SH - 02

1862 Words
Aku punya empat orang sahabat baik, salah satunya adalah kembaranku sendiri. Kalian kenal kan? Namanya Shawn. Ya dia adalah kembaranku. Aku punya empat orang saudara yang amat sangat aku sayangi. Shawn adalah salah satu yang paling aku kagumi dan juga yang paling dekat denganku. Kami bisa berkomunikasi tanpa bicara.  Selain Shawn ada Pane, Askala, lalu Alinka. Pane sudah menikah. Dia menikah tak lama setelah pacarnya wisuda. Well, aku suka kisah cinta sahabatku yang satu itu. Pane menyukai Wendy, istrinya pada pandangan pertama pada insiden yang tak terduga. Aku tak pernah melihat Pane bercerita tentang seseorang seantusias saat dia bercerita tentang Wendy—yang kala itu belum menjadi pacarnya.  Lalu ada Askala dan Alinka. Ya mereka menjalin hubungan. Awalnya dimulai dari perjodohan yang kemudian berlanjut. Sejujurnya aku melihat tak ada kecocokan di antara mereka. Ada banyak sekali perbedaan. Tapi lihatlah mereka bertahan sampai sekarang. Oh iya, mereka sudah bertunangan.  Selain Pane, Shawn juga sudah menikah. Istrinya Namira atau biasa kami panggil dengan sebutan Nana. Kisah mereka juga salah satu kisah yang aku suka meski rumit dan menguras tenaga. Tapi lebih baik dari kisah cinta Shawn sebelumnya. Sebelum bersama Namira, kisah cinta Shawn benar-benar membuat aku sakit kepala. Ingin abai tapi tak bisa. Shawn yang sangat keras kepala benar-benar sangat menguji kesabaranku. Tapi sekarang Shawn sudah bahagia dengan Nana.  Dan di antara kami, sepertinya memang hanya aku yang tak punya pasangan. Terakhir aku punya kekasih sudah sangat lama, beberapa tahun lalu. Saat aku masih kuliah. Sudah lama sekali. Setelah itu aku tak pernah lagi menjalin hubungan dengan siapapun.  Alinka bilang aku belum move on. Nyatanya aku sudah move on. Aku sudah lupa pada pria terakhir itu. Aku sudah melepasnya. Ada banyak alasan untukku melupakannya. Salah satunya karena dia sudah ingkar janji. Dia meninggalkanku karena dia tak pernah ingin menikah. Tapi ternyata dia menikahi perempuan lain dan punya anak. Beberapa bulan lalu aku bertemu dengannya. Katanya dia sudah berpisah dengan istrinya.  Apa urusannya denganku?  Drtt.. drttt.. tidur nyenyakku terganggu oleh getar yang berasal dari bawah bantal. Aku menggapai ponsel dengan kondisi mata masih tertutup. Aku mengerjap beberapa kali setelah berhasil memaksa mataku terbuka.  Cahaya dari layar ponsel menusuk mataku. Aku harus benar-benar menyipitkan mata. Sepertinya aku terlalu lelah hingga lupa mengaktifkan mode malam pada layar ponsel. Aku langsung tidur saja tadi malam setelah selesai mandi dan memakai skincare.  Satu panggilan tak terjawab. Astaga dari siapa? Al.  Drrtt.. drtt.. ponselku kembali bergetar menampilkan nama Al lagi. Kenapa dia menelfon sepagi ini? Aku segera menjawab panggilannya karena Al tak suka terlalu sering menelfon. Batas kesabaran Al hanya 3 kali. Dia pernah mendiamkan aku selama satu bulan karena ini. Kekanakan sekali.  "Halo.." aku bisa mendengar betapa serak suaraku.  "Yas.."  "Kenapa? Buruan, gue ngantuk."  "Lo di rumah ya?"  "Menurut lo gue bakal di mana jam 5 subuh?"  "Gue nggak bisa tidur."  Ya Allah. Ingin sekali aku berkata kasar. Aku menarik napas dalam.  "Kenapa lagi? Lo habis minum ya?"  "Enggak."  Hening setelah Al menjawab.  "Lo udah minum obat tidur?"  "Udah. 2 tadi."  "Astaghfirullah, Al. Ntar lo overdosis."  "Itu aja masih nggak mempan."  "Ya nggak 2 juga, bahaya."  Nih anak ya bener-bener. Apa dia tidak memikirkan orang tuanya? Tante Nadin bisa shock berat kalau anak sulungnya ini kenapa-kenapa. Tapi Al memang punya kebiasaan susah tidur. Lumayan akut kadang. Tante Nadin dan Om Denis tak tahu tentang ini.  "Gue butuh tidur, makanya gue makan 2. Besok ada premier. Nggak tidur sekarang gue bisa ketiduran sore."  "Ya kalau ketiduran yaudah. Bablas. Lebih baik daripada overdosis."  "Premier nya sama Pak Presiden, Yas.."  Aku menghela napas. Memang penyakit tahu kapan momen untuk kambuh.  "Udah sholat?" Jurus jitu yang aku gunakan jika biasanya aku susah tidur.  "Dua hari lalu gue habis minum."  Dasar si bodoh. Minta si Al tobat juga percuma.  "Ya sholat aja. Diterima Tuhan atau enggak bukan urusan kita." Kenapa malah jadi membahas ini?  "Gue sholat subuh ngaruh nggak ya?"  Aku memijit kening. "Sholat dulu coba. Gue mau sholat juga."  Aku segera menunaikan sholat subuh. Entah si Al memang sholat atau hanya kata-katanya saja. Tepat setelah aku selesai membuka mukena, Al kembali menelfon. Tapi kali ini video call. Jika saja bukan karena Al sudah terlalu sering melihat wajah polosku tanpa makeup, aku pasti sudah menekan tombol reject sejak tadi.  "Hmm.."  "Udah selesai lo sholat?"  "Udah. Lo udah selesai?"  "Udah."  Aku menaikkan satu alis. "Cepet banget."  "Ya Allah, Yas, gue sholat beneran."  Aku mengendikkan bahu. Benar atau tidak ya dia dan Tuhan saja yang tahu.  "Lo mau ngapain?"  "Lanjut tidur. Jam 9 gue mau ke kantor."  "Temenin gue dulu."  Hmmm. Aku naik kembali ke tempat tidur, menarik selimut masih dengan layar ponsel di tangan. Wajah Al tak tampak seperti orang kurang tidur sama sekali. Kadang aku bingung dia benar-benar tidak tidur atau hanya alasan ingin mengganggu aku saja. Wajahnya masih sama seperti dia yang selalu aku lihat. Hanya rambut panjangnya saja yang agak berantakan.  "Kalau gue ketiduran ntar gimana? Masa gue nelfon Pak Presiden bilang gue ketiduran.."  "Emang acaranya jam berapa?"  "Setengah 3."  "Nonton bareng juga?"  Al bergumam dan mengangguk.  "Yaudah ntar gue bangunin."  "Telfon mah—"  "Iya gue ke sana Ya Allah, Al. Ih ngeselin."  Al akhirnya terkekeh. Al memang tidak bisa dibangunkan dengan panggilan telfon. Tak mempan. Jika dia tidur maka dering ponsel tak akan mempan untuk membangunkannya. Terkhusus jika dia tidur setelah insomnia begini. Al seperti orang mati.  "Lagian lo kondisi begini malah tinggal sendiri. Kenapa nggak balik ke rumah aja sih? Mana tau aja insomnya karena suasana apartemen, Al.."  "Apa hubungannya?" Al tertawa pelan. "Nggak ada hubungannya. Mau di rumah mau di sini sama aja."  Aku yakin ada hubungannya.  "Lagian lo kenapa sih nelfonin gue?"  "Terus gue mau nelfon siapa? Masa Shawn.."  "Ya enggak Shawn juga. Nata?" Nata ini orang spesial di dalam hati Al. Orang spesial yang berhasil menempati ruang kosong di sisi Al. Nata ini pacarnya si Al.  "Nggak enak gue ganggu dia pagi-pagi begini."  "Jadi ganggu gue enak?"  "Lo mah udah biasa."  "Ih jahat. Tapi seriusan, Al. Nata tau nggak lo kadang insom parah?"  "Tau."  Ya tentu saja Nata tahu. Lebih tepatnya Nata harus tahu.  "Terus?"  "Terus apa?" tanya Al.  "Ya berarti nggak masalah dong kalau lo nelfon dia waktu insom. Kenapa nggak enak? Kan Nata udah tau juga."  "Dia tau bukan berarti gue bisa sesukanya nelfon dia. Lagian gue pernah nelfon dia sekali, nggak diangkat. Capek banget mungkin."  "Baru sekali, Al. Baru bangun itu dia atau nggak denger. Biasa juga lo nelfon batasnya tiga kali."  Al tak merespon.  "Al.."  "Apaan?"  "Gue ngomong."  "Iya denger gue."  "Ya terus?"  "Nggak ada terus. Gue telfon dia nggak angkat. Yaudah."  "Baru sekali, Al. Lo aja nelfon gue sampe tiga kali."  Sekali lagi Al tak merespon.  "Kayaknya gue udah mulai ngantuk, Yas."  "Yau—"  "Jangan dimatiin. Biarin aja hidup. Ntar ngantuknya ilang.."  Alasan macam apa itu?  "Terserah lo lah. Tapi gue nggak ngomong ya.." aku lelah bicara. Malas juga.  "Yas.."  "Hmm.."  Al masih di sana. Katanya dia mengantuk. Tapi aku lihat matanya masih segar. Al punya mata besar yang sangat cantik. Apalagi dihiasi oleh bulu mata panjang dan lentiknya itu. Ditambah dengan alis yang tebal membuat Al tampak seperti ukiran. Entah kenapa aku merasa Al mirip sekali dengan Papa. Kata Bunda mungkin karena dulu Om Denis tidak suka pada Papa. Hm?  "Yas.."  "Jangan panggil lagi Al.. gue ngantuk ini."  "Jangan tidur dulu."  "Ya jangan panggil nama gue lagi pokoknya."  "Yas.."  "Ih Al.."  Al kembali terkekeh. Sebenarnya aku sudah tidak mengantuk. Bunda juga sering melarang kami tidur lagi setelah subuh. Tapi kadang aku sering melanggar karena kantuk dan juga lelah.  Perlahan aku melihat kelopak dan bulu mata lentik Al bergerak. Kemudian ia menutup matanya. Dalam jarak ini aku bisa melihat bagaimana mancungnya hidung Al. Kan, Al ini sangat mirip dengan Papa. Kalau orang yang tak mengenal kami mungkin akan bilang kalau kami ini bersaudara.  "Al.." aku memanggilnya dengan suara pelan. Al tak merespon. Dia sepertinya memang sudah tidur.  Aku meletakkan ponsel di atas kasur dengan keadaan telfon masih tersambung. Wajah Al masih ada di layar. Aku tidak memutuskan sambungan. Al bisa bangun jika aku melakukan itu. Aku menatap langit-langit kamar.  Aku belum ingin menikah. Tapi aku penasaran dengan siapa kira-kira aku akan menikah nanti?  ...  Berkas-berkas bertumpuk di atas meja. Ada beberapa desain tas dan perhiasan. Ada juga laporan produk yang akan masuk bulan ini. Aku sempatkan untuk memeriksa jam. Aku sudah janji akan membangunkan Al ke apartemennya. Aku sengaja menunda makan siang dengan niat akan sekalian makan siang nanti setelah membangunkan Al.  "Dila, saya mau pergi dulu sebentar."  "Ibuk balik?"  Aku melihat lagi jam. Menimbang beberapa hal akhirnya aku putuskan untuk tidak kembali. Aku akan menyelesaikan pekerjaan yang di luar saja. Tidak terkejar juga waktunya jika kembali ke kantor. Jika makan siang dengan Al maka akan memakan cukup banyak waktu.  Beginilah hubunganku dan Al. Aku akan selalu ada kala dia butuh. Itulah kenapa Al juga selalu ada saat aku butuh. Makanya Al akan selalu terlihat bersamaku saat aku menghadiri sebuah acara.  Sekuriti apartemen menyapa tatkala aku melewatinya. Aku sudah mengenalnya dan begitu juga sebaliknya. Aku cukup sering ke sini.  Aku menekan lift menuju lantai tempat unit apartemen Al berada.  Ting!  Aku melangkah menyusuri koridor. Tak jauh karena memang jaraknya dekat. Hanya ada tiga unit apartemen di lantai ini.  Aku menekan password apartemen kemudian langsung masuk. Al sepertinya memang belum bangun. Aku meletakkan tas di atas meja kemudian segera menuju ke kamarnya. Aku sudah sampai dan langsung mendorong pintu berwarna hitam itu.  Tadaaa..  Langkahku terhenti begitu saja di ambang pintu. Niat ingin masuk musnah dalam sekejap. Kedua orang di dalam kamar itu langsung menoleh padaku. Aku tidak tahu bagaimana kakunya wajahku saat ini.  Al tidak sendiri. Sialan!  Ada Nata.  Al bodoh. Tidak. Yasmine bodoh. Bisa-bisanya aku masuk di saat ada Nata di sini. Nata pasti bingung dengan kehadiranku. Al masih dikasur dalam posisi duduk dengan setengah badan masih tertutup selimut. Rambutnya memang sangat berantakan. Wajahnya juga tampak jelas seperti orang baru bangun. Ia menatapku dengan sorot yang tidak aku pahami. Nata dalam posisi duduk di pinggir kasur. Ia berpakaian rapi. Tampak anggun dengan dress 3/4 warna putih.  "Yasmine," sapa Nata memecah keheningan di antara kami.  Perlahan aku menarik sudut bibir. Ini canggung sekali. Aku tahu Nata tapi tidak mengenalnya dengan dekat. Bertemu dengannya juga jarang sekali. Tidak ada alasan untuk kami bertemu meski dia kekasih Al.  "Nata, hai.."  "Mau bangunin Al, ya?" Nata bertanya dengan tenang.  Aku mengangguk dengan kikuk.  "Maaf ya aku malah keduluan ke sini. Aku nggak tau kalau Yasmine mau ke sini. Malah jadi sia-sia udah repot-repot ke sini."  Aku hanya tersenyum. Lihat? Aku mungkin lebih cantik dari Nata. Tapi pesona Nata jelas jauh di atasku.  "Eh nggak apa-apa. Santai aja. Bagus malah kalau Nata udah ke sini.."  Si biang kerok malah diam saja. Kalau sudah ada Nata harusnya dia menelfonku jadi aku tak perlu repot-repot jauh ke sini. Mana macet.  "Kalau gitu aku cabut dulu ya."  "Eh Yasmine, nggak di sini dulu. Aku juga bawa makanan barusan. Sekalian makan sama Al."  Aku langsung menggeleng. Mau taruh di mana mukaku. "Udah makan barusan. Lain kali aja ya." Aku segera pergi. Malas sekali menjadi obat nyamuk. Cukup aku mual melihat kemesraan Askala dan Alin. Aku tak sanggup kalau harus melihat kemesraan Al dan Nata. Apalagi kemesraan di meja makan.  Aku menekan pedal gas, melaju mobil menjauhi apartemen Al.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD