“Kebetulan banget ya kita ketemu di sini,” ucap Yuni tersenyum menyapa. Aku menarik napas yang terasa berat di dadaku. Mata tak tinggal diam, menelisik suamiku—berharap dia tak datang tiba-tiba. Kalau tidak aku bisa tinggal nama. Yuni pasti menguliti habis dan detik kemudian berita viral tersebar di seluruh grup kampus. “I—iya. Lo beli apa?” tanyaku sekadar basa-basi agar tidak terlalu ketara, sambil mencari ide untuk terlepas dari Yuni. “Biasa, gue beli kebutuhan bulanan. Yang pastinya ini yang nggak boleh tinggal.” Yuni mengambil pembalut lalu memasukkan ke dalam keranjang. “Oh,” aku tersenyum terpaksa. “Lo belanja aja dulu, gue mau ke sana!” Jariku asal menunjuk ke belakang dan ternyata tepat Zayyan berdiri. Kedua mataku langsung menatap memelototi, lalu mengarahkan bola mataku ke