13. Rareta dan Kematian Dua Pengurus Gereja

1450 Words
Waktu berlalu begitu cepat Rareta tumbuh menjadi gadis cantik yang pintar, tak ada lagi bisik-bisik tentang dirinya yang anak pembawa malapetaka meskipun masih ada beberapa penghuni gereja yang tak menerima keadaanya. Margareta sang ibu kini menjadi pengurus gereja bersama dengan Emili yang semakin waktu nampak sudah rentah begitu juga dengan Tolios. Tolios bahkan kini tak bisa melakukan apapun selain berbaring di atas tempat tidur karena tubuhnya sudah sangat lemah, penyakit yang menggerogoti tubuhnya semakin waktu semakin mrengkhawatirkan, dokter mengatakan bahwa dirinya tak bisa bertahan lama karena sakit yang ia derita sudah dibawah kata wajar untuk manusia apalagi usia Tolios sudah menua. Sedangkan tentang Colliens, perempuan tua itu meninggal setahun setelah ia meramalakan tentang malapetaka pada Margareta. Mayatnya di temukan di hutan tak jauh dari gubuknya. Orang-orang, termasuk Margareta, Emili dan Tolios menguburkannya dengan layak meskipun banyak yang menganggapnya orang gila, tapi ia pernah menjadi bagian dari Bagras beberapa puluh tahun selama hidupnya. Colliens dinyatakan meninggal karena serangan hewan buas, di temukan pun hewan buas yang tak lain harimau itu mati kemungkinan dalam tubuhnya terdapat racun berbahaya yang kemungkinan dikonsumsi oleh Colliens, karena itulah membuat harimau itu langsung mati. Colliens memang aneh, ia sering menggerutu tentang hidup berharap secepatnya mati karena sudah tak tahan. Sementara Rareta berusia enam tahun kini, usia di mana anak-anak seusia senang sekali bermain dan berkumpul, tapi berbeda dengan Rareta ia lebih memilih belajar dan membaca buku menghabiskan waktu di perpustakaan gereja, membaca kitab dan kidung bahkan tak jarang ia menutup dirinya satu hari penuh di lantai bawah rumah Tolios untuk membaca buku-buku dan dongeng. Sesekali Rareta juga membaca buku tentang sihir, mempelajarinya hingga ia bermimpi menjadi seorang penyihir yang pandai. Mengetahui hal itu baik Margareta maupun Emili dan Tolios tak melarangnya, penggunakan ilmu sihir juga akan bisa bermanfaat ditangan yang tepat begitu sebaliknya. Dan Rareta kecil tahu tentang itu. Pikiran Rareta di atas anak-anak seusianya, bahkan belum genap menginjak empat tahun ia sudah pandai membaca, bisa berbicara dengan fasih dan memahami segalanya. Bagi mereka yang paham itu sebuah keberuntungan, tapi kebanyakan menganggap hal itu aneh dan semakin membuat orang-orang benci padanya. Namun seakan Rareta tak peduli. “Perlukah kita mencari guru sihir untuknya?” tanya Emili pada Margareta suatu senja saat mereka duduk di bangku belakang rumah seperti biasanya, saat itu Rareta tengah tertidur di pangkuan Margareta dengan sangat nyenyak, terlihat dari wajahanya bahwa ia lelah bukan sebab bermain tapi letih karena setiap hari belajar dan membaca buku. Rareta membaca dan belajar sihir secara mandiri, dari buku-buku tua yang ia temukan di ruang bawah tanah milik Tolios. Itu bukan milih Tolios, buku itu sudah lama ada di sana, beberapa Emili gunakan buku ramuan untuk meracik obat sederhana, jika tiba-tiba dirinya sakit, tapi semenjak menua ia tak lagi bisa melakukannya. “Apa itu perlu?” Margareta balik bertanya pada Emili. “Aku tahu anak ini berbeda dari anak pada umumnya, bahkan tubuhnya memiliki energi yang cukup besar, tapi apa perlu ia mendapatkan guru untuk mengajarinya?” “Ia akan menjadi ahli sihir hebat suatu saat nanti, aku yakin anak ini akan tumbuh menjadi seorang pemimpin nantinya terlepas bagaimana ia menjadikan itu. Kau tenang saja, aku akan mencarikan seorang guru sihir untuknya, guru yang paling hebat di Britania ini.” Emili berucap seolah dirinya bangga dengan Rareta meskipun ia bukan cucu kandungnya, tapi ia bahagia bisa membanggakan Rareta. Setelah itu Tolios juga menyetujui jika Emili mencari guru untuk Rareta, meskipun Tolios hanya terus berada di atas ranjang tapi ucapannya dan kata yang keluar dari mulutnya masih sangat fasih. Ia masih bisa makan makanan dengan lahap, tapi semakin hari dokter mengatakan bahwa keadaannya tak kunjung membaik, ia hanya mencoba terlihat baik agar Emili tak merasa sedih dengan dirinya. Namun siapa yang menyangka bahwa itu hanya sekedar janji yang diucapkan Emili, karena seminggu kemudian Emili tiba-tiba saja terjatuh pingsan dan tak sadar kembali. Emili meninggal tak lama setelah mengatakan keinginannya mencarikan guru sihir untuk Rareta, padahal Tolios memiliki penyakit yang lebih parah. Satu hari walikota Bagras menyatakan hari berkabung dan libur pada rakyatnya atas meninggalnya  Emili itu, orang yang paling sedih atas meninggalnya Emili adalah Tolios, ia merasa kehilangan setengah hidupnya bahkan setelah ia sakit hidupnya benar-benar hilang. Selain itu Margareta juga merasakan kesedihan yang mendalam karena orang yang sudah ia anggap ibu telah tiada. Hari itu tiba-tiba badai terasa kembali datang memenuhi seluruh Bagras, semua orang termasuk penduduk Bagras dan gereja merasakan kesedihan yang teramat dalam. Berita kematian Emili yang tak lain ibu biarawati langsung menyebar keberbagai kota di samping Bagras tak terkecuali Belulian. August dan petinggi gereja lainnya langsung datang hari itu juga setelah berita kematian Emili sampai pada mereka. Keempat pendeta besar selain berbela sungkawa atas kematian Emili dan sekaligus melihat kondisi Imam besar yang tak lain Tolios, mereka juga kaget karena saat itu melihat Margareta yang tinggal di sana dan menjadi bagian keluarga Tolios. Padahal sebelumnnya mereka termasuk Yonkobus berpikir bawa Margareta sudah mati di dalam hutan. Setelah itu Yonkobus terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana mungkin Margareta masih ada di sana dan ia membawa seorang anak gadis kecil yang pasti itu anak yang dulu dikandungnya yang mereka anggap sebagai hasil perzinahan dengan makhluk bernama incubus. Kemudian Yonkobus berpikir jika Margareta tinggal di sana pastinya August tahu hal itu karena Emili dan Tolios adalah mantan orangtua angkatnya. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan perempuan itu? Kenapa ia masih hidup?” tanya Yonkobus kemudian ketika malam harinya mereka berniat kembali ke Belulian menggunakan kereta kuda. Di dalam kereta itu ada kelima pendeta besar termasuk dirinya dan August. “Aku tidak tahu,” ujar August mencoba berbohong pada pertanyaan Yonkobus karena ia tak ingin mengatakan apapun. Ia kini tengah berkabung atas kematian ibu angkatnya, dan ia juga tak ingin membahas apapun tentang keadaan Margareta serta anaknya. “Kami tahu kau tengah berkabung, tapi beri kami penjelasan kenapa perempuan itu masih hidup sampai saat ini, kau menyimpan itu selama enam tahun.” Kini Gerald yang ikut berusara atas apa yang terjadi. Meskipun didesak keempat pendeta besar, August tetap saja tak ingin membahas apa yang terjadi. “Memangnya jika perempuan dan anak yang ia kandung masih hidup apa itu menjadi sebuah masalah, tidak, bukan?!” seru August tiba-tiba dengan nada sedikit meninggi membuat keempat pendeta besar bingung, karena selama ini August terkenal pendiam dan paling tenang. “Jika perempuan itu masih hidup hingga saat ini, itu artinya Dewa masih menginginkannya, nyawanya bukan kehendak kalian!” August terus saja berseru yang membuat keempat pendeta besar tak bergeming. “Kalian sebut diri kalian pendeta besar sang abdi suci Tuhan, tapi seolah bahagia jika manusia lain main!” August tak berbicara lagi, ia terdiam tak menghentikan omongannya. Kata itu akhirnya terucap yang sudah ia pendam selama lebih dari enam tahun. Selama ini ia menyembunyikan apa yang terjadi, tapi saat itu keadaan tak lagi sama. Meskipun semua orang menghujat Margareta sebagai pembawa malapetaka, tapi sampai saat ini tak ada hal apapun yang terjadi pada Belulian maupun Bagras. Sampai di kota Belulian dan gereja mereka berlima masih saja terdiam, August memasuki kamarnya sebelum tertidur ia menyempat diri mengirim doa pada Emili sebagai penghormatan kematian. Setelah itu waktu terus berjalan dengan sangat cepat. Hampir tiga bulan lamanya dan kabar duka kembali datang, Tolios kini yang menghembuskan napas terakhir setelah ia menolak makan dan minum obat sebab ditinggal meninggal Emili. Duka demi duka menyelimuti kota Bagras, satu-satunya Imam Besar keuskupan telat tiada, bahkan hingga kini tak ada penggantinya baik Emili maupun Tolios. Baik Margareta maupun August ikut berduka, bahkan August sempat berpikir bahwa kemungkinan kematian beruntun orangtua angkatnya itu akibat ulah dari malapetaka yang dibawa Margareta dan Rareta anaknya, tapi itu tak mungkin terjadi, sebab sudah sangat jelas bahwa keduanya mati akibat rasa yang di derita lama. Emili akhirnya diketahui mati akibat sakit jantung. Beberapa waktu terus berselang setelah dikuburkannya Tolios, kini yang mengganti pengurusan rumah itu adalah Margareta tapi ia menolak mengambil alih kepengurusan gereja karena ia merasa tak sanggup. Kemudian kepengurusan berpindah ketangan yang lain, yakni Ruksada seorang laki-laki yang masih memiliki ikatan saudara jauh dari pihak Tolios. Meskipun laki-laki itu juga seorang Uskup dan saudara jauh Tolios, tapi sifat keduanya sangat berbeda bahkan seakan bertolak belakang. Ruksada sedikit keras dalam mengurus gereja, ia memang begitu fanatik pada ajaran yang ia anut bahkan sedikit saja ada yang salah dalam ibadah dan gereja makan ia akan membuat segalanya kembali pada keadaan semula yang akan di ajarkan pada gerejanya. Beberapa orang tak menyukai jika pengurusan jatuh kepada Ruksada tapi mereka tak ada pilihan lain selain menerima keadaan itu. beberapa biaran dan biarawati yang dulu bagian dari Tolios serta Emili tak diuntungkan dengan hal itu tapi mereka harus menerima karena bagaimana pun tujuan mereka adalah untuk tetap berada di sana dan beribadah pada Dewa yang mereka sembah, sebab Ruksada hanya mencoba mengubah kembalinya gereja dengan keadaan baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD