Masa itu (2)

1039 Words
Menjengkelkan. Za nggak tahu kesalahannya apa sampai harus kena hukuman. Nggak berat, sih. Dia cuma disuruh membuat surat cinta pada salah satu kakak senior cowok yang paling ganteng. Serius, menurut Za seniornya itu tidak ada yang ganteng. Nyebelin 'kan? Sementara El, dia disuruh menyatakan cinta pada salah satu kakak senior cewek tercantik dengan puisi. El mengerutkan kening seraya mengedarkan pandang ke para senior cewek yang menyebar. "Menurut kamu senior cewek mana yang paling cantik, Za?" Za tampak tak peduli, dia sedang mencorat-coret bukunya, menulis surat cinta. Seumur-umur Za belum pernah nulis surat cinta. Kalau Ambu dan Abah mungkin iya dulu suka nulis cinta jamannya masih sekolah. Jaman sekarang kalau mau tembak calon pacar, ya, tinggal bilang cinta. Tidak perlu repot menggunakan surat segala. "Alvi itu cantik nggak sih, Za?" tanya El lagi. "Nggak." Mata El bergeser ke cewek senior lainnya. "Kalau Belinda cakep enggak? Rambutnya agak ikal gitu. Itu asli apa palsu sih?" "Jambak aja, kamu bakal tau itu asli atau palsu," jawab Za asal. "Ya, kali aku jambak cewek. Duh, bingung aku, Za. Di mataku mereka semua biasa aja." El mengusap pelipisnya. Za menoleh. Lalu matanya mengedar, melihat cewek-cewek senior yang menyebar di mana-mana. Za merasa mata El perlu diperiksa. Senior cewek itu kece-kece badai begitu, cowok itu bilang biasa saja. Lalu yang menurutnya luar biasa itu seperti apa? "Tuh, Tari! Kamu tembak aja dia." Za menunjuk salah seorang senior cewek yang tampak paling kalem dan tidak neko-neko. "Ah! Boleh, deh. Dia kan senior cewek yang paling baik." El tersenyum semringah. "Kamu udah selesai belum nulis suratnya?" tanya El menoleh. "Udah." Za menutup bolpoinnya. Waktu yang diberikan juga sudah selesai. "Puisi kamu udah juga?" El meringis. "Belum, ntar aku karang aja lah, on the spot." Dan, saat apel menjelang pulang di aula, El dan Za dipanggil ke depan oleh kakak senior itu. Disaksikan banyak siswa baru, mereka menyuruh El untuk menyatakan cintanya pada salah satu senior cewek. Semua siswa bersorak saat El menghampiri Tari, senior cewek yang paling biasa saja dibanding senior cewek lainnya. Di depan Tari, El menggaruk kepalanya, salah tingkah. Sementara itu Tari malah tertawa di tempat. El berdeham sebelum memulai aksinya. "Kak Tari, izinkan aku meminta waktumu sebentar." Cie ... sontak koor panjang menggema. "Sejak aku melihatmu, kurasakan ada debaran aneh di dalam dadaku." "Bengek kali." Salah seorang cowok senior menimpali. Namun, El tak menghiraukan. "Senyummu begitu memesona, membuat diriku terbayang-bayang." "Kuntilanak kali," celetuk suara seorang cowok dari belakang. "Jantungku berdetak kencang, setiap kali kita bertatapan. Maka di kesempatan yang berbahagia ini." "Ea! Ceramah kawinan lo!" "Izinkan aku mengutarakan perasaanku padamu. Kak Tari, maukah kamu jadi pacarku?" Cewek bernama Tari itu tertawa seraya menutup mulutnya. Sementara anak-anak bersorak agar cewek itu mau menerima El. Dari posisinya, Za menatap jengah. Kelakuan para seniornya itu norak. "Jadi, gimana ini, Kak? Terima atau tolak?" desak El yang ingin semuanya cepat selesai. "Gimana, ya?" Cewek bernama Tari itu pura-pura mikir. Padahal El sudah menahan malu melakukan ini. "Kamu nembak cewek nggak modal, sih. Masa cuma pake puisi doang. Jadi, ya, sori, deh. Aku nggak bisa terima kamu." Kontan koor panjang dari anak-anak bersahutan. Dalam hati El mengumpat. Pintar sekali para senior mempermalukan junior. "Makanya, jadi cowok itu modal!" seru salah seorang dari mereka. Bahkan ada yang terbahak seolah ini adalah hal paling lucu sedunia. "Cinta lo udah ditolak, balik sono ke habitat lo!" Selain sok berkuasa, omongan senior juga kurang filter. El melangkah mundur, kembali ke barisan kelompoknya. Sekarang, giliran Za yang jadi sorotan. Cewek berambut panjang itu belum bereaksi apa pun. Dia tadi sedikit kesal dengan perlakuan para seniornya terhadap El. "Zanna, sekarang kamu mau kasih surat cinta sama siapa?" tanya salah satu panitia MOS yang membawa pengeras suara. Za pikir nasibnya bakal tak beda jauh dari El. Dia memang sudah menyiapkan surat cinta, tapi bingung juga harus memberikan surat itu pada siapa. Sementara itu para senior di depan, sudah tampak bersiap-siap barang kali ketiban untung dapat surat dari junior secantik Za. Dari awal, Za memang sudah menjadi buah bibir para senior cowok. Jadi, momen seperti ini sangat dinantikan mereka. Meskipun ini bagian dari permainan, setidaknya mereka tahu cowok terganteng di mata Za itu siapa. Zanna memindai satu per satu wajah senior cowok itu. Baik yang ada di barisan depan, atau pun di samping barisan para siswa baru. Di antara semua sebenarnya ada satu cowok yang Za anggap paling cool. Tapi, cowok itu tampak cuek dan dingin. Za bisa memastikan kalau dia memberikan suratnya pada cowok itu pasti bakal ditolak. Lihat, saja. Bahkan cowok itu tidak peduli apa yang tengah terjadi di aula ini. Dia malah asyik mengisi TTS di barisan belakang anak-anak baru. "Ayo, Za. Kok diem, sih?" goda mereka. Za meyakinkan diri ini hanya permainan. Kalau dia diterima atau ditolak sekali pun, tidak akan ada pengaruh untuk keberlangsungan dirinya di sekolah ini. Maka, Za pun melangkah ke depan para senior cowok yang tengah menantinya. Namun, baru beberapa langkah berjalan, dia putar balik dan berjalan menuju ke tengah barisan. Otomatis barisan anak-anak baru menyingkir, memberi jalan pada Za. Dengan penuh percaya diri, cewek berkulit putih itu berjalan menghampiri salah satu senior yang tampak tidak peduli dengan keadaan sekitar itu. Za tidak tahu, kalau di depan aula sana para senior sedang menahan napas melihatnya menghampiri kulkas hidup. Ya, itulah julukan buat Bima, cowok yang sedang Za tuju. Langkah Za benar-benar berhenti tepat di hadapan Bima. Pun cowok berambut tebal itu tetap tidak peduli dengan kedatangannya. "Kak Bima. Namaku Za, aku ingin memberi surat ini sama Kak Bima." Za menyodorkan surat itu dengan kedua tangannya. Cowok bernama Bima itu melirik sekilas, lalu kembali lagi pada buku TTS-nya. "Surat apa?" tanya cowok itu tanpa melihat Za. Anak-anak baru di belakang Za tampak waswas. "Surat Cinta, Kak." "Oh, tolong bacakan di sini pake pengeras suara." Eh, apa? Ternyata bangsul juga nih cowok. Za mengumpat dalam hati. Senior yang dari tadi membawa pengeras suara langsung menghampiri mereka dan menyerahkan benda itu pada Za. Za menatap pengeras suara yang kini berpindah ke tangannya. Ini serius Za harus baca surat cintanya pakai benda ini? Ya, Tuhan. Za mengira akan selesai begitu saja saat surat itu diberikan pada salah satu senior itu. Namun, tampaknya mereka tidak cukup puas hanya dengan itu. Dan, cowok bernama Bima ini kelihatannya diam, tapi ternyata menyebalkan juga. Sama seperti teman-temannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD