MASALAH MASING-MASING

1786 Words
"Gue mau," Azzura dengan cepat memotong, "Lo balik ya, gue ada urusan." turun dari boncengan Azzam. Pulang sekolah tadi, Azzam jadi tim gercep deketin Azzura terus ngajakin pulang bareng. Dengan jantannya dia sebagai ketua tim basket, tanpa basa-basi memasangkan helm di kepala Azzura di depan mata para siswa tak peduli mata mereka seketika membola diiringi jeritan tertahan. Azzura yakin, dia dan Azzam jadi topik hangat di segala penjuru sekolah. Hhh, biasanya dia gapapa jadi pusat perhatian semua teman-teman sekolah tapi kok berurusan sama Azzam sedikit risih ya, Azzam langsung berpaling muka menatap seberang jalan berucap, "Siapa juga yang mau tinggal disini." ketusnya terdengar kesal. "Wkwkw, balik gih." "Nggak usah ngusir." sinisnya memasang helm memutar kuncian motor, sedikit ngegas lalu berlalu pergi dengan perasaan kesal. Senyum Azzura menghilang dalam sekejap, berbalik memandang pintu kosan di dalam sana. Kakinya melangkah mendekati pos penjaga komplek. Baru tiga bulan, sudah diusir lagi. Sebelumnya juga dia terpaksa tidur di emperan gara-gara lupa bayar kosan malah ngirim semua penghasilannya ke orang-orang Hardi. Sekarang, telat 2 bulan di jadikan alasan untuk mendepaknya keluar. Miris sekali dirinya ini. "Pak Mur," panggilnya membuat sang empunya langsung menoleh dan meletakkan sapunya. "Sudah pulang," "Iya pak. Koper Zura mana ya?" "Itu di dalam, bentar ya bapak ambilkan." pak Mur, meski usianya sudah renta, dia tetap bekerja untuk istrinya di rumah dan Azzura selalu disambut dengan khawatir jika kembali tengah malam. Makanya dia nyaman tinggal disini, merasa aman di dekat orang-orang baik seperti pak Mur. "Bentar pak, saya mau susunin dulu yang perlu dibawa yang mana." Azzura menahan pak Mur, untuk tidak mengeluarkan kopernya dulu. "Lho, nggak dibawa semua?" "Nggak pak, Zura mau nyari kosan dulu jadi mau titip disini boleh nggak sampai saya nemu kosan lagi." "Ya gapapa, kalo bapak mah. Nanti saya bilangin sama pak Karyo biar jagain kopernya kalau kita tukar opersip." "Makasih pak." "Sama-sama nak, ya sudah bapak mau lanjut nyapu dulu, kalau aus ada air di dalam." "Makasih pak." sekali lagi Azzura berterima kasih karena di ijinkan. Pak Mur pun keluar dari pos, membiarkan Azzura memilih-milih pakaian penting saja sama buku-buku pelajaran yang mesti ia bawa. Setelah selesai, dia pun menyimpan kopernya di pojok pos lalu keluar menarik koper yang lain. Kriek. Pak Mur menghentikan kegiatannya, berdiri tegak memegang kepala sapu melempar tatapan sedih. "Hahaha, santai aja pak Mur, Zura gapapa kok. Pak Mur terima kasih selama disini bapak udah baik banget sama saya jadinya nggak ngerasa sendirian hehe." "Sama-sama nak, bapak berharap secepatnya kamu dapat kosan yang lebih baik lagi." "Terima kasih, kalau gitu saya permisi pak, nanti saya kesini lagi." "Hati-hati nak." Azzura mengangguk tersenyum menyeret kopernya, perlahan melangkah menjauh dari kosan yang menampungnya selama 3 bulan terakhir. Dia sempat menghubungi kosan yang ia lihat tadi, sayangnya itu bukan harga yang sebenarnya. Katanya mereka lupa mengubah harga setelah kosan di renovasi. Kosan 500 ribuan jauh dari sekolah dan tempatnya kerja kalo punya kendaraan sendiri sih… tetap jauh. Drrtt. Azzura berhenti sebentar membuka pesan masuk. *** Me : Dimana? My Sunshine : Ini lagi di kos'an, kenapa? Nayla duduk di meja makan, mengambil beberapa lauk pauk. My Sunshine terdengar menggelikan untuk seorang sahabat, namun Nayla tidak peduli karena baginya Azzura memanglah matahari yang selalu bersinar dengan senyumannya. "Dek, kok Zura jarang kesini lagi?" tanya wendi, abang dari Nayla. "Sibuk bang, dia kan nyanyi di kafe-kafe jadi harus istirahat biar malamnya nggak ngantuk." Wendi mengangguk. Me : Jangan lupa makan, gue takut lo lupa lagi. My Sunshine : Siap bu bos, ini tadi dapat nasi padang dari pak Mur hehe My Sunshine : Lumayan gratis hehe Me : Oke, nanti malam ketemu di rooftop Me : Lo ada jadwal disana kan? My Sunshine : Ada, kali ini cuma ngambil disana soalnya request dari penonton, jadi ya lumayan hehe Me : Oke, istirahat gih My Sunshine : Wokeh Nayla menghela napas berat, dia yakin sahabatnya itu skip makan lagi. "Kenapa?" tanya Wendi melihat wajah sedih sang adik. "Zura pasti skip makan lagi." Lelaki itu terkekeh geli, "Kamu kan bisa ngirim ke dia dek, gimana sih." "Ah bener juga." Nayla segera mencari nomor grab dan memesan makanan untuk Azzura. "Halo mbak, saya mau pesan… " senyum Nayla semakin lebar mendapat gelengan kepala dari sang abang. "Nih pake kartu abang." meletakkan handphone di meja, "Oyah, nanti mbakmu bakal datang, kita temenin dia nyari bahan gaun dulu nanti abang antar ke kafe." "Wokeh, makasih abang." "Hem. Abang mau mandi dulu, jangan lupa makan." Wendi mengacak rambut adiknya lalu kembali ke kamar. Nayla kembali mengirim pesan memberitahu Azzura soal pesanannya. Me : Beb, grab bentar lagi nyampe jangan lupa makan yang banyak ya hahaha Azzura yang membaca itu seketika mengumpat. "Sial. Taksi." teriaknya sekuat tenaga mengangkat koper begitu taksi berhenti. *** Sementara itu, Azzam berbalik. Niatnya kembali ke rumah menenangkan diri malah menambah kekesalannya melihat wajah seseorang yang dibencinya. "Azzam duduk, yang sopan sama orang tua." Dia tersenyum kecil nengok, "Siapa?" tanyanya berjalan ke sofa. "Lo," "Johan gapapa, biar tante ngomong sama dia habis itu kita balik." Bunga Zamantha 37 tahun ibu tiri Azzam berjalan ke arah anak dari suaminya. Nama Johan sedikit asing kan, ya memang dia. Ketua osis sekaligus kakak sepupu Azzam anak dari kakak sang ayah. Hubungan mereka yang dulunya begitu dekat seolah tak ingin terpisah, seketika semua berakhir setelah tau Johan mengetahui pengkhianatan sang ayah dengan wanita di hadapannya sekarang. Tidak ada yang berpihak padanya, sekalipun orang yang sangat dia percaya, Johan Dirgantara. Bahkan keluarga sang ayah pun sudah tidak peduli padanya, selain sang nenek, ibu dari ayahnya. "Hufff," Azzam meniup jari kelingking setelah mengorek telinganya. "Ayah kamu pengen ketemu, kenapa nggak pernah ke rumah?" Azzam hanya menaruh kaki di atas meja, melempar tas ke samping Bunga sambil merogoh saku mengambil handphone. "Kamu masih menganggap saya merebut Mas_" "Intinya lo ngapain ke rumah orang yang udah elu hancurin." sela Azzam bermain game. "Zam," "BIBI, AZZAM HAUS!" teriak Azzam, Bunga mengepalkan tangan. Niat baiknya tak pernah dianggap meski sepuluh tahun sudah berlalu. Lagian, kalau bukan karena permintaan suaminya, dia tidak akan membiarkan harga dirinya terus di injak-injak oleh Azzam. Mertua wanitanya pun sampai sekarang menganggap dirinya biang masalah hanya karena ingin bersama sang kekasih Meski Bunga sudah geram, ia tetap mencoba tersenyum, merogoh tas dan mengeluarkan amplop lalu menyimpannya di atas meja. "Uang bulanan dari ayahmu, kata orang kantor kamu ganti rekening jadi mama kesini buat ini." berdiri merapikan tatanan rambutnya melanjutkan, "ambil selagi saya berbaik hati." kemudian beranjak meninggalkan Azzam. "Aden, ini_" "Meja disana beserta kursinya tolong bibi bakar sama sofa-sofa ini. Terus," membuka baju sekolah ia buka untuk melapisi tangannya meraih amplop pemberian Bunga. "Eh, Aden itu dibakar juga?!" "Wkwkwk, kasih ke panti gih. Nyonya tadi ngasih doang padahal Zam kan bukan yatim piatu biasa, nih liat aja Azzam aja punya black card." mengeluarkan black card dari dompet, "Enak aja main nyumbang segala, dikira Azzam bocah kaleng-kaleng kali." ucapnya berdiri berjalan menaiki tangga. Dari luar pintu utama, Bunga semakin mengepalkan tangan mendengar ucapan Azzam di dalam sana. "Ah bibi," "Iya. Aden mau sesuatu?" "Bukan itu, Azzam mau keluar nyari baju sekolah baru yang onoh dibakar juga, oke." ujar Azzam berlari ke lantai dua meninggalkan bibi Ratih menggelengkan kepala kecil. Wanita tua yang selalu menemaninya setelah sang mama meninggalkannya sendirian. Apapun yang dia katakan dan perintahkan, bibi Ratih tak pernah menolak seperti sekarang. Dan ini hal biasa karena setiap Bunga dan Johan berkunjung, apapun yang mereka sentuh harus dibakar. "Joko," panggil bibi Ratih. "Iya bu," jawab Joko. Dia anak bibi Ratih, usianya 27 tahun belum menikah, dia juga yang mengurus segala sesuatu berhubungan warisan mendiang Yuna ibu kandung Azzam. Joko Handito itu seorang pengacara sukses, semua yang ia dapat sekarang atas bantuan Yuna. "Kenapa bu," "Ini, biasa bakar semuanya." Joko mengangguk. "Bang Joko," Azzam turun, kaos hitam, celana jeans dengan hoodie berada di bahu, style anak muda yang lagi kasmaran. "Mau kemana?" tanya Joko menggulung lengan kemejanya. "Belanja." mengulurkan tangan menadah meminta. "Boleh pake mobil nggak hehe," "Kirain apaan. Tuh, kuncinya." "Terimakasih tuan." Azzam mengedipkan sebelah matanya berjalan meraih kunci mobil di gantungan kunci. "Ah," "Kenapa?" tanya Azzam meraih sepatu. "Tumben mau pake mobil, biasanya si black nggak pernah mau lepas. Ngajak cewek ya," Joko menaik turunkan alisnya menggoda Azzam. Wajah pemuda itu tiba-tiba memerah, "A-apa sih, Azzam pergi dulu." ucapnya segera berlari keluar tak ingin mendengar pertanyaan menjebak dari Joko. "Wkwkwk, bu, kayaknya Azzam lagi jatuh cinta deh." mengetuk dagu berpikir. Plak. Joko meringis. "Ngurusin percintaan orang, kamu aja jomblo begitu kok. Udah sana beresin semuanya." kata bibi Ratih setelah memukul punggung sang anak lalu kembali ke dapur. "Hish, suka bener ibu tuh." gumam Joko melihat kepergian sang ibu. *** "Halo, kenapa?" Azzura sedikit menjauh menerima panggilan dari Azzam. "Dimana?" "Rooftop cafe, kenapa? Yang lain juga disini." jawabnya tersenyum saat seseorang menyapanya. "Temenin nyari baju sekolah." "Lah?" "Udah, gue otw sekarang. Jam berapa manggungnya?" "Jam 4 sore mulai, magrib istirahat habis itu gas sampai jam 9 malam." "Bukannya lu punya_" "Yes or no?" Azzura menghela nafas, "Kalaupun gue jawab no, lo bakal tetep maksa 'kan?" jawabnya. "Pinter banget sih." "Heleh, ada maunya." "Hahaha. Oke tunggu_" "Hai Zura," sapaan akrab seseorang memotong ucapan Azzam, pemuda itu kini menajamkan pendengarannya. Azzura berbalik. "Oh, kak Johan. Sama siapa?" tanyanya tanpa tahu saat ini Azzam menambah kecepatan laju mobilnya setelah mendengar siapa si penyapa. "Sama anak-anak osis, kita mau rapat soal pergantian ketua." "Wah, udah mau ganti aja," "Kekeke, bentar lagi mau ujian jadi udah seharusnya diganti sekarang." "Ah gitu." "Kamu nyanyi_" "Astaga!" Azzura tersentak langsung tertarik ke belakang hingga terbentur d**a bidang seseorang. Menaikkan pandangan membuatnya terkejut. "Samsul!" Pfftt Malik, Delon dan Nayla menahan tawanya mendengar nama Azzam di plesetin. "Ma-maksudnya A-azzam!" cicit Azzura gugup melihat tatapan tajam Azzam, belum lagi posisinya masih berada dalam pelukan Azzam. Sementara Azzam dan Johan saling melempar tatapan tak bersahabat. Duk. Malik mendapat sundulan di bawah kakinya hendak mengumpat sebelum Delon memberinya kode. "Ah, sial." umpat Malik menyadari situasi tak mengenakkan di antara Azzam dan Johan. "Kenapa?" tanya Nayla. "Nanti aku jelasin ya," "Oh, oke." "Zam," Azzam hanya diam, Malik berbisik padanya. "bawa Azzura sekarang, sebelum dia tau ada sesuatu di antara kalian." "Ikut aku." kata Azzam menarik tangan Azzura lembut, bahunya sengaja menyenggol lengan Johan. "pengkhianat." bisiknya begitu ia melewati Johan tak lupa senyum miring nampak jelas disana. Azzura melihat kebelakang, dan Nayla hanya memberinya jari telunjuk seolah memberitahu jika waktunya di luar hanya sejam. Hadeh, dia ini sebenarnya ada masalah apa sih? Kok nggak ada habis-habisnya kena prank kejam mulu dah. "Masuk." suruh Azzam setelah membuka pintu mobil dan Azzura hanya menuruti kemauan Azzam, matanya bergerak naik dimana ia melihat senyum miring seorang Johan. Apa mereka bermasalah? tanya Azzura membatin, nengok ke samping saat Azzam sudah berada di kursi kemudi. "M-mau kemana?" tanyanya pelan. "Kemana aja selama gue tenang." Gue lagi, bukan aku? Kok Azzura rada kecewa ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD