selama beberapa detik aku hanya diam, terlalu tercengang untuk membalas ucapannya. "Apa kau baru saja memanggilku dengan namaku?" Mulutku menganga dan aku tidak repot-repot menyembunyikannya, "Hell, kukira kau tidak tahu namaku." Azrael tidak menemukan ekspresiku lucu, "Berbalik." "Minta baik-baik." Kataku meniru ucapannya dengan senyum angkuh. Tatapan tajamnya seharusnya membuatku takut, tapi aku justru tertantang. "Dan panggil namaku saat kau melakukannya." "Aku tidak mengikuti perintah—" "Jack, apa kau bisa membantuku—" "Berbalik, Kiera." Azrael menggeram, dari sela-sela giginya yang bergemeletuk, "Cepat." Aku terdiam. Lalu melakukan apa yang ia perintah—seolah ucapannya adalah matra yang menggerakkan tubuhku. Berbalik menghadap meja rias, memandangi bayangan diriku dari cermin. Jangan tanya apa yang terjadi denganku karena aku sendiri tidak tahu. Aku mencoba untuk tidak gemetar ketika Azrael berhenti tepat di belakangku. Aku bisa melihat tatapannya mengintai tubuhku seperti mangsa yang mengintai predatornya. Tatapan itu terasa seperti api yang menyulut. Aku terlonjak ketika merasakan jarinya di pinggangku. Sentuhannya lembut, lalu berubah kasar dan mencengkram. "So sensitive, huh?" Ejeknya, dengan senyum licik. "Tidak, sialan." Aku mencoba tiba gemetar ketika jarinya menggelitik pinggangku, "Ini karena kau mengisolasi dari laki-laki. Apa yang menurutmu terjadi? Sudah seminggu sejak terakhir kali aku mendapatkan pelepasanku." Dari bayangan di depanku, aku bisa melihat bagaimana senyumnya berubah menjadi tatapan kelaparan. Jarinya menggoda punggungku dengan sentuhan yang menggelitik ketika Azrael menarik resletingku. Gerakannya lambat dan menyiksa. Aku memejamkan mata tanpa sadar, membusungkan d**a ketika jarinya semakin naik. Nafasnya terasa hangat di leherku. Ketika aku membuka mata, wajahnya begitu dekat dengan ceruk leherku. "Apa kau ingin mendapatkan pelepasan itu, Kiera?" Bisiknya berat, menatapku melalui cermin di depanku. "Azrael..." Aku mendesah ketika merasakan sentuhan ringan hidungnya di ceruk leherku. Cengkraman di pinggangku mengerat. "Minta baik-baik." Jemarinya turun, mengelus pahaku lembut hingga berakhir di puncak belahan gaun, "Aku mungkin akan memberimu pelepasan dengan jariku." Dia pembunuh, Kiera. Punggungku jatuh di dadanya yang hangat ketika berdiri mulai sulit. Sekuat tenaga aku mencoba meredam desahanku, ketika jemarinya menyentuh kulit pahaku. Sentuhannya lembut, seperti bulu yang menggelitik. Menjalar semakin dekat ke bagian intim yang berdenyut. Aku merintih, "Azrael..." Dia menculikmu, Kiera. "Yes, Kie..." Azrael terengah di telingaku. Jemarinya bermain-main di paha dalamku, begitu dengan dengan bagian intimku—aku takut dia bisa merasakan betapa basah diriku hanya karena membayangkan dirinya. Dia akan membunuh adikmu. Akal sehat menampar, begitu saja menarikku dari kenikmatan penuh dosa. "Lepaskan aku." Sentuhannya berubah kaku. Mata hitamnya mencoba meneliti wajahku dari bayangan cermin. Tapi aku justru terlihat seperti aku sangat siap untuknya—pipi merah dengan mata yang sayu. "Aku tidak ingin kau menyentuhku lagi. Kau menjijikkan." Kata-kata itu terasa pahit di mulutku. Dari bayangan cermin, Azrael tampak tersinggung dan marah. Tapi ekspresinya berubah kosong begitu cepat, hampir kukira aku salah lihat. Dia menarik dirinya dariku. Melepaskan jemarinya dan menjauh hingga mendadak ruangan itu terasa dingin. Azrael beranjak tanpa sekalipun menoleh, "Keluar jika kau sudah selesai, little thief."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD