NOT STYLE

1660 Words
"Bye-bye, besok dijemput Azzam ya, kita ketemu di butik." Nayla melambaikan tangan ke Azzura yang keluar dari mobil Azzam. Sesekali melirik pak Karyo, berharap laki-laki paruh baya yang tengah jaga malam itu tidak bertanya kenapa dia berhenti di sana. Setelah tadi siang menemani Azzam beli baju sekolah, habis itu dia lagi yang ditemani manggung di kafe dan sekarang diantar sampai kos an. "Iya, Elon bawa motornya pelan-pelan aja." pesannya dibalas anggukan. "Bro, kita duluan." ucap Delon perlahan meninggalkan mereka di sana. Azzam mengangguk lalu ikut keluar, sedangkan motor Malik berhenti tepat di depan pos menunggu Azzam. Sahabatnya itu berdiri di depan Azzura mengulurkan paper bag berisikan sesuatu yang ia beli tanpa sepengetahuan Azzura.. "Ini," "Pakai buat besok." Azzura mendorongnya menggeleng pelan, "Gue nggak bisa terima." ujarnya tersenyum. "Gue suka rambut hitam lo itu dan bakal indah banget kalau ada sesuatu disana. Jadi," memberikan paper bag itu, "pakai ini buat besok, gue pengen liat keindahan dari rambut lo." "Zam," "Please," "Terima aja Zura, dia mana pernah mohon-mohon sama cewek —selain dia yang pergi— " lontar Malik tak jauh dari mereka. "Tapi," "No tapi tapi, Malika." Malik tersedak air liur nya sendiri menunjuk dirinya berharap salah pendengaran. "Yok balik." ajak Azzam, membuatnya berdecak, ternyata panggilan itu untuknya. Dia disamakan kecap anjir. Namun Azzam tak peduli, "Besok gue jemput disini." katanya pada Azzura sambil berjalan kembali ke mobil. "Zam," Ia berdehem berhenti tepat di pintu mobil. "Thanks." Terkekeh kecil kemudian masuk dan menurunkan kaca mobil, "Sampai ketemu besok." ucapnya, di balas lambaian tangan. Dan Azzam pun perlahan meninggalkan Azzura di ikuti Malik dengan motornya. Setelah memastikan mereka menjauh, Azzura buru-buru menelpon tukang ojek langganannya. "Nak Zura," panggil pak Karyo. "Ah iya pak," Azzura menoleh tersenyum ramah begitu juga pak Karyo. "Pak Mur sudah menceritakan semuanya, yang sabar ya nak." "Ah terima kasih pak, hahaha gapapa kok lagian udah dapat kosan yang lain kok." "Syukurlah. Tapi kenapa nggak langsung kesana aja? Apa mau ngambil koper?" "Eh, gak pak. Zura lupa ngasih alamat yang baru ke temen-temen jadinya sekarang dibawa kesini." ujar Azzura berbohong, dalam hati cuma meminta maaf sudah membohongi orang baik di depannya ini. "Ah gitu, lain kali bilang ya biar kamu nggak harus kesana lagi." "Ah iya pak." Tak lama kang ojek pun tiba dan ia pun menerima helm. "Pak, Zura pergi dulu jangan lupa makan ya pak." "Kamu juga." Azzura mengangguk melambaikan tangan setelah itu menyebut kemana arah tujuan mereka sekarang. Mana udah tengah malam lagi, kalau bukan bang Diki mah, Azzura mana berani menyewa gojek. Beberapa menit kemudian ia sampai tak jauh dari sekolah. "Yakin disini? Daerah sinikan nggak ada kosan?" tanya bang Diki. "I-iya bang. Ini bukan kosan sih sebenarnya cuman orang tua temen saya nyewain kamar anaknya yang lagi studi jadi saya ambil soalnya kan deket aja dari sekolah." jelas Azzura. "Ini bang uangnya, makasih udah nunggu tadi hehe." "Iya sama-sama, masuk gih saya juga mau pulang sekarang." "Hati-hati bang." "Yoi." Bang Diki pun pergi, Azzura menoleh ke kanan dan kiri memastikan tidak ada yang melihatnya. Setelah dirasa aman, Azzura menyalakan senter handphone dan berjalan ke arah sekolah. Di pojok gedung sekolah ternyata ada lobang besar di tutupi rerantingan, pas untuk dia masuk tak lupa membawa koper yang ditutupi daun pisang kering. Azzura mendorong kopernya masuk dan berhasil, setelah itu dia pun ikut merangkak masuk. Meski takut dengan hawa yang semakin dingin, belum lagi cerita-cerita horor tentang gedung sekolah ketika malam, dia tak bisa berbuat apa-apa selain menelan semua ketakutannya dengan terus berjalan memasuki gedung sekolah. Setelah melewati lorong-lorong dengan penuh keberanian itu, akhirnya dia pun tiba di depan ruang rahasia Azzam dan memasukkan kata sandi yang ia dapat dari Delon tadi pagi. Begitu masuk, pintu segera ditutup rapat-rapat lalu menjatuhkan dirinya merosot kebawah. Dia ketakutan, rasanya ingin menangis saat ini juga tetapi tak bisa. Ruang rahasia Tiger memang sedikit luas, semua lengkap disini termasuk cemilan dan beberapa baju dan handuk selain kamar mandi berada di toilet biasa. "Zura kangen ibu." lirihnya memejamkan mata, menunduk memeluk lututnya. Sementara itu, Azzam masuk ke rumah, kebetulan Malik ingin menginap jadinya lelaki itu mengekor di belakangnya. Melihat sofa dan meja makan beserta kursi kosong, Malik sudah tau apa yang telah terjadi. "Mereka datang lagi?" tanyanya tanpa basa basi. "Yap." "Ngasih duit lagi?" "Yap yap." "Nggak di ambil lagi?" "Yap yap yap." "a***y sok imut lo." "Gue tampan bukan imut." "Njir. Lagian kan bisa lo_" "Sorry to say, black card gue nggak bisa menampung beban lagi, apa lagi dari wanita perusak rumah tangga kayak dia, never. Yang ada di bully, bukan high class mereka soalnya." jelas Azzam menenteng barangnya santai menghiraukan wajah pelongo Malik. "Wahh," Malik menggeleng tak percaya, "dengernya aja kesel gue." ucapnya namun tak bisa mengelak dari kebenaran tentang omongan tuh orang. "Aden, mau makan nggak?" tanya bibi Ratih menghentikan langkah keduanya. Mereka berbalik menggeleng, "Nggak usah bik, kita habis makan di luar kok." jawab Malik sebagai perwakilan melirik Azzam yang melanjutkan langkahnya ke atas. "Ya sudah, kalau gitu bibi ke kamar ya den." "Iya bik." Malik mendorong pintu kamar Azzam, saat kakinya yang sebelah kanan hendak berpijak di dalam, seketika melayang melihat Azzam keluar dari kamar mandi. Dia bingung ngeliat Azzam berpakaian rapi layaknya orang kantoran. "Gimana? Gue pake ini besok." ucapnya merentangkan keduanya minta dinilai pakaiannya cocok nggak buat jalan besok. Anggap aja ini date pertama mereka, jadi harus tampil beda dari sebelumnya. Soalnya jalan tadi berasa dikejar sama waktu, jadi besok bisa puasin kesana kesini. "Hadeh, kan bisa besok anjir." dengus Malik memutar bola matanya bergerak masuk, kakinya sudah pegal berada di awan-awan. "Ck, gue nggak mau telat jemput dia. Jadi gimana?" Malik menjatuhkan dirinya di kasur mengangguk-angguk kecil sambil menyanggah kepala, "Lo ngerasa keren emang?" tanyanya. "Of course." "Ya udah, lo ngantor dulu, balik jam 4 sore dari sana lo bisa terlihat keren. Kalo kata cewek sekarang keringat dia lebih menggoda dari apapun. Gimana susulan gue, oke kan," "Lo nggak mau kan saudara lo si Malika gue cekokin cacing?! Gue serius bangsat." "Gue lebih serius b*****t part two. Ya lagian lo mau ngedate apa mau ngantor sih? Kenapa gak pake batik sekalian biar kondangan." Azzam menepuk kedua pahanya, memasang kuda-kuda dan kapan saja tendangan bebas meremukkan tulang bisa terjadi. Membuat Malik langsung memasang tangkisan, "Oke fine, lo keren dengan apapun yang lo pake. Semua yang melekat di badan lo bakal bikin Azzura klepek-klepek cem ikan julung-julung. Puas tuan muda Wijaya?" "Sialan. Zura Quokka ya bukan julung-julung." "Serah lo, yang jatuh cinta mah bebas. Yang salah dibenarkan yang benar disalahkan." "Kapan gue salah?" kata Azzam datar seketika membuat bulu kuduk Malik berdiri. "Oh? Ah, Hahaha, lo keren bro sekarang pake banget. Markotop kayak oppa oppa di drakor, pake itu aja besok keren kok. Yakin Zura_" "What? it's bad bro, not to style me. Payah, gitu aja nggak tau. Pantes gak ada yang ngelirik, payah sih." What the f**k!! *** Besoknya, Azzura udah ada di pos penjaga, lagi duduk melihat-lihat kosan di handphone, nggak peduli mau murah apa nggak. Semalam dia berharap di sekolah tidak semenyeramkan itu, sayang, matanya nggak bisa merem disana. Pikiran buruknya buru-buru melayang kemana-mana. Sambil nguap, dia mendesah panjang melihat notif tagihan rumah sakit baru saja masuk. "Allahuakbar… baru juga mau nyari kontrakan nyaman, udah dapat tagihan aja." gumamnya meletakkan handphone sebentar lalu memijit pelipis. "Gapapa Zura, udah tanggal tua juga kok, bentar lagi gajian jadi untuk sementara sembunyi aja dulu di sana." ucapnya pada diri sendiri membuka tasnya meraih roti dan s**u pisang kesukaannya. "Nak Zura," pak Mur datang. "mau mengambil koper?" tanya beliau dibalas gelengan kecil. "Nggak pak, Zura lagi nunggu temen." "Oh, gitu." "Gapapa'kan pak, koper Zura disini dulu? Soalnya tempat di sana masih berantakan." "Iya gapapa nak, seperti siapa saja. Sudah sarapan?" "Ini lagi sarapan hehe." "Nak nak, kamu ini lho. Itu ngemil bukan sarapan. Sudah ayo masuk sini, istri bapak tadi ngasih bekal banyak jadi sini kita sarapan." "Eh gak usah pak, temen Zura bentar lagi_" "Zura, sedang apa disini?" Zura segera berdiri dan berbalik melihat bu Sukma pemilik kos. "Pagi bu," sapa Azzura ramah. Dia tetap bersikap sopan meski sudah diusir tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. "Ya. Jadi udah dapat kosan baru? Dimana emang? Kayaknya daerah sini buat nampung orang dulu nggak ada deh, saya doang yang baik mau ngelakuin itu." terang bu Sukma tanpa perasaan. "Alhamdulillah bu, terima kasih bantuannya selama ini. Saya_ " bunyi klakson mobil menghentikan menyela pembicaraan mereka. Azzura tersenyum melambaikan tangan. "Kalau gitu saya duluan ya bu, pak Mur terima kasih." Azzura berlari meninggalkan bu Sukma yang kesal melihatnya. Pak Mur tersenyum menggeleng kecil melihat kepergian Azzura. Beliau sedari tadi hanya diam mendengar omongan tak mengenakkan bu Sukma. Dalam mobil senyum Azzam begitu hangat tercetak jelas melihat Azzura memakai pemberiannya. Rambut hitam lurus di gerai berponi, lalu cardigan and pants longgar jadinya dibilang girly enggak, dibilang tomboy juga enggak dengan adanya pita hitam berkupu kecil di tengah-tengah. "Indah dan cantik, nggak salah dia jadi Quokka, senyumnya selalu ada." "Ada masalah?" tanyanya begitu Azzura duduk di samping. Matanya melirik Azzura, berharap gadis itu menyadari bahwa pakaian mereka terlihat seperti couple. Dia emang lagi coplay ala-ala boyfriend material setelah perdebatan tadi malam dan nggak nyangka aja warna baju mereka terlihat sama. "Gapapa kok, biasa ngerumpi doang tadi sama ibu kost." Azzam ber-oh ria. Apa suasana hati Azzura lagi nggak baik? Dia dicuekin soalnya. Ia berdehem, "Temenin gue nyari bubur ayam dulu sebelum ke butik." katanya. "Hem," singkat, padat dan jelas. Jelas bahwa Azzura nggak ada tenaga buat dia nolak. Azzura bersandar, memandang keluar. Semilir angin membuat matanya pekat berair mengantuk. Dalam perjalanan ke butik, keduanya terlalu canggung buat sekedar saling melirik. Apalagi Azzura terus melihat keluar, dan Azzam tidak suka diabaikan. "Zura, lo ada… " terhenti kala kepala Azzura tengkleng karena tertidur pulas tanpa mendengarnya. Azzam terkikik geli menepikan mobil, meraih bantal leher dan pelan-pelan memasang bantalan itu di leher Azzura. Deg deg deg… meski detak jantungnya tak tenang melihat wajah mereka begitu dekat, Azzam bukan pria b******k yang diam-diam mengambil kesempatan selain memandang wajah polos Azzura dalam. Lebih indah dari apapun, seperti mama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD