SH - 03

1630 Words
Pane bilang aku adalah orang sangat jarang sekali marah. Di dalam hidupnya mungkin akulah satu-satunya orang yang ia lihat tak pernah marah. Itu benar. Aku memang sangat jarang sekali marah, hampir tak pernah mungkin. Ini marah dalam artian marah besar dan marah yang menggebu-gebu. Tapi bukan berarti aku memang tak pernah marah. Tentu saja pernah. Aku ini manusia normal.  Tapi aku tak pernah bisa mengeluarkan semua amarah itu. Mereka semua tertahan di dalam d**a dan aku sendiri yang tahu. Mungkin saja teman-temanku tahu jika aku marah, hanya saja aku memang tak menunjukkannya secara terang-terangan. Aku bukan orang yang munafik. Bunda bilang aku memang punya pengendalian yang cukup bagus soal amarah dan emosi. Itulah kenapa aku jarang sekali meledak.  Orang-orang pasti mengenal aku dengan Yasmine yang manis. Tapi sebenarnya aku tidak semanis yang orang-orang bayangkan. Aku yakin aku tidak begitu.  Pertemuan tak terduga dengan Nata di apartemen Al kemarin masih menyisakan rasa canggung untuk diriku pribadi. Aku tidak marah pada Al karena apa yang kemarin terjadi adalah kesalahannya. Bagaimana jika Nata salah paham? Tapi seperti yang aku katakan, aku tidak bisa marah apalagi pada Al.  Al juga tidak menelfon lagi setelah kejadian kemarin. Sudah beberapa hari berlalu dan Al seperti ditelan bumi. Hm, tidak benar-benar ditelan bumi karena hal seperti ini bukan sesuatu yang aneh bagi kami. Al menghilang dan tak menghubungiku adalah sesuatu yang sangat biasa. Meski kami sangat dekat bukan berarti kami berkomunikasi 24/7. Al akan datang saat dia butuh. Atau Al akan datang saat dia ingin. Begitu juga dengan diriku. Impas.  "Buk.."  "Iya Dila.."  "Manager selebgram itu ngehubungin, katanya mau minta ketemu sama Ibuk."  "Kapan?"  "Tadi.."  "Kamu jawab apa?"  "Belum jawab. Saya cuma bilang tanya Ibuk dulu."  Aku memandangi jam tanganku. Sebenarnya aku tak punya banyak waktu hari ini. Aku sibuk. Ketika aku bilang aku sibuk itu artinya aku benar-benar sibuk.  "Bisa kamu aja yang temui, Dila? Saya punya jadwal yang padat hari ini?" Aku tak perlu memberitahu Dila sebenarnya karena dia yang lebih tahu bagaimana jadwalku.  Dila mengangguk. "Baik, Buk."  "Kamu tau harus melakukan apa, kan?"  Kembali Dila mengangguk. Aku tersenyum sekilas dan membiarkan Dila meninggalkan ruangan. Dering ponsel menarik perhatianku.  "Halo my other half, ada yang bisa dibantu?" Kalian sudah bisa menebak ini siapa. Ya, Shawn, kembaranku tercinta.  "Di kantor ya? Pasti belum makan siang." Shawn memang paling tahu diriku.  "Hm, belum.." aku sertakan sebuah gelengan meski Shawn tak akan bisa melihatnya. "Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?" Kadang kami memang suka bicara formal begini. Jika orang-orang tak mengenal kami, pasti mereka akan mengira kami berdua tak dekat.  "Aku sama Nana mau lunch. Nana minta ngajakin kamu juga. Katanya kangen belum ketemu kamu beberapa hari.." ya beberapa hari ini aku memang cukup sibuk dan tak sempat pulang. Lihat, aku sangat sibuk sekali.  "Hmm oke. Di mana? Aku nyusul beberapa menit lagi." Sambungan terputus beberapa saat kemudian. Aku segera membereskan pekerjaanku dan bersiap pergi. Di depan aku berpesan pada Dila kalau aku akan makan siang di luar dengan Shawn. Itu artinya aku tak boleh diganggu kecuali kalau ada yang darurat. Family time itu adalah momen yang sangat penting.  ...  "Emangnya ada yang kayak gitu?" tanya Namira.  "Ada, Na."  "Senekat itu? Bukannya fashion show gitu penjagaannya ketat ya?"  "Banget. Justru karena itu."  Namira meneguk minumnya. Dia tampak kebingungan. "Aku nggak ngerti."  "Yang nekat itu ya orang yang dapet undangan juga. Secara jelasnya ya tamu acara itu juga. Namanya juga dunia, Na. Apalagi kelasnya internasional dan brand besar kayak gitu. Sebanyak orang yang high end ya sebanyak orang yang gila juga. Sebenarnya yang gila banyak, tapi yang terobsesi ya beberapa aja. Itu contohnya kayak yang ngerusak acara itu."  Kami sedang membahas tentang sebuah insiden memalukan di sebuah acara fashion show brand ternama di Paris beberapa bulan lalu. Insiden itu sempat membuat heboh. Kebetulan aku di sana sebagai tamu undangan saat itu. Jadi aku menyaksikannya secara live di depan mata.  "Ngeri ya emang."  "Orang kalau udah haus popularitas ya gitu."  "Makanya kamu harus selalu hati-hati dan inget buat jaga diri.." Shawn mengingatkan aku. Dunia sekarang memang dipenuhi oleh hal-hal yang tak terduga.  "Sip bos. Tapi kalau di luar dengan acara sebesar itu bodyguardnya bisa dipercaya kok." Selama ini aku selalu puas dengan kinerja bodyguard ku. Acara seperti itu juga tak selalu punya insiden menakutkan.  "Gimana tokonya Na?” "Alhamdulillah Kak. Rame terus. Oh iya, Nana jadi keinget sama Mbak Anaya.."  "Mbak Anaya siapa?" tanyaku pada iparku itu. Aku tak ingat Namira pernah menyebut nama Anaya sebelum ini.  "Pegawai baru di toko, Kak.”  "Ohhh. Tinggal di mana?"  "Sekitar 20 menit lah dari toko."  "Udah nikah?" Aku tak tahu kenapa aku menanyakan ini pada Namira. Kenal Anaya juga tidak. Lalu apa urusannya denganku dia sudah menikah atau belum?  "Nggak tau Kak. Kayaknya sih belum. Mbak Anaya nggak cerita apa-apa. Nana juga nggak nanya detail waktu terima Mbak Anaya kerja." "Udah nggak usah dibahas. Nggak enak sama Mbak Anaya kalau kita omongin dia di belakang." Shawn mengingatkan kami. Iya juga. Hm sudahlah.  "Itu bukannya Kak Al?" Aku sontak menoleh ke arah Namira memandang. Benar saja. Ada Al di restoran ini. Sepertinya dia baru datang karena tadi aku tak melihatnya di sana saat memasuki restoran ini. Al tak sendiri. Aku mengenali kedua temannya itu.  "Kenapa?" tanya Shawn.  Aku menggeleng.  "Itu siapa yang sama Al? Kayak familiar muka yang cowok.."  "Itu Mas Arjuna."  "Arjuna anaknya Om Mulya?"  "Hm.." memang anaknya siapa lagi?  "Oh pantes kayak kenal. Yang cewek itu istrinya?"  Aku mengendikkan bahu. Aku pernah dengar memang kalau Mas Arjuna sudah menikah lagi setelah istrinya meninggal. Tapi tak pernah ada kebenaran dan bukti untuk itu. Perempuan di sebelahnya itu seingatku masih Mas Arjuna kenalkan sebagai pacar.  "Kayaknya sih bukan istrinya atau belum jadi istrinya. Kamu nggak inget yang cewek itu?"  Shawn menggeleng.  "Itu Serina, psikolog yang pernah nanganin Kak Noah.."  "Ohh dia. Eh jadi Serina itu kenalan Al?"  "Hm kayaknya sih gitu, aku nggak tau juga pastinya gimana.." sebenarnya aku kenal Serina juga karena Nata. Mereka bekerja di tempat yang sama. Sebelum Serina menangani Kak Noah, aku sudah lebih dulu kenal Serina. Orang-orang di lingkunganku tak mengenal Nata, itulah kenapa aku tak menjelaskan panjang lebar.  Saat meninggalkan restoran, aku bertemu Nata di pintu masuk. Benar-benar pertemuan yang tak terduga. Shawn sempat bertanya padaku karena Nata menyapa. Aku hanya menjawab dengan senyuman tipis. Aku benar-benar tak ingin menjelaskan pada Shawn siapa Nata. Biarlah Al sendiri yang mengenalkan perempuan itu nanti. Aku tak ingin ikut campur.  ...  Aku melambaikan tangan pada Alinka. Sahabatku itu tengah berada di salah satu toko perhiasan ternama. Alinka menelfon tadi, tepat setelah aku selesai bekerja. Jam menunjuk di angka 7.  "Lo dari kantor langsung ke sini ya?"  Aku mengangguk. Alinka sendirian. "Kala mana? Udah balik tugas?"  "Udah." Alinka memandangi etalase berisi berbagai macam perhiasan.  "Kala ke Dubai masa. Gue ditinggal sendirian. Sedih banget. Ini bagus nggak?"  Aku pandangi kalung yang Alinka peragakan ke lehernya.  "Bagus. Cocok sama tone kulit lo. Kenapa nggak ikut aja ke Dubai?"  "Pengen ikut sebenarnya. Tapi kata Kala di sana cuma sebentar. Dia juga nggak bisa ambil libur di sana karena masih ada jadwal penerbangan lagi."  "Uluh uluhh ciyan banget calon pengantin gue. Udah lo pacarannya sama gue aja ya dulu. Biarin calon laki lo kerja. Ini lo emang mau beli apa iseng aja?"  "Oh ini Kala yang nyuruh ke sini. Katanya dia udah siapin sesuatu buat gue.."  Aku manggut-manggut. Tak lama pegawai toko datang membawa sebuah kotak. Ini pasti pesanan. Askala ini walau irit bicara tapi kalau soal romantis patut diacungi jempol.  "Ini pesanan Pak Askala.."  Aku dan Alin memandangi takjub kalung di dalam box itu. Cantik. Benar-benar cantik. Askala pasti cinta mati sama calon istrinya ini.  "Makan dulu yuk. Rasanya udah lama gue nggak makan sama lo, Min.."  "Mau makan apa?"  "Ke sana aja yuk.."  Jika sudah dengan Alin rasanya hal lain jadi terlupakan.  Selesai makan dan berbincang tentang banyak hal, aku dan Alin memutuskan untuk belanja. Sudah lama juga kami tidak shopping. Saat keluar dari restoran, kami bertemu dengan Al dan Nata. Wow, sebuah kebetulan yang cukup mengejutkan. Tadi aku bertemu mereka secara terpisah. Kini aku bertemu lagi di saat mereka bersama.  "Eh anjir itu siapa yang sama Al? Kok gandeng tangan Al gitu?" Aku dan Alin sudah berlalu, tapi Alin sepertinya masih penasaran. Kami hanya saling sapa saja sekilas tadi. Tak mengobrol banyak. Al saja tak menyapaku.  "Lo kenal, Min?"  "Pernah ketemu beberapa kali.." aku sudah bilang kan kalau aku malas menjelaskan. Si Al ini juga kenapa tak mengenalkan pacarnya pada orang lain? Kenapa juga harus aku satu-satunya yang tahu?  "Siapanya Al?"  Aku mengendikkan bahu. "Nggak tau gue. Udah ngapain bahas dia sih?"  "Ih Min gue penasaran. Gue nggak pernah lihat Al sama cewek selain sama lo. Itu bukan pacarnya kan?"  "Kalau pacarnya juga kenapa, Lin? Suka-suka dia lah."  "Ih nggak setuju gue. Kan gue dukungnya Al sama lo."  "Ih kenapa gitu? Sembarangan banget lo main dukung-dukung aja. Gue kan udah bilang gue sama Al nggak ada hubungan kayak gitu."  "Ih bodo. Nggak peduli gue. Pokoknya gue nggak setuju Al sama cewek lain. Siapa itu tadi namanya?"  "Ngapain lo tanya-tanya? Males ah, Lin. Udah nggak usah."  "Gue cari tahu sendiri nih.."  "Alinka.."  "Gue serius. Ih gue nggak suka sama tuh cewek."  Aku tertawa. "Lo lagi PMS ya? Apa jangan-jangan lagi hamil.”  “Astagfirullah mulut lo. Belum juga diapa-apain gue sama Kala masa udah hamil aja.” Aku sontak terkekeh.  “Udah ah Lin, nggak usah bahas mereka lagi ya. Ntar gue cari cowok yang lebih kece dari si Al. Gue yakin lo bakal klepek-klepek dan langsung kasih restu.” Aku berusaha mengalihkan fokus Alin. Entah kenapa sahabatku ini terobsesi sekali menjodohkan aku dengan Al.  “Lo bener sih. Biar aja si Al puas-puas sama Nata. Ntar juga ujung-ujungnya dia balik ke lo.”  Aku melotot. Aku segera membawa Alin memasuki toko sebuah sepatu. Jika dibiarkan ocehan Alin tak akan selesai.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD