BAB 3: TATO

1361 Words
Setelah merasa tenang, Diana meminta Bayu melajukan kendaraannya. Diana tiba sekitar 90 menit sebelum pemotretan dimulai. Henry, manager Astrid yang juga mantan manager Diana dulu, sudah menunggu di ruang rias dengan bertolak pinggang. “Ngapain aja sih lo jam segini baru datang? Cepetan dandan!” omel Henry. “Tau diri dikit kenapa!” Diana tak ambil pusing dengan ocehan pria pengkhianat itu. “Bisa jelasin ke aku konsep pemotretan hari ini dulu?” tanya Diana setenang mungkin. “Produknya jam tangan. Casual and edgy.” “Brand?” “Ga perlu tau! Urusan lo ke sini cuma untuk gantiin Astrid!” Diana menarik napasnya dalam, malas berdebat dengan orang berperangai buruk seperti Henry. Lagi pula di perjalanan tadi Diana sudah mencari tau perihal pemotretan hari ini. Adalah HS, sebuah brand aksesoris yang tengah booming di beberapa tahun terakhir. Diana tau pasti orang-orang yang berada di balik layar HS. Diana pernah menjadi brand ambassador produk itu dulu. Apakah Agung sebodoh itu? Apa dia pikir hanya karena pemotretan ini menggunakan masker lantas orang-orang HS tidak akan bisa membedakan mana Astrid dan mana orang lain? “Ya sudah, aku siap-siap dulu kalau begitu,” tandas Diana seraya melewati Henry dan masuk ke dalam ruang persiapan model. Tak Diana duga, ternyata Henry pun ikut melangkah ke ruangan itu. “Lo belum jawab pertanyaan gue kenapa lo lama banget sampai di sini?” sulut Henry lagi. “Aku ada urusan tadi. Mengurus pesanan cover n****+. Maaf.” “Lo tuh harusnya bersyukur Mas Agung selalu manggil lo untuk gantiin Astrid.” “Iya, Hen.” “Kalau bukan karena Astrid, ga mungkin lo bisa ngerasain lagi dirias di private room begini!” Henry mendengus kesal, lalu mengulurkan selembar kertas pada Diana. “Ini skript dan jadwal lo foto.” Diana meraih kertas itu, sementara Henry memerintahkan make-up artist di sana agar mulai mendandani Diana. “Ini produknya, Di,” tutup Henry seraya meletakkan sebuah kotak berwarna hitam di atas meja rias Diana. Ia lalu berbalik, menunggu Diana di luar ruangan. Selagi wajah Diana dilukis oleh seorang MUA, Bayu tiba di rumah sakit. Pemuda itu gegas menuju IGD tempat Astrid dan Agung berada. Astrid membutuhkan waktu hingga rasa nyeri di pergelangan kakinya berkurang sebelum meninggalkan rumah sakit. Di tempat lain, anak buah Andra yang ditugaskan untuk mengikuti kemana pun Diana pergi, melaporkan perihal pemotretan itu pada bosnya. Begitu sambungan telpon di genggaman Andra berakhir, tak menunggu apapun, ia segera memberi perintah pada Seto, “Saya akan pergi ke pemotretan HS Watch. Sekarang!” “Baik, Pak.” Andra tak mungkin melewatkan kembalinya sang istri ke dunia modeling bukan? *** Hari itu HS tak hanya melakukan pemotretan untuk jam tangan terbaru mereka, namun juga beberapa perhiasan. Jadi, ada beberapa orang model yang juga berada di studio itu. Meskipun tak lagi aneh melihat Diana menggantikan Astrid, namun hal itu masih merupakan rahasia yang sangat dijaga di kalangan mereka. Tak bisa dipungkiri jika Selekta Entertainment, perusahaan yang menaungi Astrid dan Diana dulu adalah salah satu perusahan agensi model terbesar di kota ini, meski tak sebesar Arabella Entertainment milik keluarga Bhadrika. Ditambah lagi pengaruh Agung yang cukup disegani di industri ini, membuat para model lain yang mengetahui kelicikan Astrid tak bisa berkata apapun. Toh mereka juga tak ingin jika karir mereka tiba-tiba berhenti begitu saja. Pukul 16:00 suara-suara mulai terdengar dari sudut pemotretan. Diana pun sudah siap dengan tata rias dan casual wardrobe-nya. Ia mematut diri di depan standing mirror. Setelan blazer berwarna putih, yang kontras dengan jam tangan kulit berwarna hitam yang ia kenakan, membalut tubuhnya. Sementara sebagai inner, Diana hanya mengenakan kemben berwarna putih. Masalahnya, baju itu adalah ukuran Astrid. Perempuan itu memiliki bahu yang lebih lebar dan tubuh yang lebih berisi dibandingkan Diana. Jelas saja, jam tangan cantik yang akan menjadi fokus pemotretan justru kerap tertutupi lengan blazer. “Hah! Kenapa ini semua harus terjadi pada gue!” gerutu Henry. Sebenarnya Henry tak menampik jika Diana memiliki tubuh yang jauh lebih indah dan proporsional dari Astrid. Mengingat profesi seorang model yang sangat membutuhkan stamina kuat, Astrid bisa dikategorikan sebagai model pemalas. Ia sangat jarang berolah raga. Tak heran jika di tengah padatnya jadwal on stage, Astrid justru sering kelelahan dan akhirnya jatuh sakit. Sudahlah pemalas, ditambah lagi cengeng luar biasa. Karena sakit ringan saja ia bisa merajuk pada Agung, dari mulai meminta hal-hal yang tak penting hingga mengiba agar diberikan model pengganti. Dan untuk hal yang terakhir, selalu saja Diana yang terkena getahnya. “Wardrobe-nya cuma ini?” tanya Henry pada sang penata busana. Gadis itu mengangguk. “Ukuran yang disiapkan sesuai dengan ukuran model, Pak.” Henry memijit pangkal hidungnya. Kesal. Ia menatap tajam pada Diana, melampiasan ketidakpuasannya. “Biar aku yang mengurus,” ujar Diana, enteng. “Pastikan jam itu selalu terlihat! Gue ga peduli bagaimanapun caranya!” Diana hanya menjawab dengan anggukan. Ia pun melangkah menuju bilik pemotretan dengan beberapa rencana yang akan membuat Astrid malu. *** Diana sudah pernah bekerja sama dengan fotografer yang bertugas sore itu. Mungkin sang fotografer tak mengenalnya karena karir pria itu yang sudah malang melintang di seluruh dunia. Namun ada hal yang Diana tau tentangnya, Jeromy tak menyukai gaya yang biasa-biasa saja. Diana harus bisa memancing ahli foto itu untuk memintanya menonjolkan sisi yang tak Astrid miliki. Di sisi kanan ruang pemotretan itu terdapat sebuah ruang meeting. Beberapa petinggi HS ada di sana. Salah satunya adalah Emma. Dulu, saat masa kejayaan Diana, Emma adalah seorang kepala editor di sebuah majalah fashion ternama. Yang Diana dengar, kini ia menjadi Direktur Pemasaran di HS. Diana sangat berharap, semoga perempuan itu masih mengingatnya meskipun sudah tiga tahun berlalu dan baru kali ini Diana berada di satu tempat dengan Emma. Peluang Diana untuk dikenali memang tak banyak, ditambah Emma tak pernah lagi melihatnya meliuk di depan kamera atau catwalk. Tak hanya Emma, namun beberapa reporter di bidang fashion juga ada di sana. Jika Diana bisa menunjukkan keberadaannya, bukankah beberapa artikel akan membeberkan praduga-praduga yang cukup untuk menegur sikap culas Astrid? “Kak Astrid?” panggil manager on stage hari itu. Diana mengangguk, lalu melangkah ke tengah studio. Begitu aba-aba dari Jeromy sampai di telinganya, Diana mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Sudah sepuluh menit berlalu, Jeromy justru bertolak pinggang. Kesal karena tak kunjung mendapatkan foto yang ia mau. Entah mengapa blazer yang Diana gunakan begitu mengganggu. Jam tangannya memang tak tertutup, namun karena ukuran blazer itu terlalu besar, tetap saja membuat hasil foto menjadi tak maksimal. Jeromy melangkah mendekati Diana yang terdiam di tengah studio. “Aku tak suka dengan blazermu,” keluh Jeromy. “Tapi HS yang memberikan setelan ini. Apa kamu mau aku membuka blazernya? Disampirkan di pundak?” “Ah, good idea. Ayo kita coba seperti itu. Jika HS tak mau, aku sudah memiliki beberapa fotomu dengan blazer tadi. Kamu profesional.” “Thanks.” “Ayo kita mulai lagi.” Diana menganggukkan kepalanya. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Jeromy kemudian sesaat setelah ia berbalik. Tak ada jawaban lisan. Diana hanya menaik turunkan bahunya. ‘Tentu saja kita pernah bertemu.’ Diana pun membuka blazernya, lalu meliuk-liukkan tubuh dalam banyak pose. Saat ia sedikit menyamping, Jeromy menyadari adanya sebuah tato berbentuk full moon yang dikelilingi percikan ombak di punggung atas sisi kanan tubuh Diana. “s**t! That’s amazing, babe! Why did you hide it?” tanya Jeromy tanpa melepas bidikan lensanya. Bodoh memang! Henry benar-benar lupa jika Diana memiliki tato di punggungnya. Kini manager Astrid itu yang sontak berwajah pias. Bisa habis karirnya jika Agung mengetahui hal ini. Baru saja Henry ingin menghentikan pemotretan itu, suara Emma lebih dulu terdengar. “BERHENTI!” pekiknya dari depan pintu ruang meeting. Ia berjalan cepat menghampiri Diana, diikuti beberapa orang reporter. Tanpa aba-aba, Emma menarik blazer yang tersampir di bahu Diana. Memperhatikan detail tato itu. Ia lalu menarik masker yang Diana kenakan dengan kasar. Terbelalak. “Diana Maya?” Bunyi aplikasi kamera terdengar sambung menyambung. Bahkan reporter yang membawa kamera DSLR tak henti membidik moment langka itu. “Kenapa kamu yang melakukan pemotretan ini? Di mana Astrid?” Diana tak menjawab. Kedua matanya memandang lekat pada pria yang berdiri di pintu utama ruangan besar itu. Sekilas senyumnya sempat menyapa. Andra, memperhatikan semuanya sedari tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD