Adel mendongak, menatap sang mama dengan tatapan memelas. Berusaha memohon sekali lagi kepada mamanya, berusaha menyampaikan sesuatu kepada mamanya lewat bahasa isyarat tatapannya. Sedangkan sang mama nampak tidak peduli, kekeh pada pendiriannya. Tetap bersikeras menikahkan Adel dengan Alvin. Rina menangkup wajah cantik sang putri, mencium keningnya, menoleh ke cermin besar di depannya, sedikit membungkuk, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Adel, satu tangannya menunjuk kearah cermin.
“Lihat Sayang. Kamu kelihatan cantik banget. Mama yakin, Alvin akan terpesona begitu melihat kecantikan kamu.” Adel nampak tidak peduli dengan pujian sang mama. Sekali lagi dia ingin meyakinkan mamanya. Menoleh wajah cantik mamanya.
"Ma ... tolong batalkan pernikahan ini, Adel janji akan menyelesaikan kuliah Adel, tapi tolong jangan nikahkan Adel sama bocil itu, Mama juga tau kalau Adel sudah punya pacar." Adel benar-benar berharap sang mama mau membantunya untuk kali ini.
" Enggak! sekali mama bilang nggak ya nggak.” Benar-benar tidak menghiraukan rengekan Adel. “Harusnya kamu tuh seneng, suami kamu masih brondong, imut-imut lagi," ucap sang mama, dengan ekspresi yang membuat Adel benar-benar jengkel.
"WHATT! kalau Mama mau, ambil aja buat Mama." Adel melengos, bener-bener kesel dengan kata-kata mamanya barusan.
"Dasar anak kurang ajar. Emang Papa kamu mau di kemanain?!” kesal Rina.
“Ya terserah Mama. Dari tadi ‘kan Mama kek tersepona dengan Alvin.” Sang mama benar-benar meradang. Bagaimana mungkin, Adel punya pikiran seperti itu.
“Sudah. Ayo kita keluar. Lama-lama kamu tambah ngaco, pusing Mama kalau ngomong sama kamu.” Rina sedikit menarik tangan Adel supaya mau berdiri.
Adel terpaksa berdiri, mengikuti langkah sang mama dengan wajah yang cemberut. Rina hanya geleng kepala melihat wajah cemberut sang putri.
“Ayo Sayang …” Menoleh kearah putrinya.
“Ma …” Sekali lagi Adel nampak memohon.
Rina menggelengkan kepalanya. “Tidak. Sekali Mama bilang tidak. Ya tidak.” Kembali Rina sedikit menarik tangan Adel. Terpaksa Adel mengikuti langkah sang mama, walau kadang sesekali dia menghentakkan kakinya. Hari ini benar-benar hari tersial dalam sejarah hidupnya Adel.
Ruang Tamu
Alvin benar-benar terlihat sangat berbeda, wajah bocahnya benar-benar tersamarkan dengan penampilannya kali ini. Siapa sangka, dia masih berstatus seorang pelajar. Ganteng, kata itulah yang pertama kali terucap , untuk seseorang yang melihatnya.
Tidak selang beberapa lama, Rina turun dengan menggandeng tangan Adel. Dengan terpaksa, kadang dia mencubit tangan Adel, memaksa sang putri untuk tersenyum. Mau tidak mau, Adel terpaksa tersenyum, daripada tangannya harus menjadi korban kekerasan sang mama.
Semua mata tertuju pada wajah cantik Adel, tidak diragukan lagi, Adel benar-benar terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya warna putih. Meskipun dengan sedikit polesan, gadis itu nampak cantik mempesona. Erika yang duduk di belakang Alvin, terpakasa harus menarik baju Alvin, menyadarkan adiknya yang tengah melongo memandang Adel.
“Vin! Fokus. Malu-maluin aja. Entar loe pandangin sepuasnya bini loe. Sekarang tolong deh, jan kek orang bloon …,” bisik Erika. Alvin nyengir, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Iya, gue tau,” jawab Alvin.
Kembali Alvin fokus, karena Adel sudah duduk di sebelahnya. Adel melirik kilas kearah Alvin, memang dia akui, Alvin sangat tampan. Tapi mau gimana lagi, hati Adel hanya untuk Bang Reno seorang. Tanpa Adel duga, tatapan keduanya bertemu, Alvin tersenyum kearahnya, menaik turunkan alisnya, membuat adel semakin kesal.
Heri dan Herman maju ke depan, duduk di samping Adel dan Alvin, memberitahukan kepada pak penghulu yang dari tadi sudah siap untuk menikahkan keduanya.
“Bisa di mulai sekarang Pak. Kedua mempelai sudah siap.” Yang ini suara Heri, papanya Adel.
Heri merangkul pundak Adel, mencium kilas pucuk kepala sang putri. Herman yang berada di samping Alvin, juga merangkul pundak putranya, sekali lagi dia meyakinkan putranya, bahwa semuanya akan baik-baik saja, Alvin menoleh sang papa, tersenyum kearah papanya. Rina dan Resti saling berpegangan tangan, keduanya nampak tersenyum bahagia. Mereka benar-benar bahagia, akhirnya mereka berbesanan.
Sedangkan Erika terlihat cemberut, gadis ini benar-benar masih terlihat sangat kesal dengan Arka. Entah mengapa darahnya tiba-tiba saja mendidih jika melihat Arka, yang kadang sesekali menggodanya.
“Apa loe! lihat-lihat.” Erika menatap tajam kearah Arka.
“Yaelah, galak amat Neng. Jan kebanyakan ngegas, ntar cepet tua.” Arka sedikit menggeser duduknya, membisikan kata-kata itu tepat di telinga Erika.
Erika melotot tajam kearahnya. Cowok disampingnya ini benar-benar membuatnya darah tinggi. “Kamu—“ Erika nampak mengatur nafasnya, berusaha untuk bersikap manis. Menoleh kearah Arka, pura-pura tersenyum meskipun mukanya terlihat jelek banget. Arka berusaha menahan tawanya, tidak mungkin dia tertawa lebar di saat acara ijab qabul akan dimulai.
“Baiklah. Berhubung kedua mempelai sudah siap, Acara ijab qabul akan saya mulai.” Penghulu mulai membuka acara, Heri berpindah tempat duduk, kini dia duduk tepat di hadapan Alvin, menjabat tangan Alvin, Penghulu pun memulai acara ijab qabul itu.
“Saudara Alvino Pramudita Atmajaya saya nikahkan Anda dengan saudari Adelia Putri Pratama bin Heriawan Pratama, dengan maskawin … di bayar tunai.” Dengan suara yang cukup lantang dan jelas, Alvin menjawab.
“Saya terima nikah dan kawinnya saudari Adelia Putri Pratama bin Heriawan Pratama dengan maskawin … di bayar tunai.” Alvin tersenyum lega setelah mengucapkan lafal itu.
“Bagaimana saksi. Sah!” ucap Penghulu.
Semua orang yang menjadi saksi dalam acara pernikahan itu, menjawab dengan sangat kompak.
“Sah !” seru semua orang yang berada di tempat itu.
Menandakan jika pernikahan keduanya telah sah, baik secara hukum maupun agama. Alvin mengulurkan tangannya kearah Adel, dengan sangat terpaksa Adel mencium punggung tangan Alvin. Wajah cantik itu masih terlihat cemberut, sedangkan Alvin terlihat sangat bahagia, bocah remaja ini tidak pernah menyangka jika dia akan menikahi gadis pujaannya secepat ini.
Setelah acara ijab qabul selesai, para keluarga besar berkumpul di ruang tengah untuk membicarakan perihal Adel dan Alvin yang telah berstatus sebagai suami istri. Sedangkan pak penghulu langsung meninggalkan kediaman Heriawan, karena masih ada beberapa pernikahan yang harus ia datangi.
Rina mendekati sang putri yang masih saja manyun, mengecup lembut kening sang putri.
“Sudah … jangan cemberut terus, Jelek tau. Ayo kita gabung sama mereka.” Rina mengajak Adel untuk bergabung dengan yang lainnya di ruang tengah.
“Ma … apa Mama tidak kesian sama Adel. Kenapa Mama tega paksa Adel buat nikahin tu bocil,” ucap Adel dengan mata berkaca-kaca. Rina menoleh, tersenyum manis kearah sang putri. Sekali lagi dia harus menyakinkan Adel.
“Mama tidak pernah merasa kasian sama kamu, tapi Mama sangat menyayangi kamu, itulah sebabnya Mama sama Papa menikahkan kamu sama Alvin. Suatu hari nanti kamu akan mengerti Sayang.” Kembali Rina mengecup lembut puncuk kepala Adel. Membawa Adel ke Ruang Tengah.
Alvin yang sudah duduk di sana sejak tadi, memandang kearah Adel yang tengah berjalan ke ruangan itu dengan sang mertua. Tersenyum lembut kearah istrinya, sedangkan Adel melengos, gadis ini benar-benar tidak terima, jika Alvin sudah berstatus sebagai suaminya. Rina membawa Adel duduk di samping sang suami. Adel pun duduk tanpa menghiraukan Alvin di sampingnya.
“Oke, berhubung semua sudah berkumpul. Aku ingin membicarakan sesuatu yang sangat penting mengenai Adel dan Alvin,” ucap Herman.
Semua terdiam, menyimak setiap kata-kata yang keluar dari bibir Herman. Apapun keputusan Herman nantinya, semoga saja itu semua demi kebaikan Alvin dan Adel. Herman nampak menghembuskan napasnya kasar, mulai menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan.
“Baiklah, aku tidak ingin berbasa-basi mengenai hal ini. Sebenarnya ide ini bukan dari aku aja, tapi aku dan Heri yang sudah mengaturnya jauh sebelum pernikahan Adel dan Alvin di laksanakan.” Herman menatap Heri, sang sahabat pun mengangguk, membenarkan kata-kata Herman.
“Sesuai dengan kesepakatan kami, Alvin dan Adel akan tinggal bersama di rumah baru mereka,” ucap Herman. Adel melotol, hampir tidak percaya dengan kata-kata papa mertuanya.
“Apa! Ini nggak benar.” Adel berusaha protes. Semua orang menatap tajam kearah Adel, membuat Adel tertunduk, tidak bisa berkata-kata lagi.
“Lho! Emang apa salahnya Sayang.” Alvin ikut menimpali. Adel melotot, tidak terima dengan panggilan Alvin untuknya. Sedangkan yang lainnya nampak menahan tawa.
“Sayang?!” Adel mengeryitkan keningnya. Merasa aneh dengan panggilan Alvin untuknya.
“Iya. Apa salahnya, kamu kan istri aku. Nggak salah dong, aku panggil kamu Sayang,” ucap Alvin pe-de, yang langsung mendapat tonyoran dari sang kakak Erika.
“Lebay loe,” cibir Erika.
“Apaan sih Markonah, sakit tau.” Alvin mengelus kepalanya bekas tonyoran sang kakak.
“Lebay tuh jangan di pelihara. Bikin malu aja,” sahut Erika, yang dijawab santai oleh Alvin. “Biarin. Dasar jomblo,” ucap Alvin ketus.
“Sudah, sudah. Kalian ini dah gede, nggak seharusnya bersikap seperti anak kecil.” Yang ini suara Resti yang berusaha melerai kedua anaknya.
“Tuh! dengerin Markonah.” Erika langsung melotot kearah Alvin.
“Sudah. Kembali ke pembahasan kita. Keputusan kami sudah final. Adel dan Alvin akan tinggal di rumah baru mereka. Besok kalian sudah mulai aktivitas kalian seperti biasanya. Tempat itu kami pilih karena lokasinya cukup dekat dengan sekolah Alvin, dan kampus Adel. Sudah titik nggak ada keberatan lagi,” ucap Herman final.
Adel pun hanya bisa pasrah menerima keputusan itu. Rina menyuruh Alvin untuk membantu Adel mengemasi barang-barangnya, karena hari ini juga Adel harus tinggal bersama Alvin. Dengan senang hati, Alvin menyusul Adel yang berjalan menuju kamarnya.