SH - 04

1588 Words
"Selamat ya.." aku menyalami pengantin wanita yang merupakan salah satu pegawaiku. Dia menikah hari ini dan mengundangku. Karena aku punya waktu luang jadi aku menyempatkan untuk datang memberikan ucapan selamat.  Selesai berfoto dengan kedua pengantin, aku memutuskan untuk berputar sebentar menikmati hidangan. Setelah ini aku berniat pulang ke rumah. Sudah beberapa hari aku tak pulang karena berbagai hal. Aku rindu suasana rumah.  Beberapa pegawai yang datang menyapaku. Hari ini aku datang sendiri. Biasanya ada Al yang menemani. Tapi sudah beberapa minggu aku dan Al tak berkomunikasi. Terakhir aku melihat Al adalah saat di mall, saat dia bersama Nata. Mungkin mereka sedang lovey dovey sekarang.  Baru saja aku mengingat pertemuan dengan Al dan Nata, sekarang aku malah bertemu Nata. Apa yang Nata lakukan di sini? Nata melihatku dan perempuan itu menyunggingkan senyum ramahnya. Aku balas tersenyum. Aku melihat Nata tampak asyik berbincang dengan beberapa orang. Al memang jarang sekali bercerita tentang pacarnya ini. Tapi sedikit banyak yang aku tahu tentang Nata adalah dia orang yang sangat mudah bergaul. Nata punya pertemanan yang luas.  Selesai menikmati hidangan, aku memutuskan untuk pulang. Aku sudah rindu pada rumah. Rindu Bunda dan Papa. Rindu semuanya.  Baru saja aku masuk ke dalam mobil, tiba-tiba ponselku berdering. Nama Al tertera di sana. Kenapa Al tiba-tiba menelfon?  "Hal—"  "Yas, lo di mana?"  Aku bahkan belum sempat mengucapkan halo. Dasar si Al ini kebiasaan sekali.  "Lagi di luar, mau pulang." Al pasti mengerti maksud pulang yang aku maksud. "Kenapa?"  "Perut gue sakit. Ke sini ya buruan."  Aku hanya bisa menghela napas. Aku menyalakan mobil kemudian menekan pedal gas.  Aku memasuki apartemen Al. Aku tak akan tiba-tiba bertemu Nata lagi kan? Aku memanggil-manggil Al.  "Di sini, Yas.." terdengar sahutan dari living room. Aku segera menghampiri Al. Aku temukan pria itu sedang bergelung di sofa, dibungkus selimut.  "Apa yang sakit? Astaga Al, kenapa nggak pake baju sih?" Aku menghela napas begitu menghampiri Al dan menemukan Al shirtless.  "Perut gue sakit." Al mengabaikan protesku.  "Belum makan ya lo? Magh kambuh?" Aku meraba dahi Al. Tidak panas.  "Gue udah makan. Nggak tau perut gue tiba-tiba sakit."  Aku hanya bisa menghembuskan napas. "Telfon dokter aja ya."  Al tak melarangku untuk menelfon dokter. Sembari menunggu dokter datang aku memeriksa apartemen Al. Bersih. Al memang tipe orang yang selalu bersih. Baik apartemen maupun dirinya sendiri. Tapi ada satu hal dari Al yang kadang membuatku tak bisa berkata-kata. Ada momen di mana Al sangat tak pedulian pada keadaan. Cuek dalam artian yang benar-benar cuek. Contohnya seperti dia tak memakai baju tadi. Itu bukan sekali dua kali, tapi sudah tak terhitung berapa kali.  Aku bahkan pernah melihat Al hanya dibalut handuk saja. Dan itu sudah beberapa kali. Kadang aku merasa seperti diperlakukan seperti seorang laki-laki oleh si pria satu ini.  Aku membuka lemari pendingin dan menemukan beberapa dessert. Cemilan kesukaan Al. Kadang aku bingung pada pria ini. Al itu suka kopi yang sangat pahit dan tanpa gula. Tapi jika soal dessert maka Al suka dessert yang sangat manis. Aneh kan?  "Itu dessert kapan, Al?"  "Huh? Kemarin. Yas sini. Lo ke mana sih?"  Aku memutar bola mata kemudian kembali ke living room.  "Gue nelfon ke sini minta ditemenin malah muter-muter lo.." Al protes.  "Gue meriksa apartemen lo. Mana tau ada sesuatu yang berbahaya kayak gas bocor gimana coba?”  “Yas gue pake kompor listrik kalau lo lupa.”  Aku terkekeh. “Ya kan misalnya aja. Kalau ada maling yang sembunyi gimana coba.”  “Jadi lo mau ngadepin malingnya gitu? Lo mau gue digorok Pa Jav ya?”  Aku mengendikkan bahu.  “Mau ke mana lagi?” Rungut Al begitu aku bangkit dari sofa.  “Ya Allah Al mau ambil baju. Lo nggak pake baju gini gimana nggak sakit perut lo.” Aku menghela napas. Aku tinggalkan Al untuk mengambil pakaiannya di kamar. Aku masuk ke walking closet. Saat memilih baju untuk Al, aku menemukan sebuah dress tergantung rapi di sana. Aku hembuskan napas pelan. Jika ini bukan Al aku mungkin tak akan memaklumi. Tapi ini Al, sulit untuk tak memikirkan hal lain. Bukannya aku suka berburuk sangka, tapi sekali lagi ini Aldebaran.  “Pake dulu..” aku berikan selembar baju kaos oblong pada Al. Beberapa menit kemudian bel berbunyi. Dokter sudah datang.  “Kenapa lagi Al?” tanya dokter Cakra. Lihat kan? Si Al ini langganan dokter Cakra. Aku rasa dokter Cakra saja sudah bosan melihat wajah Al.  “Katanya sakit perut, dok..” aku menjawab.  Dokter Cakra memeriksa. Dokter itu kemudian tersenyum.  “Magh nya kambuh ini. Telat ya makannya?”  Al hanya diam. Dokter Cakra memberikan obat untuk Al minum langsung. Lihatlah, dokter Cakra bahkan membawa langsung obatnya seolah ia memang sudah tahu penyakit Al.  “Makasih ya, dok.” Aku mengantar dokter Cakra ke depan pintu.  “Sama-sama Yasmine. Itu tolong makanan Al diperhatikan ya. Saya nggak bosan-bosan untuk mengingatkan. Al ini kayaknya sekarang istirahatnya lagi kurang banget jadi makanannya harus diperhatikan lebih ekstra ya.”  Aku hanya bisa menghela napas. Aku tersenyum pada dokter Cakra sembari memberikan anggukan.  “Lo pasti telat kan makannya?” Aku marah pada Al.  “Tadi meetingnya molor.” Aku tahu Al hanya beralasan saja.  “Itu kenapa kulkas lo kosong? Cuma ada dessert sama beberapa botol minuman kaleng.” Aku tak tahu sejak kapan Al minum-minuman kaleng. Yang aku tahu Al tidak suka minuman bersoda. Selain air putih, minuman yang Al minum hanya kopi dan alkohol. Kenapa bisa ada stok minuman kaleng di dalam kulkasnya?  Biasanya kulkas Al ini penuh makanan. Entah makanan kiriman Mama Nadin atau makanan siap saji yang dia pesan. Aku cukup sering memanaskan makanan untuk Al.  “Gue belom belanja lagi. Gue baru balik makanya Mama belum ngirimin makanan.”  “Balik dari mana?”  “Malaysia.”  “Lo ke Malaysia? Kapan?”  “Udah dua minggu. Baru tadi gue balik.” Jadi Al menghilang dua minggu karena ke Malaysia.  Aku benar-benar hanya bisa menghela napas.  “Yaudah telfon Mama minta kirimin makanan.”  “Ntar ajalah.” Al merubah posisinya menjadi telentang. Ia menutup matanya dengan lengan. Memang anak satu ini menyebalkan sekali.  “Lo habis dari mana Yas?”  “Nikahan karyawan gue.”  “Oh.”  Aku ingin mengatakan pada Al kalau tadi aku bertemu Nata. Tapi akhirnya keinginan itu tertelan saja di kerongkongan.  “Yas bikinin gue makanan dong.”  “Hah? Makanan apaan? Gue mana bisa masak.”  “Apa aja terserah. Mie goreng kek, apa kek.”  Ya Tuhan anak satu ini.  “Lo lagi magh jangan makan mie goreng. Ntar gue diomelin dokter Cakra. Yang lain aja. Gue pesenin makanan aja ya.”  Al tak menolak. Aku segera memesan makanan dari restoran langganan Al.  “Coba lo bisa masak, Yas. Kan enak.”  Aku terkejut mendengar perkataan Al.  “Lo bisa bikinin gue makanan, nggak mesti dikirimin Mama. Kalau dikirimin Mama ntar ribet. Diceramahin, disuruh pulang.”  “Ya Mama kan kangen sama anaknya. Wajah lah.”  “Ya kalau lo bisa masak kan lebih gampang juga.” Al memandangiku. Minta ditampar memang si Al ini.  Aku tak membantah Al lagi. Malas berdebat. Terserah dia saja mau mengatakan apa. Dering dari ponsel Al memecah keheningan. Al mengambil ponselnya dan terlihat memperhatikan layar. Beberapa detik kemudian Al meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula.  “Kenapa nggak diangkat?”  Al hanya menggeleng pelan. Awalnya aku pikir itu telfon dari pekerjaan, tapi aku salah. Itu telfon dari Nata dan Al mengabaikannya. Aku beranjak ke kitchen untuk membuatkan Al teh hangat. Malas terlibat dalam masalah Al dan Nata.  …  “Gue pulang ya, Al..” jam sudah menunjuk di angka 7 malam. Al juga sudah membaik. Dia bahkan sudah selesai mandi sementara badanku terasa sangat lengket sekarang.  “Ntar aja.”  Aku benar-benar ingin melayangkan pukulan ke wajah anak Mama Nadin ini.  “Gue belum mandi, Al. Udah dari jam berapa gue di sini?”  “Yaudah tinggal mandi. Ntar pakai baju gue.”  “Sembarangan. Lo pikir orang mandi itu cuma ganti baju aja?”  “Kenapa? Dalaman? Ntar gue beliin, gampang.”  Aku melempar cushion ke arah Al dan pria itu bisa menangkap dengan sigap.  “Lo nikah aja deh Al biar ada yang ngurusin. Dibayar juga enggak gue ngurusin lo perasaan.."  "Nikahnya sama lo ya?"  Aku menatap Al tajam.  “Kalau gue bayar juga percuma. Duit lo udah banyak. Sampai kapan tahu juga nggak habis duit Pa Jav. Gue nikah sama lo aja ya..”  Aku tak merespon Al. Aku segera bangkit dari sofa, bersiap untuk pulang. Tapi Al malah mendekat tiba-tiba membuatku refleks mundur dan berakhir terduduk lagi di sofa.  “Al jangan bercanda!” Aku menahan d**a Al dengan kedua tangan. Bukannya berhenti Al malah makin mendekat. Kini badan Al hampir menghimpit badanku. Wajahnya berada tepat di depan wajahku. Nyaris tak ada jarak di antara kami.  “Bercandanya nggak lucu, Al.”  “Yaudah ayuk nikah sama gue biar nggak bercanda lagi.”  Ingin aku mengumpat rasanya.  “Sana nikah sama Nata. Ngapain ngajakin gue!”  “Gue lamar lo masa nikahnya sama Nata.”  “Udah sarap emang.” Aku mencubit perut Al membuat pria itu mengaduh kesakitan. Al akhirnya beranjak ke samping.  “Main cubit, nggak seru. Sakit tau.” Al mengangkat bajunya. “Merah nih. Kdrt lo.” Al mengusap-usap kulit perutnya. Untung aku sudah biasa melihat pemandangan semacam ini.  “Gue pulang dulu. Itu makanannya dimakan kalau enggak gue kasih tau Mama Nadin biar lo diseret pulang.”  Aku mendengar Al bergumam. Ia melambaikan tangannya. Aku meninggalkan apartemen Al dan langsung pulang ke rumah. Al memang tak akan senang kalau tidak menyusahkanku. Dasar sutradara childish.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD