11. Kelahiran Rareta

1562 Words
Beberapa bulan pun berlalu, kini Margareta tengah bertaruh nyawa untuk melahirkan anaknya. Di tengah cuaca yang tidak baik. Udara dingin memasuki jendela kamarnya, angin menyibak tirai-tirai yang ada di sana, membuat beberapa barang dengan berat rendah jatuh kebawah. Sebentar lagi pasti badai akan datang. Di kamar itu hanya ada dokter, sang asiten, Emili dan Margareta sendiri. Sementara Tolios berada di luar, mengurus beberapa barang agar tak terkena hujan, biasanya saat badai yang terbawa angin air laut akan naik dan bisa menggenangi sebagian gereja paling belakang begitu juga rumahnya. Dibantu beberapa pengurus gereja dan biarawan ia melakukannya dengan cepat sebelum badai menghantam. “Uskup!” teriak seorang biarawan yang datang dari ujung padang rumput. Tolios menghentikan pekerjaannya menutupi barang, dan berdiri tegak untuk melihat biarawan itu, seperti hendak mengatakan sesuatu yang penting, karena sudah banyak membantu di sana. “Ada sesuatu yang aneh di laut tak jauh dari senenanjung, mungkin itu sebuah pertanda.” Meskipun disambangi angin Tolios masih bisa mendengar apa yang diucapkan biarawan itu, ia meninggalkan pengurus gereja lain dan mendekati biarawan itu setelahnya mereka berjalan bersama. Gereja, rumahnya serta bukit dan padang rumput tak jauh dari tepi pantai, meskipun mereka berada di atas tapi air laut bisa sewaktu-waktu naik dengan cepat. Sesanpainya di sebuah tebing rendah, di mana laut sudah berwarna gelap gulita diselimuti malam dan awan mendung, di temani biarawan tadi Tolios melihat kelepas laut. Di dekat semenanjung dengan mata tuanya yang nampak jelas ia melihat dua benda sangat terang seolah dekat meskipun jauh, bahkan cahaya benda itu bisa menggeser mendung badai. “Pertanda buruk,” ujar Tolios kemudian. “Badai akan berlangsung lama dari biasanya, hujan pun akan semakin lebat. Tutupin semua benda di luar, masukan barang kedalam gereja, dan bunyikan lonceng-lonceng, biarkan siapa saja yang ingin mengungsi di dalam gere...” “Awas Uskup!” biarawan itu berteriak memotong ucapan Tolios, sambil memaksa Tolios untuk menunduk sejajar dengan tanah tebing. Kemudian tak berapa lama sebuah dentuman berdengar sangat jelas menggema telinga, bahkan pantulan dari dentuman itu memporak-porandakan sekitarnya. Air laut meninggi hampir menimbulkan tsunami, angin berhembus semakin kencang tapi sesaat terasa cukup panas, sampai terkena gereja dan rumah-rumah di sekitarnya membuat benda-benda beterbangan, termasuk atap. Tolios kaget mengetahui hal itu, ia hanya bisa menatapnya sekilas. Setelah dentuman itu berhenti ia dengan bopong paksa biarawan berjalan kembali kegereja. Jantung kedua berdetak lebih cepat dari biasanya, kejadian yang sangat langka yang baru saja terjadi. Suatu pertanda buruk yang akan menyebabkan badai berkepanjangan selama beberapa puluh tahun, begitu juga curah hujan. Rumah-rumah penduduk yang ada di pesisir pantai pasti rumahnya terendam air, begitu juga yang berada berada di samping sungai anak laut, rumah mereka juga akan mendapati banjir. Gereja sebentar lagi pasti akan riuh dengan para pengunsi yang mendengar lonceng sebagai tanda bahwa gereja menerima mereka untuk beristirat sampai air kembali suruh dan rumah mereka bisa digunakan kembali. Sedangkan Tolios masih berpikir tentang dentuman yang tak lain dari dua benda besar yang saling membentur dan kemudian meledak. Dua benda besar itu adalah sebuah bintang tua yang berada jauh di atas langit, tapi bisa begitu terasa. Ada dua kemungkinan jika benda itu meledak, kemungkinan pertama terbentuknya bintang baru yang menandakan sebuah keberuntungan atau kemungkinan kedua di mana benda itu hangus dan meninggikan badai yang menandakan akan ada bencana lain. Sesaat Tolios berpikir apa ada keterkaitan antara kelahiran anak Margareta dengan bencana itu, jika benar apa seolah alam semester tengah tertarik dengan anak kecil itu. Jika benar maka itu bukan lagi pertanda buruk tapi nasib baik. Sayangnya nasib baik itu harus dibarengi dengan bencana yang dahsyat. Beberapa waktu setelah terdengar suara tangis bayi yang meriuh dibarengi suara angin kencang, gereja perlahan mulai dipenuhi orang-orang yang ingin mengungsi. Tolios sibuk mengurus mereka hingga lupa dengan kelahiran anak Margareta. Keesokan paginya, badai perlahan berlalu, namun hujan tak kunjung berhenti bahkan cahaya matahari tak mampu menembus mendung-mendung yang bergelayut di atas langit. Tolios berjalan perlahan dengan kaki lelahnya masuk kedalam rumah, ia teringat bahwa meninggalkan Emili dan Margareta sejak tadi malam karena mengurus para pengungsi. Setelah meyakinkan bahwa tubuhnya bersih dan kering ia masuk kedalam kamar Margareta, tak terdengar suara-suara tangis bayi ataupun teriakan Emili serta Margareta sejak tadi malam, ia berharap anak yang dilahirkan Margareta masih selayaknya anak pada umumnya agar perempuan itu bisa menetap di sana untuk waktu yang cukup lama. Emili menyambut Tolios begitu ia sampai di sana, Margareta tengah tertidur. Tolios tak berucap apapun hanya menatap Emili sampai sang istri membuka penutup ranjang anak Margareta. Tolios berharap cemas dengan air wajah yang seolah menggenang di sana. Namun, air wajah itu terjatuh perlahan saat mata tuanya melihat seorang anak cantik dengan rambut hitam tengah tertidur pulas. Mirip sekali dengan Margareta, sekilas ia teringat Eries kecil yang dulu berada di ranjang yang sama. Doa dan harapannya terdengar Dewa, anak demi-cubus yang dilahirkan Margareta masih selayaknya manusia pada umumnya, bahkan jauh lebih cantik dari anak manusia, Tolios berpikir mungkin itu bukan pertanda buruk tapi bagaimana cara alam semesta menyambut kelahiran putri Margareta yang kini ia beri nama, Rareta (Gadis yang dicintai alam semesta). *** Tiga hari telah berlalu, hujan pun berhenti menjatuhkan airnya dari langit, banjir yang semula tinggi suruh perlahan, beberapa pengungsi sudah mulai ikut meninggalkan gereja, kembali kerumah mereka untuk membersihkan ataupun memungut barang-barang yang tak ikut hanyut dengan banjir. Margareta yang tak sadarkan diri setelah melahirkan sudah bisa melihat anak perempuannya yang kini begitu cantik. Ia bisa berbangga hati melihat bahwa anaknya tak sedikitpun memiliki bentuk serupa dengan ayahnya, ia menawan yang orang katakan mirip sekali dengan dirinya, itupun yang dikatakan Emili dan Tolios. Setelah tiga hari ia sudah bisa berdiri dan menggendong Rareta, memandangi bukit dan padang rumput dari bangku taman belakang rumah. Dari sana ia bisa melihat penduduk dan pengurus gereja yang saling bahu-membahu untuk membersihkan gereja, ada yang membuka kembali benda-benda yang saat terjadi badai berada di dalam, ada juga yang membersihkan genangan, serta menambal kembali atap yang terseret angin. Kembali Margareta menarik napas leganya, satu persatu masalah sulit hilang dari dirinya, ia kini bisa menggendong anaknya yang cantik. Anak yang dianggap malapetaka bagi Belulian malah menjadi keindahan bagi Bagras, ia tak lagi menyalahkan Belulian atas pengusirannya malah ia bersyukur bisa pergi dari sana karena pengurisan itu ia bisa bertemu dengan orang-orang yang baik. Emili berkata pada Margareta bahwa ia sudah mengabarkan pada August dan Aneth bahwa tentang kelahiran Rareta, dalam surat balasannya mereka ikut bahagia mengetahui hal itu dan mengatakan bahwa secepatnya akan mengirimkan hadiah-hadiah yang pastinya tidak akan di ketahui para pengurus gereja. Dengan kelahirannya Rareta, Margareta berjanji akan kembali menjadi biarawati. Emili mengatakan bahwa ia tak harus takut ataupun malu karena semua ini murni bukan kesalahan dirinya, ia hanya bagian dari kesalahan alam semesta yang tak perlu disesali, ia hanya harus kembali pada-Nya. “Jika Eiries masih hidup saat ini, mungkin ia juga sudah memiliki anak dan keluarga kecil,” ujar Emili mendekati Margareta dan Rareta yang masih duduk di bangku yang akan di halaman belakang. Emili ikut duduk di samping keduanya. “Eiries tak pernah ingin menjadi biarawati seperti Ibunya, ia ingin bebas mencinta Tuhan tanpa harus memiliki gelar yang disanjung masyarakat.” Margareta tersenyum menatap wajah tua Emili yang sudah berbalut kulit keriput, meskipun begitu garis cantik masih melekat pada wajahnya seolah mengatakan bahwa ia dulu pernah menjadi dambaan banyak lelaki. Persis seperti yang Tolios ceritakan ketika dirinya menunggu Margareta, saat itu Emili tengah pergi. Beberapa waktu lalu hari-hari terakhir musim semi datang, tapi keadaan Margareta sedang tak baik padahal Emili hendak mengajaknya pada sebuah acara festival kota yang dirayakan setiap menjelang berakhirnya musim semi, sebagai peringatakan pada Dewa Kesuburan dan Keindahan, yang dipuja para pemeluknya. Emili pergi bersama biarawati yang lain dan meninggalkan Margareta bersama dengan Toilos. Tolios berbicara banyak hal tentang Margareta, bagaimana ia bertemu dengan Emili cantik yang dulu sedikit angkuh dan pendiam, berbeda dengan biarawati lain yang terus tersenyum dan seolah hormat padanya, karena mengetahui bahwa Tolios adalah anak dari Imam besar gereja. Namun Emili tak mempedulikan itu, sikapnya tak berubah mengetahui siapa dan dari keluarga mana Tolios berasal. Meskipun begitu takdir seolah mengikat mereka berdua yang membuat keduanya menjadi satu, mereka menikah dengan pesta yang cukup besar dan mewah itu pesta pertama selama beberapa puluh tahun antara seorang biarawati dan uskup muda dari gereja Maros. Dalam persta mereka semua rakyat Bagras sangat bahagia. Menurut Tolios Emili sangat cantik, satu-satunya perempuan paling cantik yang pernah ia kenal dan temui, bahkan jika Tolios membicarakan tentang kecantikan Emili akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berhenti. Margareta saat itu mendengar dengan seksama, ia menikmati pembicaraanya dengan Tolios dan seolah tak ingin membuat Tolios kecewa ia tersenyum seraya terus mengangguk. Kemudian pembicaraan mereka selesai saat Emili kembali dari festivalnya dengan membawa banyak sekali pernak-pernik serta baju bayi untuk anak Margareta nanti, mendapat hadiah yang banyak itu Margareta merasa sangat bahagia, ia merasa ada orang yang begitu peduli padanya tanpa melihat bagaimana masa lalu buruknya. Selain membelikan calon anaknya saat itu pakaian, Emili juga membelikannya pakaian karena ia selama ini hanya menggunakan pakaian bekas Eiries dan pakaian-pakain lusuh dari gereja lamanya yang sebenarnya banyak dari itu sudah lama tak layak dipakai. Margareta menerima dengan sangat bahagia, karena tak ada alasan dirinya menolak hadiah dari Emili. Sampai anaknya kini lahirpun Emili dan Tolios tetap mengurusnya, janji mereka yang terucap pun mereka tepati yakni mengurus anak itu jika lahir selayaknya manusia pada umumnya. Margareta sangat paham apa maksudnya karena jika anak yang ia lahirkan seperti Incubus maka itu akan membuat malu gereja juga pengurusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD