12. Perempuan Tua dari Ujung Kota

1157 Words
Awalnya Margareta berpikir bahwa kelahiran Rareta menjadi anugerah sebab tak ada lagi masalah yang timbul semenjak ia berada di Bagras, namun bisik-bisik tentang kelahiran itu mulai terdengar lagi di telinga, tentang siapa ayah dan bagaimana keadaan anak itu saat lahir. Tidak bisa dipungkiri bahwa ketika Rareta lahir terjadi dua peristiwa langsung, yakni badai dan meledaknya sebuah bintang kembar di langit. Berulang kali Tolios mengatakan dan menenangkan Margareta bahwa itu pertanda yang baik, tapi seorang perempuan tua yang datang dari ujung kota mengatakan bahwa suatu saat anak itu akan mengambil segalanya dari hidupnya termasuk nyawanya sendiri. Margareta mencoba tak mempedulikannya tapi orang-orang seperti penduduk Beliluan. Pagi itu ketika hari sedikit tenang, beberapa hari sebelum musim dingin datang, Emili mengajaknya dan Rareta kecil berjalan-jalan sembari menghirup udara yang sejuk. Ketika mereka berjalan melintasi pasar yang padat, seorang perempuan tua bertudung yang hampir menutupi seluruhnya tubuhnya berjalan tergopoh dengan sebelah kaki pincangnya yang di sangga tongkat kayu dari batang pohon kalustu mendekati Margareta dan mencengkram kuat tangannya. Margareta kaget dengan sedikit berteriak dan mencoba melepaskan cengkraman tangan perempuan tua, teriakan itu di dengar Emili dan beberapa orang yang ada di pasar. Emili mencoba membantunya, mengetahui bahwa Margareta datang bersama dengan Emili perempuan itu menyingkirkan tangannya, tapi matanya terus bergeriliya menatap Margareta dan Rareta yang di gendongnya secara bergantian. “Apa yang kau lakukan, Colliens?!” seru Emili begitu perempuan tua bernama Colliens itu melepaskan tangannya pada Margareta. Orang-orang di sana menghentikan kegiatan mereka sesaat dan kemudian melihat yang terjadi antara ibu biarawati dan seorang perempuan tua yang datang dari ujung kota dengan tubuh lusuh dan pakaian compang-camping. “Anak itu ... anak itu akan menjadi malapetaka bagi kota ini, dia akan mengambil segalanya. Termasuk nyawamu!” kini Colliens yang berseru pada Margareta sambil menunjuk dengan tangan kotor dan kuku hitamnya. Margareta menatapnya sedikit ketakutan dan bingung harus melakukan apa. “Kota ini ... kota ini akan hancur ... akan hancur!” Setelah mengatakan itu Colliens tua kemudian tertawa sambil berjalan menjauh meninggalkan Emili dan Margareta. Orang-orang menatap Collies yang berjalan perlahan, tongkatnya gemetar akibat tubuhnya yang menua, kemudian ia hilang dikerumunan orang-orang entah pergi kemana, karena tak ada yang tahu kemana ia pergi dan datang, yang orang tahu bahwa ia berasal dari hutan. Umurnya sudah sangat tua bahkan kata orang-orang sudah lebih tua dari berdirinya gereja. Meskipun Colliens sudah berlalu pergi sejak beberapa menit lalu, Margareta masih saja takut dan gugup ia tak habis pikir dengan apa yang dikatakan perempuan tua itu, meskipun Emili berusaha menenangkan dirinya, tapi ia tetap saja bimbang. Seketika bayangan tentang malapetaka yang dikatakan tetua pendeta dan pengusiran dirinya sambung-tumpah di otaknya. Padahal sebelumnya ia berpikir bahwa hidupnya akan menjadi lebih baik, tapi nyatanya tidak. Perempuan tua bernama Colliens yang datang entah dari mana itu tiba-tiba menghampirinya dan mengatakan ramalan masa depan seolah ia tahu bahwa anak yang ia lahirkan bukan anak manusia biasa. Setelah kejadian itu bisik-bisik seantero kota mulai kembali terdengar, tentang siapa ayah dari Rareta hingga terdengar dari sebagian mereka bahwa Rareta anak terkutuk seperti yang dikatakan Colliens meskipun tak banyak karena mereka menghormati Emili dan Tolios. Ada beberapa biarawati yang ikut berbicara, tapi mereka tak berani mengatakan lebih sebab Margareta adalah bagian dari keluarga Emili yang tak lain Ibu Biarawati. “Kau masih memikirkan apa yang dikatakan perempuan tua itu tempo hari?” tanya Emili setelah masuk kedalam kamar dan mendapati Margareta melamun di depan ranjang Rareta. “Sedikit,” ucap Margareta meskipun itu hanya sebuah kebohongan, ia benar-benar memikirkan apa yang dikatakan Colliens itu. Ia tak bisa menampiknya bahwa ia ketakutan bahwa apa yang akan terjadi pada Bagras. “Lupakan saja, perempuan tua itu memang banyak membual. Setiap datang kekota ia selalu saja membicarakan hal-hal aneh.” Emili terus berusaha menenangkan pikiran Margareta yang kalut. “Tapi kenapa seolah tahu bahwa aku dan anakku dulu pembawa malapetaka untuk Belulian?” “Mungkin itu hanya sebuah kebetulan saja,” jawab Emili lagi. “Kau mengatakan bahwa semua yang terjadi tak ada yang kebetulan, kan? Berarti apa yang dikatakan Colliens itu benar,” ujar Margareta. “Tenangkan pikiranmu, apapun yang terjadi kami akan terus mengurus dan menjagamu. Tak akan kami biarkan orang-orang menyakitimu seperti apa yang terjadi padamu di Belulian.” Setelah mengatakan itu Emili memeluk Margareta perlahan. Margareta terdiam mendengar apa yang dikatakan Emili, ia memang tak harus memikirkan hal itu sejauh mungkin karena ia memiliki anak yang harus ia urus. Kini ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, jika ia terus menganggap apa yang dikatakan Colliens sebuah kenyataan itu juga akan berdampak buruk pada Rareta. *** Tolios keluar dari gereja dengan pikiran yang masih terngiang tentang apa yang dikatakan para biarawati dan biarawan tentang Margareta, meskipun sudah lebih dari tiga bulan yang lalu sejak Emili mengatakan bahwa ia bertemu dengan Colliens perempuan tua yang membual tentang malapetaka pada Margareta dan Rareta, tapi berita itu masih terus didengungkan sampai sekarang. Bahkan perempuan-perempuan dari penduduk kota membicarakan tentangnya setelah beribadah begitu tahu bahwa Margareta dan anaknya tinggal satu rumah dengan dirinya. “Kau mau secangkir teh?” tawar Emili begitu Tolios sampai dirumah, mendapatkan tawaran itu Tolios mengangguk sembari meng-iyakan apa yang akan diberikan sang istri padanya. Tak berapa lama Emili kembali dengan secangkir teh hangat. “Apa yang kau pikirkan? Sepertinya terasa sangat berat sekali.” “Orang-orang masih membicarakan tentang Margareta dan anaknya, juga tentang ucapan Colliens beberapa bulan lalu. Jika berita ini tak berhenti, pasti akan menyebar kesemua orang hingga Belulian,” ujar Tolios mengatakan ketakutan dirinya sendiri. Ia tak pernah setakut itu hanya karena omongan orang, tapi kini ia takut jika terjadi hal buruk pada Margareta dan juga Rereta anaknya. “Kita sudah pernah membicarakan ini, kan? Perempuan tua itu hanya membual tentang malapetaka seperti yang Remun katakan, tidak perlu dianggap sesuatu yang berlebihan,” kata Emili seolah ia ingin mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tak peduli apapun yang terjadi nanti pada Margareta dan Rareta ia akan tetap mengurusnya. “Aku sudah meminta para biarawan dan biarawati untuk mengurus ini agar berita yang dikatakan Colliens tak sampai terdengar keluar kota.” “Emili, kau tahu bukan apa yang dikatakan Colliens itu bukan hanay sebuah bualan? Dia mantan penasehat dan peramal walikota beberapa puluhan tahun bahkan ketika kita masih sama-sama kecil. Kau tahu apa yang terjadi padanya dan semua yang dikatakan Colliens seolah sambung tangan Dewa, ia tak berbohong.” Tolios menghela napasnya, bagaimana ia bisa menganggap apa yang dikatakan Colliens itu hanya sebuah bualan, sedangkan ia tahu bahwa semua yang dikatakan perempuan tua itu selalu saja benar. Colliens dulu adalah penasehat dan peramal walikota dari tahun ketahuan, tapi ketika ia berumur sudah tua mereka mengusirnya dan menganggap Colliens hanya seorang perempuan gila. Meskipun begitu Colliens masih sering keluar dari rumanya yang berada di hutan tak tentu waktu untuk mengabarkan sesuatu, biasanya hal-hal terkait dengan bencana dan malapetaka yang hadir dalam waktu dekat. Namun, kedatangan Colliens beberapa waktu lalu adalah kedatangannya setelah hampir sepuluh tahun. Semua orang berpikir bahwa ia sudah meninggal dan dimakan hewan-hewan buas yang ada di hutan sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD