BAB 4: SANG PEMBELA

1417 Words
“Diana Maya!” tegur tegas Emma sekali lagi. Diana masih menutup mulutnya rapat. “Saya nanya, di mana Astrid? Mengapa kamu yang ada di sini? Apa begini cara kerja Selekta? Menipu kliennya?” Susah payah Emma menahan geramnya. Emma yang bertanggung jawab atas sesi pemotretan beberapa produk HS hari ini. Lalu ia kebingungan kala mendapatkan kabar jika salah satu modelnya terkilir. Di tengah usahanya mencari model pengganti, tiba-tiba Agung menelponnya dan mengatakan jika Astrid bisa hadir dan kakinya tak bermasalah. Dan sekarang, ternyata Selekta membohonginya? Mendatangkan model yang lain tanpa informasi terlebih dulu, bahkan berpura-pura jika model kiriman mereka itu adalah Astrid? Henry berkali-kali membuka mulut, namun ujung-ujungnya ia tutup kembali. Ia berusaha angkat bicara, namun ia pun bingung bagaimana harus berkilah. Situasi ini benar-benar langkah skak mat! “Kak Diana, apa Kakak sengaja datang ke pemotretan ini untuk mengumumkan comeback?” potong seorang reporter. Diana masih diam saja. “Atau mungkin Anda melihat cedera Astrid sebagai celah untuk muncul kembali di hadapan publik? Memanfaatkan ketenaran Astrid? Mungkinkah Anda dendam karena dulu Astridlah yang diberi gelar bayang-bayang seorang Diana?” Pertanyaan tanpa jeda yang lebih terdengar seperti tuduhan dilontarkan reporter lainnya. Diana ingat reporter itu, ia adalah salah satu reporter yang sangat membencinya sedari dulu. Entah apa penyebabnya. “Mungkinkah Anda kesal karena tak kunjung menikah setelah Anda mengundurkan diri dari dunia modeling?” tanya reporter yang lain lagi. Di sekeliling mereka, para staff yang bekerja hari itu tak henti berbisik-bisik, mencibir Diana tanpa henti. “Dasar model licik!” “Dia yang mundur, dia juga yang menyesal!” Henry terkekeh sinis. Ia tak perlu lagi mencari alasan untuk berkilah, situasi telah berubah menjadi lebih menarik. “Apa kamu sebegitu piciknya sampai melakukan hal yang memalukan ini?” ketus Emma lagi. “Seorang mantan model profesional harusnya bisa menjaga attitude-nya bukan? Apa susahnya menghadapku dan mengatakan jika kamu yang akan menggantikan Astrid? Perilakumu ini tak ubahnya seperti seorang pencuri!” Tak ada yang berani bicara. Nada suara Emma begitu mengintimidasi. Emma tau jika pasti ada persetujuan dari Agung mengenai keberadaan Diana. Tetapi Diana bukan model lagi. Dan seharusnya pihak Selekta mengabarinya. Setidaknya sang model melapor lebih dulu padanya. “Pergi! Pergi dari sini!” Diana masih bergeming. Ia tau ini akan terjadi, tetapi dihujani tatapan tajam dan seringai sinis dari segala arah tetap saja tak nyaman untuk ditanggungnya. “Ya, memang ada seseorang yang picik di sini,” ujar Andra yang mendekat ke tengah kerumunan itu. Semua orang terpegun, tak ada yang menyangka dengan kehadiran seorang petinggi perusahaan entertainment terbaik negeri ini. Reporter-reporter yang tadi membidik Diana dan Emma kini mengalihkan kamera mereka pada Andra. “Bukankah dia Andra Bhadrika? CEO Arabella Entertainment?” “Kenapa Andra bisa ada di sini? Bahkan aku dengar Arabella tak mau mengerjakan proyek HS ini. Kita tidak selevel dengan mereka.” Bisik-bisik dari segala arah kini berganti topik, seolah melupakan cibiran dan hinaan yang tadi mereka lontarkan untuk Diana. Diana terdiam, keberadaan Andra sungguh tak menguntungkan untuknya. Namanya akan semakin tercoreng, bahkan mungkin masuk ke daftar hitam jika statement ‘picik’ dan ‘pencuri’ yang tadi Emma ungkap ikut dipertegas oleh Andra. Andra berdiri di samping Diana, bersedekap. “Tapi bukan dia yang picik!” tegas Andra. “Cara berpikirmulah yang terlampau picik!” lanjutnya, menatap tajam pada Emma. Emma, kelu. “Aku heran orang sepertimu bisa diangkat menjadi seorang Direktur Pemasaran. Bahkan tak ada staff marketingku yang pikirannya sepicik dirimu!” ketus Andra kemudian. Diana menganga. Ia sama sekali tak menyangka jika suami barunya itu akan membelanya. Bukankah pernikahan mereka hanyalah sebatas perjanjian yang akan menguntungkan kedua belah pihak? Sementara itu d**a Emma bergemuruh amarah. Ia tak terima dengan kalimat bernada penghinaan yang Andra tuturkan. Namun ia tak mungkin menyinggung pria sekelas Andra bukan? Bisa-bisa ia mematikan potensi perusahaan tempatnya bernaung untuk bekerja sama dengan Arabella di masa depan. “Maaf, Pak Andra. Saya tidak tau jika Anda memiliki hubungan dengan Diana.” “Hubungan? Saya tidak punya hubungan apapun dengannya. Saya hanya... mempertegas, yang picik di sini bukan nona ini. Tetapi Anda. Memangnya otak Anda tak bisa berpikir jika dia berada di studio ini karena perintah atasannya? Jika Anda mau melakukan protes, lakukan dengan benar, tujukan pada orang yang benar!” Andra nyaris saja memekik. Nada suaranya yang cukup meninggi membuat ruangan itu hening seketika. Emma tak punya kata-kata apapun lagi. Ia kehabisan kata-kata. Tertohok dengan tuduhan Andra yang tak salah sama sekali. “Dan kalian!” ujar Andra kemudian, tertuju pada reporter-reporter yang mengelilinginya. “Apa dendam kalian pada nona ini? Apa ketenarannya dulu menyakiti kalian? Apa dia meminta kalian membuatnya menjadi seorang top model dengan iming-iming door prize? Hah? Dia berhutang pada kalian hingga kalian merasa berhak menuduhnya dengan berbagai prasangka? Kalian yakin kalian adalah seorang jurnalis dan bukannya tukang fitnah?” Semua kamera turun, tak ada yang berani melawan tatapan dingin dan tajam seorang Andra. ‘Dasar bodoh!’ Andra mengaitkan kancing jasnya, menatap Diana tanpa emosi. Setelah puas menatap istrinya yang memaksakan ketegaran, Andra pun berbalik, memulai langkah untuk meninggalkan tempat itu. Di langkah kedua ia kembali berhenti, menolehkan wajah sedikit agar terlihat para reporter yang kini berada di balik punggungnya. “Apakah kalian sebuta itu? Tak adakah dari kalian yang bisa melihat talentanya? Pegang kata-kataku, Nona itu akan kembali naik ke singgasananya.” *** Semua orang di ruangan itu bergumam dan berkomentar. Mereka memandang Diana dengan penuh tanda tanya. Bahkan termasuk Emma yang masih mematung di sana. “Apa Arabella berniat menarik Diana?” “Apakah ia akan comeback di bawah naungan Arabella?” “Bagaimana dengan Selekta? Mengapa mereka bisa seteledor ini?” “Siapa yang mengirim Diana ke sini?” Kini semua cibiran dan praduga ditujukan pada Selekta Entertainment. “Katakan pada bosmu aku akan membawa masalah ini ke jalur hukum! Jangan sampai HS disangkut pautkan dengan pekerjaan kotor kalian! Dasar tak berguna!” geram Emma pada Henry. Pria tambun itu tak berani menatap sorot mata Emma. Begitu Emma masuk kembali ke ruang meeting, Henry menaikkan pandangannya, menatap tajam pada Diana. Diana tak terpengaruh, wajahnya tetap saja datar. Memangnya apa salahnya? Ia kan hanya mengerjakan tugasnya, menggantikan Astrid. Tidak ada klausul yang mengatakan jika ia harus menyembunyikan tatonya kan? Diana melenggang santai. Kembali ke ruang rias, mengunci pintu dan mengganti pakaiannya. Setelah penampilannya kembali seperti sedia kala, ia pun membuka pintu kembali. “Diana!” Diana tak menggubris teguran Henry. Ia menyodorkan jam tangan HS yang dipakainya tadi, lalu meninggalkan Henry yang kesal karena tak ditanggapi. “Kamu akan terima akibatnya Diana! Kamu pikir Agung akan diam saja karena ulahmu ini?” ujar Henry yang masih bisa didengar jelas oleh Diana. Ia hanya terkekeh, lalu melambaikan tangannya pada Henry. Tiba di halaman muka gedung hotel berbintang itu, Diana melihat jelas sedan mewah Andra terparkir. Kaca jendela belakang pun terbuka, Andra memberi isyarat agar Diana mendekat. “Masuk!” perintahnya. Diana menurut begitu saja. “Jalan!” pinta Andra kemudian pada supirnya. “Terima kasih Pak Andra,” ujar Diana, gugup, namun tulus. “Abang!” Diana mengerutkan keningnya. “Panggil aku Abang. Aku suamimu, bukan bosmu!” “Oh. Baik. Terima kasih, Bang.” Andra menyeringai. Ia lalu mengubah posisi duduknya, menyerong menghadap Diana. “Apa kamu pikir aku akan membiarkan orang-orang bodoh itu mengintimidasi perempuan yang kunikahi?” “Sebenarnya, aku sengaja membiarkan mereka memperlakukanku seperti itu. Aku ingin mereka menyadari keberadaanku,” jawab Diana. Andra mendengus pelan. “Ya, aku tau.” Diana menatap lekat suaminya. Begitupun yang Andra lakukan pada Diana. “Tak mudah merelakan hal yang kamu cintai dan membiarkan orang lain memanfaatkan keputusanmu,” lanjut Andra lagi. “Abang....” “Tapi, apa tidak bisa kamu memikirkan cara yang lebih baik dari mengorbankan diri kamu sendiri? Apakah itu layak? Kamu sudah kehilangan banyak hal, istriku! Apa harus mengorbankan dirimu untuk dihina juga? Setidaknya kamu bisa bertanya padaku bukan?” Diana kelu. Tak mampu menjawab pertanyaan Andra. Bukan kalimatnya yang membingungkan, namun tatapan khawatir dari kedua mata Andra yang membuat Diana merasa gamang. ‘Bukannya pernikahan ini hanya sebatas kesepakatan?’ “Kamu mau kemana, istriku?” tanya Andra kemudian. “Apa?” “Aku harus membawamu kemana? Apa ada tempat lain yang menjadi tujuanmu?” “Oh, unitku. Aku perlu mengambil barang-barangku. Bukannya Abang yang bilang jika kita adalah pasangan yang sudah menikah dan harus tinggal di bawah atap yang sama?” Andra terkekeh pelan. Ia mengangguk, lalu mengikis jarak wajahnya dengan Diana. Andra menempelkan kedua pipi mereka, berbisik di telinga kanan sang istri, “Apa itu artinya, ini juga malam pertama kita?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD