"Ngapain lo di kamar gue?" ketus Nabila saat melihatku masuk.
Aku menyengir kuda melompat ke kasur, membuat Nabila sebal memukulku dengan boneka hello kitty kesayangannya.
"Gue tidur di sini ya," kataku sambil memeluk bantal guling.
"Lo udah ada suami, ngapain tidur sama gue?" Nabila kembali ketus, lirikan sinis itu dapat kutebak bahwa dia sedang galau memikirkan Bara Bere.
Rasain emangnya enak. Siapa suruh jebak aku.
"Gue takut nggak perawan lagi deket-deket sama dia, Na. Makanya gue ngungsi ke sini."
"Dih, istri apaan lo? Durhaka lo nolak suami, Sa." Nabila menasehati. Dia banyak tau soal hukum agama karena dulu pernah mondok, tapi kelakuan yang nau'dzubilah suka keluar masuk pesantren membuat dia rada eror. Aku mengatakan Nabila itu kakinya sebelah dalam surga sebelah lagi dalam neraka.
"Dih, dia nggak pernah minta." Aku menyela dengan cepat.
"Ooo, jangan bilang lo nunggu?" Nabila menyeringai menggodaku, namun aku hanya mengedik kedua bahu.
"Nggak lah. Tapi iya juga, kepo," kekehku kemudian yang langsung dipukuli dengan boneka hello kitty.
"Otak lo eror, Sa,” maki Nabila dan aku malah tertawa. Sudah biasa bercanda dengannya tanpa filter. Jadi jangan kaget.
"Lo juga." Aku bangkit dari tidur, duduk bersila, menatap wajah Nabila cukup serius. "Jadi gimana perkembangannya?"
"Bisa nggak gue gampar lo sekarang atas apa yang lo lakuin ke hidup gue?" tanya Nabila dilematis. Apalagi kalau bukan Bara, kekasih tercinta yang rela kabur meninggalkan pernikahan demi dia.
"Kalau gue bunuh lo dosa nggak?" balasku dengan cepat. Rasa kesal dalam diriku masih belum reda oleh pernikahan dadakan.
"Gue itu sekarang nikah sama Zayyan, laki-laki yang nggak gue kenal sama sekali. Kenalnya cuma di bandara doang, terus selesai, mendadak nikah. Enak aja lo kabur, pokoknya lo juga harus nikah sama Bara."
"Lo emang resek, Sa. Gara-gara lo bokap Bara telpon gue, tanyain kapan bisa datang ketemu bunda buat lamar," keluh Nabila menendang-nendang selimut.
"Alhamdulillah," ucapku dengan keras, mengusap wajah bangga.
"Astagfirullah. Itu baru benar," sela Nabila memanyunkan bibir. Aku pun terkekeh pelan.
"Nggak usah pura-pura nolak, padahal lo udah ngebet banget pengen kawin kan?" Aku menyenggol lengkapnya, mengedipkan- kedipkan mata nakal.
"Kucing kali kawin. Gue tu belum pengen nikah muda, Sa. Baru 21, maunya nikmati hidup. Biar kata orang habisin masa muda lo jangan sampai nyesal, akhirnya ngulang di masa tua. Jadinya gue puber lagi nanti."
"Jadi lo mau nikah umur 40 gitu?"
"Ih, apaan sih lo? Nggak nyambung." Nabila ngambek.
Tok ... Tok ...
"Sabila," panggil Bunda Nurma dari balik pintu.
"Iya, Bun."
Pintu terbuka, Bunda Nurma langsung masuk menghampiri.
"Ngapain di sini malam-malam jum'at?"
"Ngungsi, Bun,” jawabku apa adanya.
"Nggak boleh gitu! Kamu harus balik kamar, kasihan Zayyan sendirian malam jum'at."
"Memangnya kenapa dengan malam jum'at? Dia jadi demit gitu?" tanyaku polos karena tidak tau makna malam jum'at.
"Eh, bukan itu."
"Terus apa, Bun?" Aku menatap Bunda Nurma kebingungan lalu Nabila. "Apa, Na?"
"Lo temui aja deh suami lo! Tanyain malam jum'at itu apa dan lo harus apa," kata Nabila cukup serius. Aku pun menoleh pada Bunda Nurma yang menganggukkan kepala.
"Oke." Segera aku turun dari ranjang, mengambil hp yang tadi aku letak di atas nakas lalu melangkah pergi.
Aku cukup penasaran dengan malam jum'at. Mimik wajah Bunda Nurma dan Nabila sangat serius, seperti ada kejadian sesuatu.
Tiba di depan pintu kamar, aku langsung membuka dan melihat Zayyan baru saja keluar dari kamar mandi.
Aku menutup pintu kembali, lalu mendekatnya dengan rasa penasaran. "Iyan, bunda Nurma suruh gue ke sini karena malam ini malam jum'at."
"Uhuk." Zayyan terbatuk melonggarkan kerah baju tidur di pakainya. Seperti orang kepanasan, padahal kamar cukup dingin dengan pendingin ruangan.
"Eh, gue tanya lo malah batuk-batuk. TBC ya?"
Dia mulai menatapku dan aku pun meneruskan untuk bertanya, menuntaskan rasa penasaranku.
"Malam jum'at itu apa sih? Gue harus apa?"
"Yakin mau tau?" Zayyan tersenyum tipis duduk di tepi ranjang. Aku mengekori dan duduk di sebelahnya.
"Emang apa?"
"Malam jum'at itu malam sunnah."
"Terus?" Aku mendengar dengan cukup serius.
"Banyak hal yang bisa dilakukan malam jum'at. Seperti baca yasin, baca surah Al-Kahfi dan ibadah sunnah lainnya," jawab Zayyan dengan tenang.
"Apa itu?" tanyaku penasaran dengan ibadah lainnya. Aku tipe perempuan yang harus dijelaskan secara detail dan tak suka kalimat ambigu, juga tak suka tebak-tebakan, walaupun kadang aku juga begitu.
"Seperti ..." Spontan aku memajukan wajah menanti jawaban Zayyan yang menggantung seperti jemuran.
"Seperti?"
"Melakukan hubungan suami istri."
Aku terperanjat lekas bangun, menyilang tangan di d**a lalu di bagian bawah perut.
Dia pun ikut bangun dan ...
"Arggh ..." teriakku berlari keluar dari kamar.
Benar-benar kena tipu. Aku terus berlari ke kamar Nabila. Tiba-tiba langkahku terhenti saat membaca tulisan di depan pintu.
"Yang sudah bersuami dilarang masuk!"
Aku tak peduli, segera memutar handle pintu tapi tak bisa, karena Nabila sudah mengunci dari dalam. Fix, ini sengaja.
"Na, buka pintu!" teriakku menggedor-gedor pintu tapi tak juga di respon.
"Asem lo, Na." Aku memalingkan wajah melihat pintu kamarku yang masih terbuka. Terlihat Zayyan menatapku sekilas dengan sengiran sontak membuat kedua bahu mengedik ngeri.
"Kenapa jadi nyerimin banget sih kalau malam?" Aku mengangkat kepala ke atas. "Langit, bisakah kau cepat terang?"
Aku menghembuskan napas dengan kasar, berjalan ke arah tangga. Menuruni satu persatu dan terus berjalan sampai ke sofa.
"Malam ini tidur di sini aja deh," gumamku menghempaskan tubuh di atas sofa. Memejamkan perlahan mataku, mencoba menghilangkan keresahan.
Hening! Tak ada suara satupun karena semua penghuni rumah ini sudah masuk ke dalam kamar. Hanya aku yang tidur di luar. Menyebalkan!
"Hihihihi ...." Sayup-sayup terdengar suara tawa. Kembali aku membuka mata, duduk celingukan mencari sumber suara.
"Hihihihi ...." Lagi suara terdengar. Bulu kuduk mulai meremang.
"Hantu!" teriakku gegas berlari ke arah tangga, lalu masuk ke dalam kamar. Bukan kamar Nabila, tapi kamarku.
Aku membanting pintu kamar karena ketakutan, lalu melompat ke arah Zayyan yang hendak bangun. Menenggelamkan wajahku di dadanya dengan napas berburu.
"Apa kamu nggak salah?" tanya Zayyan. Aku tak peduli dan masih betah memeluknya.
"Ada hantu di luar," kataku ngos-ngosan.
"Hantu apa hantu?"
Aku mendongak, membulatkan mata. "Emang hantu di luar. Ada suara ketawa," jawabku apa adanya.
"Modus. Bilang aja kamu ingin memeluk saya," kata Zayyan dengan tersenyum tipis.
"Dih, Kepedean." Segera aku melepaskan tanganku yang memeluk Zayyan sambil menggulingkan tubuh di sampingnya dan memunggunginya.
Detik kemudian, tubuhku bergeser ke belakang, hingga menempel di punggung Zayyan. Lekas aku membalikkan tubuhku lalu memeluknya seperti bantal guling.
"Sabila Putri." Zayyan memanggil namaku dengan lengkap.
"Peluk doang, pelit amat sih jadi suami."
"Kalau saya khilaf gimana?"
"Gue sunat lo," ketusku semakin mengeratkan pelukkanku. Tidak akan kulepaskan malam ini. Lagipula hantu keluar malam-malam jum'at, kenapa tidak siang saja?