Bi Rumi segera masuk ke dalam kamar Adel. Asisten rumah tangga itu geleng-geleng kepala, begitu mendapati kamar Nonanya sudah mirip kapal pecah. Menghembuskan nafas kasar, berjalan mendekat ke arah ranjang. Kaget juga melihat sebuah kutang tergeletak di lantai.
"Ya ampun. Den Alvin ganas banget, sampai-sampai kutang Non Adel terlempar sampai ke sini." Tersenyum, membayangkan dua pasangan muda itu, sampai-sampai dia baper.
"Ealah, lha wong namanya juga pengantin baru. Lagi greng-grengnya, jadi ingat sama Pak'e dulu. Saking bersemangatnya sampai ranjangnya ambruk. Hihihi ...." Bi Rumi terkikik geli, membayangkan keganasan pak Tejo dulu.
Untung aja ranjang milik majikannya terbuat dari besi, coba aja kalau sama dengan ranjang miliknya di kampung. Ngak kebayang, tragedi bi Rumi vs pak Tejo terulang lagi. Seperti itulah, kiranya pemikiran bi Rumi.
Eits! jan salah. Bi Rumi menuduh bukan tanpa bukti lho! nyatanya kutang terlempar sampai beberapa radius meter.
Ruang Keluarga
Semua mata menatap ke arah Adel dan Alvin yang berjalan ke arah mereka. Bahagia? dah pasti. Melihat Alvin yang terlihat sangat cuek merangkul pundak Adel, berjalan seolah tanpa beban.
"Lepasin ...," lirih Adel, tanpa menoleh ke arah Alvin, tersenyum dibuat semanis mungkin, seolah di terlihat begitu menikmati rangkulan Alvin.
Alvin pun tersenyum. Semakin mempererat rangkulannya, melingkarkan satu tangan Adel ke pingganya. Adel berusaha menarik tangannya, tapi nggak bisa. Genggaman tangan Alvin terlalu kuat.
Heri, Herman, Rina, Resti, tersipu. Inget waktu berstatus pengantin baru dulu, masing-masing ikut merangkul gemas pasangan mereka. Erika nyengir, memutar bola matanya jengah. Arka yang baru saja sampi di ruangan itu, nyengir juga. Menelan ludahnya, pen banget kek mereka, tapi nggak punya pasangan. pasrah, hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Maaf, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya. Boleh kita berangkat sekarang? dan tolong ya. Hormati para jones ini, jangan bikin kami semakin ngenes." Semua menatap Arka, tak terkecuali Erika. Jengkel juga dengan manusia satu ini. "Dasar cowok sinting," cibir Erika. Arka menoleh." Emang kenyataan 'kan," sahut Arka. Erika kembali memutar bola matanya jengah. "Terserah lah." Erika berjalan keluar.
"Oke, kita berangkat sekarang. Adel sama Alvin, satu mobil sama Arka ya, Bi Rumi besok nyusul ke sana." Adel terkejut. Alvin sedikit membungkuk, berbisik di telinga Adel. " Biasa aja kali, Yang." Adel mencubit perut Alvin.
"Auw!" pekik Alvin. Adel menjulurkan lidahnya."Rasain!" Alvin tersenyum. Adelnya bener-bener nggemesin.
"Pen aku cium lagi ..." ujar Alvin. Adel melotot.
"Awas aja ka—" Belum selesai Adel bicara.
Cup! Alvin sudah berhasil mencuri ciumannya lagi.
"Boci!!" Semua menatap Adel tajam. Adel menunduk. Rasanya kek terdakwa maling ayam tetangga.
"Beneran nih Bini. Pen dicium terus," ucap Alvin dengan wajah tanpa dosanya. Adel melotot, menutup rapat bibirnya dengan kedua telapak tangannya. Bocah di sampingnya ini bener-bener kurang ajar.
Semua orang tersenyum, geleng-geleng kepala dengan tingkah Alvin.
"Loe kalau nyosor terus, kapan kelarnya Vin," celetuk Arka yang mulai jengah dengan tingkah adik iparnya.
"Yee! nggak papa keles. Dah halal Bang." Bener-bener bikin kesel.
"Halal, halal. Tapi inget tempat dong!" protes Arka.
"Udah! ayo kita berangkat!" ajak Herman.
Adel langsung ngeloyor keluar. Di susul Alvin dari belakang.
"Del! tungguin dong." Adel tidak peduli dengan panggilan Alvin. Berjalan menuju mobil Arka. Semua hanya geleng-geleng melihat tingkah Alvin.
Rumah Baru 2A
SELAMAT DATANG DI RUMAH 2A(Adel dan Alvin)
"Apaan nih. Lebay banget," celetuk Erika.
Tuk!!
Kipas kebesaran sang mama, berhasil mendarat dengan tepat di kepala Erika. Menoleh sebal ke arah mamanya, entah kenapa mamanya ini demen banget kekerasan.
"Sakit Ma," protes Erika, Arka terlihat menahan senyumnya, tingkah Erika bener-bener lucu.
"Kamu berani banget ngatain Mama sama Tante Rina lebay?!" Erika nyengir. "Lah. kok, bisa?!" Erika bingaung.
"Iya. Yang bikin ide tulisan kek gitu 'kan Mama sama Tante Rina," ucap Resti. Erika menutup mulutnya.
"Eh, maaf Tante. Erika nggak tau." Rina tersenyum.
"Nggak papa Sayang." Rina menatap Adel yang terlihat cemberut dari tadi, tersenyum kepada putri cantiknya, mendekati Adel. Membawa Adel masuk ke dalam sebuah rumah minimalis, yang terlihat mewah.
Dengan sangat malas, Adel mengikuti mamanya. Pak Tejo masuk ke dalam, menyeret koper yang berisi barang-barang Adel. Mulai besok, bi Rumi dan pak Tejo, sudah mulai bekerja di rumah itu. Untuk saat ini, pak Tejo hanya mengantarkan barang-barang milik Adel.
Benar-benar rumah impian, semua perabot terlihat masih baru, mulai dari sofa, lemari pajangan, televisi, dan perabot lainnya. Rumah minimalis yang hanya mempunyai tiga kamar, sebuah rumah impian bagi setiap pasangan yang baru menikah.Tapi tidak dengan Adel, awal menginjakan kakinya, Adel menganggap rumah ini seperti sebuah penjara. Semua kebebasannya hilang sudah, bahkan waktunya untuk babang Reno, entahlah. Masih bisa bertemu lagi pria impiannya, atau sebaliknya.
"Baiklah, untuk kamarnya nanti kalian atur saja sendiri, kalau ada sesuatu yang di perlukan, tinggal ngomong saja ke kami," ucap Heri.
"Iya betul sekali. Jangan sungkan, selama kalian belum selesai dengan pendidikan kalian, kalian adalah tanggung jawab kami. Kami berharap kalian berdua sama-sama menjaga ikatan suci ini," timpal Herman.
"Siap Pa. Alvin janji, akan menjaga hubungan ini sampai kami tiada dan menua bersama." Adel bergidik ngeri, mendengar jawaban Alvin. Rina, Resti, Arka dan Erika, tersenyum puas mendengar jawaban Alvin.
Setelah di rasa semua cukup. Semua orang berpamitan untuk pulang, Resti dan Rina mencium kening Adel, Erika memeluk sang adik ipar.
Arka mendekati Alvin, menepuk pelan punggung adik iparnya.
"Titip adik gue ya Vin. Luluhkan hatinya ..." bisik Arka. Alvin tersenyum.
"Tentu Bang. Gue bakalan jaga Adel dengan nyawa gue," jawab Alvin mantap.
Setelah itu, Arka mendekati Adel, memeluk adik kesayanganya.
"Jadilah istri yang baik, jangan macam-macam di belakang Alvin." Adel diam, bulir bening menetes di pipi mulusnya. Mengangguk pelan, meskipun anggukan itu berbanding terbalik dengan isi hatinya.
Setelah acara pamitan yang begitu dramatis, mereka semua pun pergi meninggalkan rumah Adel dan Alvin. Menyisakan dua pasangan muda itu. Dengan wajah yang cemberut, Adel menarik kopernya, pakaian kebaya yang masih melekat di tubuh indahnya, bener-bener membuatnya sangat gerah. Alvin merebut koper itu, menggantikan Adel menarik koper itu, membawa koper menuju kamar utama, Adel hanya diam, memandang punggung suami remajanya yang berjalan menuju kamar utama.
Alvin tersenyum, hari ini benar-benar hari yang sangat bersejarah dalam hidupnya. Sekali seumur hidup dia jatuh cinta pada pandangan pertama, dia langsung mendapatkan gadis itu, lengkap dengan sertifikat halalnya. Alvin menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, tidak berhenti mengulas senyum, tidak peduli dengan statusnya sebagai seorang pelajar. Mendapatkan seorang Adel sebagai istrinya merupakan sebuah anugerah, masih senyam-senyum sendiri, bener-bener mirip orang nggak waras.
"Bocil!" panggil Adel, yang tiba-tiba sudah berada di kamar itu.
Alvin menatap Adel dengan tatapan yang membuat semua bulu Adel berdiri. Adel nyengir, menutup bibirnya dengan ke dua tanganya.
"Bener-bener ya Del. Kamu emang suka ngasih kode ya ..." Alvin menatap jahil ke arah Adel, mengetip-ngetipkan matanya. Adel melotot.
"Jangan macam-macam kamu ya!" ancam Adel.
"Bilang aja kalau pen di cium lagi."
"Apaan sih. Kamu juga, ngapain bobok di sini. Keluar sana!" usir Adel. Sengaja Alvin pen banget ngejahilin Adel.
"Lah! bukannya malam ini kita mo bercocok tanam." Adel bingung. Tidak mengerti dengan kata-kata Alvin.
"Kamu ini ngaco. Siapa juga yang mo bercocok tanam. Huh! dasar aneh," cibir Adel. Alvin menepuk keningnya.
"Ckckcc!! kamu ini polos banget Del, kek gitu aja nggak fehem." Adel tambah bingung. Memijit keningnya, hari ini benar-benar hari tersial dalam hidupnya.
"Apaan sih! nggak paham."
"Kalau bikin dedek tau?!" Alvin menatap jail Adel.
"Bikin dedek ... maksud kamu?" Adel yang lemot masih sedikit bingung.
"Iya. Kita bikin dedek." Benar-benar, mulut Alvin emang sedikit bocor, kalau ngomong bebas sensor.
"Kita ... aku dan kamu—" menunjuk diri sendiri terus menunjuk ke arah Alvin. "Kyaaaa! dasar bocah mesum." Nah 'kan, setelah sadar baru teriak.
Alvin tersenyum geli. "Emang apa salahnya? kita 'kan suami istri, dah halal keles." Nyinyir Alvin.
"Nggak boleh! kamu tuh masih pelajar. Aku juga nggak mau hamil muda. Aku juga nggak bisa ngebayangin, anak aku punya papa yang masih bocah." Adel bergidik ngeri, dalam hati dia berpikir, apa istimewanya bocah ini di banding babang Renonya.
"Lah! kalau soal bunting, aku 'kan bisa pakai balon. Gimana? mo coba?" Alvin memiringkan tubuhnya, menyangga kepalanya dengan satu tangan, menatap jahil ke arah Adel.
"Kamu tuh emang aneh. Apa hubungannya hamil sama balon." Alvin melotot, benar-benar nih cewek polos banget. Nggak tau apa, lama-lama bahas balon, ada yang terasa ngilu di bawah sana.
"Ihhh ... udah keluar sana! aku gerah. Mo ganti baju." Adel menyeret lengan Alvin, supaya keluar dari kamarnya.
"Sini, aku gantiin."
"Alvin!!" Langsung keluar, sebelum Adel meleparkan sepatunya.
Adel memijit keningnya, Alvin benar-benar membuatnya darah tinggi.
Kluntingg!!
Sebuah notiv pesan masuk. Buru-buru Ia membukanya.
(Sayang, kangen. Ketemuan yuk!)
"Reno ..." gumam Adel.