Masa itu

1063 Words
Za tertawa begitu berhasil duduk di dalam mobil El. Karena meskipun pakai payung, dia tetap saja kebasahan, apalagi El yang badannya sebesar itu. Pasalnya, ketika di tengah-tengah jalan menuju mobil, hujan malah tambah deras. Payung mereka bahkan hampir terbang tertiup angin. "Tau begini tadi aku nunggu hujan reda aja," ucap Za di tengah tawanya. "Ya udahlah, sekali-kali kebasahan kan nggak apa-apa." El ikut tertawa. Mata cokelatnya menyipit saat tertawa. Masih sama seperti dulu yang sering Za lihat. El menyalakan mesin mobilnya, dan perlahan meninggalkan area parkir perusahaan. Menuju perjalanan ke kosan Za, El teringat sesuatu. Undangan ulang tahun Celia. Desi bilang dia harus membawa teman wanita kan? Kalau dia mengajak Za, kira-kira wanita itu mau tidak? "Za, besok malam kamu ada acara?" tanya El. Pandangannya masih fokus ke depan. Mengendara di tengah hujan gini harus lebih waspada. Za menoleh sekilas, lantas tampak berpikir. Kalau Ryan saja masih ngambek, itu berarti malamnya hampa. "Nggak ada. Kenapa emang? Kamu mau ngajak aku kencan?" Za terkekeh. "Bisa dibilang gitu." "Wah, aku nggak mau berurusan sama pacar kamu kalau ketahuan nanti." "Enggak akan." "Jadi Tuan Ganteng, kamu mau mengajakku kencan ke mana?" tanya Za sok genit membuat El tak bisa lagi menahan tawanya. "Temanku ulang tahun. Kamu mau kan menemaniku ke sana?" Za tidak langsung menjawab. Kepalanya malah berpikir yang tidak-tidak. El pasti tidak enak karena yang hadir di pesta temannya kemungkinan membawa pasangannya masing-masing. Tidak mungkin kan El membawa pasangan gay-nya? Sepertinya soal orientasi seksualnya, lelaki itu masih merahasiakannya. "Kamu mau aku jadi pasangan pura-puramu di pesta itu?" tanya Za tepat sasaran. El sempat terperangah sejenak. Bagaimana Za bisa mengerti otaknya. Dari dulu gadis itu memang luar biasa. "Kamu mau membantuku, 'kan?" Mata Za memicing seraya melirik El. "Boleh saja, sih, asal bayarannya gede." "Oke. Kamu mau berapa? Lima juta? Sepuluh juta? Sebutin deh berapa mau kamu." Kali ini giliran Za yang terperangah. El tidak lagi bercanda 'kan? Hanya menemani ke pesta saja bisa dapat duit sebanyak itu. "Astaga, El. Kamu serius amat! Aku cuma bercanda." "Kok bercanda? Ya, kalau kamu mau minta bayaran juga enggak apa-apa, serius deh." Za menurunkan kedua bahunya. "Kayak sama siapa aja. Santai aja, sih, El. Kamu tinggal bilang aja dresscode-nya apa, jam berapa." "Kamu memang teman yang baik, Za. Soal dresscode biar nanti rekanku yang mencarikannya. Kamu tinggal terima beres saja. Sekitar jam tujuh malam, aku akan menjemputmu." "Oke." Hujan belum reda saat mereka sampai di gerbang kosan Za. Tangan El terulur ke belakang meraih payungnya. "El, kayaknya nggak perlu sampai masuk ke dalam, deh. Hujannya masih gede, nanti kamu malah basah lagi. Biar aku turun sendiri aja," ujar Za. "Eh, nggak apa-apa emangnya?" Za tertawa melihat muka polos El. Laki-laki ini tampak menggemaskan. "Ya, nggak apa-apa lah, orang udah dekat." El mengangguk ragu. Kalau Celia atau teman wanita yang pernah jalan dengannya, pasti minta diantar sampai depan pintu. Tidak pandang apa pun kondisinya. "Kalau gitu kamu bawa saja payung ini." "Tapi ini kan punya kamu, El." "Udah, pakai aja." Za tersenyum, lantas meraih payung itu. Sebelum turun, dia mengucapkan terima kasih pada El. El masih sama baiknya seperti dulu. Terlepas dia seorang gay, semua yang ada pada diri El itu baik. Za masih sangat ingat bagaimana mereka bertemu. Dulu itu, El tidak sekeren sekarang. Ah, mungkin El memang sudah keren dari dulu, hanya saja penampilannya tidak mendukung. Jadi, tampak culun. Mengenakan kacamata berbingkai, dengan seragam rapi yang ujung bajunya selalu dimasukkan ke dalam celana. Dulu itu, Za melihat El tergelepar di bawah pohon beringin setelah dihukum lari keliling lapangan basket sepuluh kali. Sejak awal MOS, Za kerap memperhatikan El selalu saja membuat kesalahan. Ada saja yang membuatnya dihukum. Seperti sekarang, lelaki itu dihukum lantaran telat berkumpul apel siang. Bayangkan, siang-siang disuruh lari keliling lapangan. Gila, senior itu. "Nih, minum!" Za menyodorkan sebuah botol minuman dingin. Bulir-bulir embun di permukaan botolnya saja tampak menyegarkan. Mata El yang memicing, terbuka. Dan langsung menangkap keberadaan botol dingin itu. Tanpa berkata apa pun, dia meraih botol itu, membuka tutupnya, dan meneguk isinya hingga tersisa sedikit saja. Za melotot dibuatnya, bocah itu sudah menghabiskan setengah liter botol air minumnya. "Ah! Segeeer!" El mengusap mulut dengan lengan baju seragam yang dia gunakan. "Makasih, ya." Dia tersenyum seraya mengembalikan botol minuman Za. Dengan sebal, Za mengambil kembali botol miliknya. "Nggak bisa dibaikin, ngelunjak." El meringis. "Sori, ya, ntar aku ganti, deh." "Udahlah, nggak usah." "Aku El! Ellard!" Lelaki berumur belasan tahun itu mengulurkan tangan. Za menatap tangan itu sesaat. Dia sebenarnya sudah tahu nama lelaki berkacamata itu. Ya, bagaimana tidak tahu, langganan dihukum tiap hari, selalu diteriaki oleh senior juga. Za menghela napas sebelum menjabat tangan El. "Zanna. Panggil aja Za." El tersenyum lebar menampakan deretan giginya yang rapi. Meskipun tampak cupu, El memiliki gigi yang sangat rapi dan bersih. Hidungnya juga bangir. Dia memiliki warna mata cokelat terang. Seandainya dia tidak memakai kacamata dan tampilan rambutnya yang enggak banget itu lenyap, pasti dia terlihat sangat ganteng. Za yakin, wajah teman barunya itu perpaduan Indonesia dan entah negara mana. Blasteran istilahnya. Tapi dasar lelaki cupu, punya tampang oke tidak bisa menjaganya dengan baik. "Kamu kelompok berapa?" tanya El mendongak. Dari tadi dia duduk dan Za berdiri di depannya. "Kelompok lima." Bocah lelaki itu mengangguk. "Sekali lagi terima kasih, ya. Kita bisa berteman kan?" Za mengangkat bahu. "Mungkin." "Kok mungkin?" "Kalau kamu nggak selalu bikin repot aku, mungkin kita bisa berteman." El tertawa. "Ya, ampun belum juga menjalani pertemanan. Kamu udah bilang begitu." Za mengerutkan bibirnya dan menggerakkan ke kanan ke kiri. "Ya, kamu kan langganan dihukum senior. Aku nggak mau gara-gara berteman sama kamu jadi ikut dihukum juga." Lagi-lagi El tertawa. "Ya, nggak mungkinlah. Mana mungkin senior itu tega menghukum cewek secantik kamu." Za tidak percaya ini. Hanya dipuji cowok cupu saja mukanya terasa panas. Namun, Za menutupinya dengan memutar bola matanya ke atas. "Hei, kalian berdua yang ada di bawah pohon beringin! Ke mari cepat!" teriak salah seorang senior. El dan Za kompak menoleh. El langsung mengarahkan bola matanya ke atas mendengar teriakan itu. Mau apa lagi, sih, senior-senior itu? "Kayaknya giliran aku nih yang kena hukuman." Za mengembuskan napas kasar. "Itu nggak akan mungkin, Za. Ya, udah kita samperin mereka saja." Mereka berdua berjalan beriringan menuju tempat para senior itu berada. El heran, apa mereka tidak ada kerjaan lain selain menyusahkan para junior? _________________ Flashback bentar ya. Karakter El nggak kyak Deryl. Beda jauh banget. Pokoknya kalem-kalem sweet gitu deh. Mudah'an ttp konsisten hahaha
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD