"Neng Zanna kehujanan, ya?"
Suara cempreng milik Bang Riko membuyarkan lamunan Za. Lelaki itu tengah mengepel teras kosan.
"Iya, Bang," jawab Za singkat lantas segera menutup payungnya.
"Neng Zanna sekarang kerja di mana?"
"Di perusahaan mobil," jawab Za asal. Dia ingin segera memasuki kosan sebelum istri Bang Riko berteriak. Begitu berhasil membuka pintu kosan, wanita itu bergegas masuk. Za tidak membiarkan Bang Riko bertanya apa pun lagi. Sungguh, sebenarnya dia ingin pindah kosan yang agak jauh. Memiliki tetangga genit seperti Bang Riko itu menyebalkan. Ditambah lagi lekaki itu memiliki istri yang judesnya minta ampun. Bawaannya curigaan mulu. Negur dikira godain, nggak negur dikira sombong. Sangat serba salah.
Za segera melepas pakaiannya yang basah dan beranjak mandi. Setelah itu dia berniat memasak. Untuk berhemat, biasanya Za memasak. Masak sore sekalian untuk sarapan pagi. Untunglah dia memiliki lemari es. Dia bisa menyediakan bahan makanan untuk beberapa hari. Karena dia nggak mungkin mengandalkan Ryan terus soal makanan. Terlebih sekarang Ryan sedang ngambek.
Za keluar dari kamar mandi, sudah berganti dengan pakaian yang lebih santai. Dia menengok ponselnya di atas meja rias. Tidak ada tanda-tanda pesan atau panggilan masuk. Menghela napas, dia memutuskan ke dapur. Lebih baik mulai memasak daripada menunggu sesuatu yang nggak pasti.
Za membuat menu sederhana, sambal goreng teri kacang plus sayur bayam. Nasinya sudah dia tanak lebih dulu di dalam magic com. Begitu lauk dan sayur selesai dibuat, nasi pun akan matang. Wanita itu tersenyum senang begitu semua pekerjaannya selesai.
Satu mangkok sayur bayam, satu piring kecil sambal goreng teri kacang, dan satu piring nasi sudah siap di hadapannya. Sembari menonton teve, dia menyantap masakan sederhana itu.
Bisa makan begini saja, Za sudah sangat bersyukur. Setidaknya dia tidak merepotkan ibunya di kampung. Selama menganggur, kalau Ryan tidak mengajaknya makan, dia lebih memilih masak untuk menekan biaya bulanan.
Za meraih ponsel begitu selesai makan. Menggulir layarnya, Za mencoba menghubungi Ryan. Sebelumnya, Za sempat mengecek w******p lelaki itu, baru beberapa saat lalu aktif. Kalau sekarang Za menghubunginya pasti langsung tersambung.
Memang benar, panggilannya tersambung. Namun, Ryan di sana tidak mengangkatnya. Sampai tiga kali Za melakukan panggilan, Ryan tidak mengangkatnya. Apa Ryan begitu marah padanya?
Za memutuskan untuk menulis pesan. Hanya satu kata yang terdiri dari tiga huruf, maaf. Biasanya kalau Za sudah mengirimkan pesan itu, Ryan akan segera menghubunginya balik. Namun, beberapa menit menunggu, tidak ada tanda-tanda ponselnya mendapat panggilan masuk. Za masih sabar menunggu. Hingga satu jam, dua jam, sampai Za mengantuk pun tidak ada tanda-tanda panggilan masuk. Ponselnya mati suri. Jangankan panggilan, pesan masuk pun tak ada. Za mengembuskan napas pelan sebelum akhirnya beranjak naik ke atas tempat tidur.
***
Za sedang sibuk-sibuknya mengerjakan laporan ketika Rangga memberitahunya ada seorang wanita yang mencari dirinya.
"Siapa, Pak?" tanya Za bingung.
"Desi dia itu sek—" Rangga menjeda ucapannya begitu sadar sesuatu. Kemarin itu El sepertinya tidak ingin Za tahu posisinya di sini.
"Sek apa, Pak?" tanya Za bingung.
"Udahlah, kamu lihat sendiri saja ke depan." Rangga mengibaskan tangan lantas kembali ke mejanya.
Sebelum meninggalkan meja, Za terlebih dulu menyimpan laporan yang tengah dia buat. Langkahnya berjalan menuju lobi kantor purchasing. Dia tidak tahu kalau di belakangnya, mata Rangga mengikuti gerakannya.
Mata Za menyipit begitu melihat seorang wanita cantik duduk di ruang tunggu. Dia tidak mengenal wanita itu sebelumnya.
"Maaf, permisi. Mbak, nyari saya?" tanya Za hati-hati.
Wanita cantik itu menoleh, dan langsung berdiri begitu melihat Za tak jauh dari tempatnya. "Mbak Za, ya?"
"I-iya, saya Za. Mbak ada perlu sama saya?" tanya Za lagi.
"Iya, Mbak Za. Jadi gini, saya diminta Pak Ellard untuk menyampaikan ini pada Mbak Za."
Za melirik sebuah kotak yang dibawa wanita itu. "Maaf itu apa, ya?"
"Ini dresscode untuk ke pesta nanti malam. Silahkan, Mbak."
Za paham sekarang. El ternyata serius memberikannya dress. "Terima kasih, ya, Mbak."
"Oke, sama-sama. Oh ya, Mbak. Kalau misal dress itu ukurannya nggak pas, Mbak bisa hubungi saya, ya. Tekan saja kosong dua pada interkom, nanti langsung tersambung ke meja saya. Oh ya, nama saya Desi. Saya—"
"Rekan kerja El, 'kan?"
Wanita bernama Desi itu mengernyit. Namun, hanya sebentar sebelum dia menyadari sesuatu. "Ah, iya, saya rekan Pak El." Dia mengangguk canggung. "Oke, gitu aja, ya, Mbak Za. Maaf, sudah mengganggu waktunya."
Setelah Desi pamit, Za kembali masuk seraya menimang kotak pemberian El. Kotak persegi berwarna Salem dengan pita di tengahnya.
"Wah, apaan tuh, Za? Kado? Kamu ulang tahun? Wah, selamat, ya. Kami tunggu traktirannya," celetuk Rangga begitu Za memasuki ruang kantor.
"Saya nggak ulang tahun, Pak. Mbak tadi cuma antar ini aja buat saya," jawab Za, duduk di kursinya kembali.
Masih penasaran, Rangga menggeser kursinya mendekati Za. "Buka dong, Za. Penasaran aku."
Za melirik sejenak rekannya itu. "Cuma gaun, nggak ada yang istimewa."
"Gaun? Gaun apa, Za? Gaun pengantin?"
"Bukan, Pak." Za menghela napas.
"Terus apa, dong?"
Entah itu pentingnya apa buat Rangga. Namun, daripada lelaki itu terusan mengganggu kerjaannya, Za akhirnya membuka kotak itu. Senada dengan warna gift box-nya, gaun itu juga memiliki warna salem.
Mata Rangga melebar begitu Za merantangkan gaun itu. "Wah, ini sih gaun mahal, Za."
Lalu secara otomatis, Za mengepas gaun itu ke depan badannya. "Masa, sih?"
Rangga mengangguk. "Kalian ada janji makan malam, ya?"
"Enggak. Saya diajak El ke pesta ultah temannya." Za melipat kembali gaun itu. Sekilas gaun itu terlihat pas di tubuhnya.
"Wah, tanda-tanda itu, Za."
Za meletakkan gaun itu ke dalam boksnya. "Tanda-tanda apa?"
"Tanda-tanda setelah diajak ke pesta ultah temannya, kamu bakal diajak ke KUA."
Za berdecak. Asumsi yang sangat keliru dan salah kaprah. Rangga tidak tahu saja kalau El itu seorang gay. Mana mungkin gay mau menikahi wanita?
"Itu sangat mustahil."
"Kok gitu? Kan kalian pacaran?"
"Siapa bilang, sih? Kami cuma berteman, Pak Rangga jangan menyebar gosip yang enggak-enggak. Udah, ya, Pak. Banyak kerjaan, nih," usir Za halus.
Rangga memberengut, lalu menggeser kursi kembali ke mejanya. Dalam hati Za tersenyum. Meskipun seorang pria, Rangga itu keponya lumayan akut.
Persis ketika jam makan siang tiba, ponsel Za berdering. Panggilan dari El masuk.
"Kamu udah coba gaunnya? Gimana? pas nggak ukurannya?" tanya El beruntun begitu Za menerima panggilannya.
"Aku belum coba, sih. Tapi kayaknya pas." Za menjepit ponsel di antara telinga dan bahunya. Sementara kedua tangannya membereskan alat-alat kerjanya yang berantakan.
"Harus dicoba dong, Za. Kalau ada yang kurang cocok kan bisa langsung diganti."
"Cocok kok, El. Kamu tenang aja."
"Aku tunggu kamu di lobi."
"Loh ngapain?" tanya Za bingung.
"Kita makan siang bareng."
Lagi? Za mengerutkan bibir. Dia tidak enak kalau El selalu mengajaknya makan siang bersama. Karena sudah barang pasti lelaki itu yang bayar.
"Tapi aku bayar sendiri, ya?"
"Oke, deal. Sekarang turun, ya. Aku tunggu."
____________________
Bab sebelumnya masih flashback, nah kalo yang ini udah mulai maju lagi alurnya.
Jangan lupa tap love ya teman-teman.