7. Hukuman

1011 Words
Mau tidak mau Sherly harus menerima hukumannya untuk membersihkan toilet. Dia harus mengepel, mengeringkan lantai, juga mengambil beberapa sampah yang terjatuh dari keranjang sampah. Ini baru pertama kali Sherly melakukannya. Cukup melelahkan, tetapi Sherly tidak punya pilihan lain selain melakukannya sampai selesai. "Dasar dokter tidak waras. Rasanya ingin sekali aku mengacak-acak wajahnya dengan alat pel ini." Sherly menggerutu kesal saat mengingat wajah Seto. Dia membayangkan lantai toilet adalah wajah pria itu dan kemudian menggosoknya dengan kasar. Meluapkan emosinya. Tidak berhenti di sana, Sherly juga menggambar wajah Seto dengan cairan pengharum lantai sejelek mungkin, lalu kembali menggosoknya. "Huh! Rasakan itu!" Sherly sangat puas melihat hasil karyanya. "Itu sangat mirip dengannya." Dia tak bisa menahan tawa, lalu melanjutkan mengepel lantai dengan gembira. Saat asyik berjalan mundur sambil mengepel, karena tidak begitu memperhatikan apa yang ada di belakang Sherly menubruk seseorang. "Maaf- ...." Sherly baru mau mengucapkan maaf, tetapi mulutnya langsung terkatup melihat sosok tersebut. "Dokter sinting ...." Sherly bergumam. Seto yang mendengar gumaman ini seketika mempeertajam alisnya. "Eh- Maksud saya Professor!" Sherly menunduk merasa bersalah. Pada saat itu Sherly ingat dengan gambar wajah yang sempat dibuatnya, tidak berlama-lama langsung menghapusnya dengan alat pel yang masih di tangannya sebelum Seto melihatnya. "Apa yang kamu- ...." Seto menatap Sherly tidak mengerti. Sementara Sherly menghembuskan nafas lega setelah berhasil menghapus wajah Seto di lantai. "Hampir saja!" batin Sherly. Seto menyipit mata masih menatap Sherly. Pandangannya beralih tertuju pada lantai yang sekarang sangat lembab, penuh dengan air sabun. "Apa saja yang kamu lakukan selama di sini? Bukannya bersih lantai di sini malah menjadi semakin kotor dan licin." "..." Sherly hanya diam tanpa mengatakan apapun. Seto mendengus. "Saya tidak mau tahu. Kamu harus memastikan toilet di sini bersih. Atau jika tidak, kamu tidak perlu bergabung dengan mahasiswa koas lainnya." Setelah berkata seperti itu Seto pergi meninggalkan Sherly yang masih diam di tempatnya. Perlahan tangannya yang memegang alat pel menegang, dia kesal, tapi hanya bisa bersabar untuk tidak memasukkannya dalam hati. Akhirnya, dengan dedikasi yang tinggi serta ketekunan yang dimilikinya, Sherly menyelesaikan hukumannya. Pakaiannya basah penuh keringat, beruntung Sherly membawa dua setel untuk berjaga-jaga. Dia pun mengganti pakaiannya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa koas lainnya di bagian UGD. Jam makan siang. "Sherly, kamu tadi benar-benar dihukum oleh Professor?" tanya Raisa, mahasiswa koas yang sebelumnya memberitahu Sherly untuk menemui Seto di ruangannya. Sherly tidak langsung menjawab. Dia mengaduk makanannya sambil tersenyum. "Ha-ha ... Benar. Aku dihukum untuk membersihkan toilet." Mauli, gadis berambut keriting yang duduk di sebelah Raisa menutup mulutnya terkejut. "Sungguh? Membersihkan toilet? Itu pasti sangat melelahkan." "Tapi itu tidak mengherankan. Karena menurut rumor yang ada di rumah sakit ini, profesor kita itu terkenal galak." Yoga, pria tinggi kurus yang juga termasuk mahasiswa koas ikut menyahut. Begitu pula dengan Azam, dia ikut membenarkan pernyataan Yoga, sementara Dimas, pria yang duduk tepat di depan Sherly itu hanya diam menikmati makanannya. "Karena sudah tahu professor galak, jadi lebih baik kalian tidak membuat kesalahan." Dimas menaruh sendoknya dan pergi setelah makanannya habis. "Benar yang dikatakan Dimas. Sebaiknya kita lebih berhati-hati untuk kedepannya. Jangan sampai membuat kesalahan atau akan mendapatkan hukuman." Semua sepakat dengan pendapat ini. Tetapi entah kenapa Sherly berpikir, meskipun dirinya sudah berhati-hati, Seto akan mencari-cari kesalahannya agar bisa menghukumnya. "Pokoknya lihat saja. Awas jika dia berani macam-macam padaku. Aku tidak akan diam!" tekad Sherly. "Ini!" Tiba-tiba Dimas menyodorkan air minum botol kepada Sherly. "Kamu belum minum, kan? Ambil saja," pintanya. "Terima kasih," Sherly meminumnya. Dia memang lupa untuk mengambil air minum, makanan yang dimakannya juga membuat tenggorokannya sedikit kering. Dia berniat mengambilnya sendiri sampai Dimas mengambilkan satu untuknya. "Eh! Coba kalian lihat di grup. Professor meminta kita menghadap." Sontak dengan ucapan Mauli membuat mereka semua termasuk Sherly mengeluarkan ponselnya. "Benar. Kita diminta menghadap, juga membawa tanda pengenal," seru Raisa. Mereka kompak mengambil kartu tanda pengenal yang ada di saku atas lalu sedikit menaikkannya agar terlihat dengan jelas. Sherly mencari kartu tanda pengenal miliknya. "Ke mana kartu tanda pengenal ku? Kenapa tidak ada?" Sejenak Sherly diam untuk mengingat di mana terakhir kali membawa kartu tanda pengenalnya. "Mungkin di tas?" Sherly pergi ke loker saat kelima temannya pergi ke ruangan Seto untuk menghadap. Sherly mencari kartu tanda pengenalnya di tas, juga di pakaiannya yang sempat diganti sebelumnya. Namun kartu tanda pengenal tetap tidak ditemukan. "Kamu kehilangan sesuatu?" Dimas muncul saat Sherly menutup pintu lokernya. Membuat orang terkejut. Hampir jantungan. "Kartu tanda pengenalku. Apa kamu melihatnya?" Dimas spontan ikut mencari di sekitar. Tidak lupa juga mencari di tempat sampah siapa tahu seseorang tanpa sengaja menganggapnya sebagai sampah. Namun tidak ada. "Coba kamu ingat di mana terakhir kali kamu melihatnya?" Sherly duduk sambil berusaha mengingatnya. Pada saat itu matanya terbuka sedikit lebih lebar saat ingat jika tadi saat berangkat pun Sherly tidak melihat kartu Tanda pengenal menempel di jas putihnya. "Mungkinkah tertinggal di apartemen?" Sherly menepuk keningnya. "Jika benar tertinggal di apartemen, kamu tidak ada waktu untuk mengambilnya. Profesor mungkin akan memberi kamu hukuman lagi." Kalimat Dimas yang satu ini sangat masuk akal. Sherly tidak mungkin pulang ke apartemen untuk mengambil kartu tanda pengenalnya. Pertama, karena membutuhkan waktu untuk perjalanan pulang dan kembali. Kedua, Sherly tidak yakin mengingat di mana meletakkan kartu tanda pengenalnya. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia akan menghadap tanpa membawa tanda pengenal? Seto pasti melihat kesempatan ini untuk memberinya hukuman. "Pakai ini." Dimas mengeluarkan sebuah kartu tanda pengenal lain dari tasnya. Dia membuang fotonya, dan menyerahkannya pada Sherly. "Kebetulan aku punya kartu tanda pengenal saat magang dulu. Kamu pakai saja agak ke bawah, professor mungkin tidak menyadarinya." Sherly mengambil kartu tanda pengenal itu dan memasangnya di jas putihnya. Seperti ucapan Dimas, Sherly sengaja menurunkan lebih dari separuh kartu tanda pengenal itu ke dalam sakunya, berharap Seto tidak menyadari jika itu bukan tanda pengenalnya. "Terima kasih," ucap Sherly. Per siang ini Sherly sudah berterima kasih dua kali pada Dimas. Sherly harus mengakui jika Dimas sangat baik dan peduli, terlepas dari sikapnya yang jarang bicara. "Ayo pergi," ajak Dimas sambil melihat jam. "Profesor mungkin akan menghukum kita jika datang lebih terlambat." Sherly mengangguk. Dia melihat kartu tanda pengenal palsu itu saat berjalan melewati dinding kaca. "Sepertinya ini akan berhasil. Dia tidak mungkin menyadarinya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD